Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kerumitan Manusia

30 Oktober 2020   07:45 Diperbarui: 30 Oktober 2020   08:01 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia adalah sebuah misteri, bukan sebuah persoalan. Jika sebuah persoalan, pasti segala pertanyaan tentang hakekat kedalamnnya terjawab secara sempurna. Segala pertanyaan mengenai hakekat -- siapa sesungguhnya manusia itu, apa tujuan ia hidup, dll., merupakan belati analisis atas misteri jati diri makhluk yang bernama manusia.

Oleh karena jumlah daftar pertanyaan yang belum terjawab dan tersembunyi itu, maka manusia pun disebut sebuah misteri -- tersembunyi sekaligus ada.

Manusia selalu menjadi misteri. Semakin didalami, semakin sulit untuk dipahami. Semakin dikupas, semakin banyak kulit lain yang terus menempel. Ia akhirnya tak habis dijabar. Ia melebihi. Ia tak terjawab. Ia melampaui, setidaknya sebagai ciptaan yang luhur di antara ciptaan lain. Ia pun rumit. Karena itu, kita sampai pada titik: ia misteri. Jika demikian, lalu apa? Mungkin secara bertahap.

Untuk memahami secara bertahap akan identitas manusia, diperlukan suatu ilmu yang secara khusus mengkaji tentang manusia. Di sini peran filsafat manusia sebagai ilmu yang menjelaskan kenyataan manusia dari sudut pandang yang menyeluruh, sejatinya mendampingi proses perefleksian manusia akan dirinya sendiri. Inilah hal yang membedakan filsafat manusia dan ilmu-ilmu lain (psikologi, sosiologi), yang hanya menggali kedalaman identitas manusia secara sektoral.

Bagaimana mengenal jati diri masnusia? Manusia merupakan apa atau kenyataan yang ada di tengah-tengah dunia dan keberadaannya sangat dipengarui oleh keberadaan benda-benda dan ciptaan lain. Namun, manusia bukan sekedar apa (benda material), tetapi lebih dari sekedar apa. Dengan kata lain manusia adalah siapa. Istilah siapa dan apa menunjukkan kekhasan dari setiap objek yang disebut.

Manusia disebut siapa karena kebebasan (kemampuan menentukan diri sendiri) dan otonominya sendiri (mandiri-tidak ditentukan oleh orang lain). Ada beberapa jalan untuk memahami manusia. Pertama, sampai abad XVIII usaha untuk memahami manusia, yakni dengan cara mengenal jiwa (anima). Jiwa berperan sebagai prinsip hidup yang berciri rohani spiritual yang menggerakkan tindakan berpikir, kehendak dan usaha untuk memaknai hidup.

Kedua, memahami hubungan jiwa dan badan untuk semakin mengenal manusia atau dirinya sendiri. Ketiga, pada bagian ini istilah antropologi pertama kali dipakai oleh Emmanuel Kant. Yang terpenting di sini adalah manusia dianugerahkan akal budi dan ditopang oleh panca indra sehingga ia bebas dalam membentuk diri dan dunianya.

Di samping itu, manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan. Manusia merupakan substansi yang sangat kompleks. Dari dalam diri manusia kita dapat melihat sekaligus mempelajari alam semesta (makrokosmos). Membicarakan manusia berarti melihat keutuhan dirinya, yakni sebagai jiwa dan badan. Kita tidak bisa mendeterminasikan keduanya hanya sebagai jiwa atau sebagai badan saja, meskipun ada suatu pandangan yang menitikberatkan jiwa sebagai aspek yang lebih unggul dibanding badan.

Pernah terjadi di dalam sejarah manusia bahwa badan, dimensi material manusia, kurang dihargai. Jiwa lebih dihargai dibandingkan badan. Dengan kata lain, badan manusia dianggap bagian sekunder dari jati diri manusia. Jiwa dimengerti sebagai dimensi kehidupan yang lebih mendasar dan penting dibandingkan badan. Pandangan yang cenderung negatif terhadap badan ini, sudah terjadi sejak zaman Plato (abad V-VI SM).

Badan sering dianggap identik dengan nafsu, atau keinginan-keinginan yang menghambat kesempurnaan hidup. Cara pandang yang cenderung negatif terhadap badan ini, juga terjadi dalam lingkup penghayatan keagamaan. Hal ini tampak dalam praktik mati raga dengan menyiksa diri, hidup menyingkir dari dunia (fuga mundi), menentang keinginan-keinginan badan yang dianggap sebagai dorongan nafsu atau setan.

Menurut Plato jiwa dibagi menjadi tiga, yakni jiwa intelektual (rohani, di dalam kepala), jiwa sensitif (emosi-emosi, di dalam dada), dan jiwa vegetatif (di dalam perut). Plato tidak menyangkal kesatuan intim antara badan dan jiwa, namun hubungan itu bersifat aksidental, dengan dipentingkannya jiwa spiritual.

Sedangkan dalam pandangan tokoh Materialistik, manusia itu materi; aspek-aspek yang lazimnya disebut spiritual itu tidak disangkal, tetapi dikembalikan kepada materi itu. Dianggap merupakan salah satu jenis fenomena materil yang khusus atau pula merupakan 'epifenomen' pada fenomena fisiko-kismis.

Pada masa itu, ada usaha untuk menyatukan konsep manusia sebagai keutuhan jiwa dan badan. Thomas Aquinas menyatakan bahwa manusia merupakan kesatuan badan-jiwa. Tanpa badan, bukanlah manusia, tanpa jiwa, tidak ada manusia juga. Meskipun jiwa masih dianggap lebih luhur dibandingkan badan, Thomas Aquinas berupaya untuk menemukan pamahaman yang seimbang tentang keutuhan manusia.

Tidak mudah memahami konsep manusia sebagai jiwa dan badan. Dualitas tentang manusia ini perlu dipahami bertolak dari kesadaran dan pengakuan manusia mengenai diri dan yang lain. Kesadaran ini membantu manusia untuk menemukan keberadaan dirinya di tengah yang lain. Kesadaran ini, juga mendekatkan manusia pada dirinya sebagai 'siapa' yang khas, yakni 'aku.'

Melalui kesadaran ini pula, manusia akan mampu menemukan sisi kerohanian, dan kejasmanian di dalamnya. Dari sana manusia dapat menentukan arti dan nilai yang pertama dan asali. Jalan ini jauh lebih ilmiah daripada mengandaikan pengertian kerohanian dari malaikat dan mengambil pengertian kejasmanian dari hewan. Manusia lebih diketahui daripada malaikat atau hewan.

Kebersatuan antara jiwa dan badan dapat dikatakan sebagai jiwa yang membadan atau badan yang dijiwai demikian Thomas Aquinas mengatakan. Di dalam manusia materi atau badan hadir ekspresi dan kompleksitas pengakuan manusia; roh atau jiwa ialah 'intensi' dan interioritas (kebatinan) pengakuannya.

Ekspresi atau kompleksitas itu menggayakan diri (menginteriorisir diri) di dalam intensi; 'intensi atau interioritas itu mewujudkan diri (mengkompleksifisir diri) di dalam ekspresi. Oleh karena kebersatuan itulah, manusia tidak dapat dipisahkan sebagai badan atau jiwa saja. Sampai di sini. Rupanya cukup rumit untuk diteruskan. Sadarlah, Anda makhluk yang rumit untuk dibahas. Tapi, sekurang-kurangnya dicoba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun