Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Negara, Agama, dan Kita

3 Maret 2021   08:24 Diperbarui: 3 Maret 2021   15:21 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Kompas.com/YOGA SUKMANA)

Kebersamaan pada hakekatnya memberi makna pada relasi dalam societas. Dalam kebersamaan seharusnya dicegah prinsip yang menafikan kehadiran orang lain, di antaranya prinsip mayoritas-minoritas. 

Prinsip yang ultim ini, pada dasarnya lahir dari sebuah perkembangan peradaban yang mengedepankan prinsip demokrasi-utilitarian. Mayoritas-minoritas merupakan prinsip reduksif plus diskriminatif, apalagi jika dihidupi dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.

Di Indonesia kebersamaan yang begitu kaya direduksi dalam angka, jumlah golongan, ras, suku, dan agama. Akibatnya, terjadi simplifikasi nilai kehadiran. Yang minoritas tidak atau merasa kurang berperan, karena tertindas atau mudah dilindas. Sementara yang mayoritas mendominasi - melindungi atau menindas (Armada Ryanto, 2011). Dengan demikian, demokrasi kadang meredup!

Pertanyaan untuk kita sekarang sejatinya demikian: "Sebetulnya apa yang tersisa dari agama?" Pertanyaan ini merupakan hasil refleksi dari pergulatan peran eksistensi agama dalam sebuah negara. 

Ketidakadilan dan kekerasan adalah dua hal yang lahir dari agama, menilik historisitas lahir dan berkembangnya agama. Unsur agamis sering menelurkan duo paradoks di mayoritas versus minoritas, yang pada kenyataannya bertolak belakang dengan tujuan dan visi-misi agama, yakni mengedepankan perdamaian, keadilan, kesamarataan, transparansi, dan integritas. 

Merawat kebersamaan dalam hidup bernegara. Foto: pgi.or.id.
Merawat kebersamaan dalam hidup bernegara. Foto: pgi.or.id.
Emblem-emblem ini pun, disulap oleh sekelompok orang yang tak bertanggung jawab sebagai instrumen kekuasaan: kriminal dan diskriminasi. Dalam banyak kesempatan, agama mengatasnamakan Tuhan untuk kepentingan golongan. Bahkan, untuk melegalkan perilaku amoral, Tuhan diadopsi.

Catatan ini cukup singkat. Saya hanya mencoba untuk mendalami keberlangsungan stamina bangsa ini  dengan melempar pertanyaan di atas tadi, yakni soal apa sebetulnya yang tersisa dari agama. 

Apakah yang tersisa dari agama adalah keyakinannya pada tokoh agama? Apakah yang tersisa dari agama hanya tokoh agama itu sendiri? Apakah yang tersisa dari agama hanya aksesoris ritualis?

Saya merasa, bangsa ini butuh campur tangan semua warga negara untuk tidak habis-habisnya memberikan dukungan kepada siapa saja yang berjuang melawan diskriminasi yang dibungkus unsur agama. 

Distingsi dalam instansi besar yang bernama negara, hanya dapat dipersatukan oleh ikatan persahabatan, keadilan dan toleransi. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang menembus batas apa saja termasuk agama.

Sebagai warga negara Indonesia, kita semua adalah sama (we are one). Agama bukan pemisah, tetapi penyatu. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ilustrasi kesatuan bangsa bukan ketuhanan atas mayoritas atau golongan tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun