Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Waspada Demokrasi Menuju "Rupiahkrasi"

14 Oktober 2020   06:32 Diperbarui: 14 Oktober 2020   06:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita percaya bahwa demokrasi bisa membuat pola lama mengejar kursi kekuasaan bisa diperbaiki. Ya setidaknya, dengan demokrasi semua dicapai dengan transparan, jujur, dan terpercaya. Sepertinya tidak. Demokrasi itu angan-angan. Demokrasi tetap disusupi. Di sana ada uang. Ada jual-beli. Di celah-celah darurat Covid-19 demokrasi berubah menjadi rupiahkrasi. Mirip sembako.

Kaum kanan di Perancis seperti Alan Finkelkeaut dan J. L Milner mengumpati demokrasi yang menciptakan warga negara konsumen. Tingkah warga yang memperlakukan politik bagaikan komoditas konsumsi membuat banyak pilihan hanya didasari oleh tagar "yang penting bikin hepi." Semuanya ini merupakan anarkisme hasil demokrasi yang terlalu percaya pada sitem demokrasi itu sendiri. Situasi anarkis ini selanjutnya, membuat orang tergoda memimpikan rezim totaliter.

Pada prinsipnya negara demokrasi tidak digerakkan dari dan oleh luar (seperti koloni). Negara demokrasi adalah swakarya. Tidak diperintah tetapi memerintah, artinya menggerakkan diri ke arah tujuan. Pemerintah bertanggung jawab, rakyat menilai. Menilai artinya mengadakan kritik. Jadi, pemerintah dan rakyat ada dialog. Ada gelar tikar, biar bisa saling kenal. Pemerintah yang menolak dialog adalah diktator.

Demokrasi sesungguhnya tak lain adalah boneka atau barang mainan kaum elite yang selalu eksis dan menyenangkan kaum elite. Demokrasi juga kadang digunakan kesana-kemari sebagai kuda tunggangan kerakusan. Rakyat yang konon dalam ide dasar di polis-polis Yunani kuno adalah pemberi kekuasaan dan pemegang sejati tampuk-tampuk kedaulatan tidak lain adalah 'alat pembantu' melebarnya kekuasaan para elite.

Lalu, ada yang bilang demokrasi itu soal partisipasi publik. Jangan percaya. Partisipasi publik adalah omong kosong dan dusta besar dalam sejarah demokrasi. Hak politik rakyat hanya dipergunakan lima menit saja di bilik suara dan sisa waktunya dirampok dan ditunggangi oleh koboi-koboi elite yang memainkan diskursus dan retorika di atas kuda kekuasaan yang diimpornya dari luar.

Partisipasi rakyat dalam jargon pemerintahan --'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat' -- adalah nihil ketika dalam waktu lima menit di bilik suara, rakyat tidak bisa menentukan pilihannya sendiri. Haknya dimanipulatif dengan uang.

Demokrasi percaya bahwa popularitas dan figur akan mendidik dengan elektabilitas. Oleh karena itu, demokrasi sangatlah rentan dan mudah ditelikung. Pemilu selalu hadir bersamaan seperti dua sisi mata uang -- berlawanan namun selalu bersama-sama. Bahkan di negara demokrasi seperti Amerika Serikat pun politik uang tak bisa diredam.

Tahun 2012, pemilu Amerika Serikat benar-benar banjir uang. Jurnalis John Nichols dan profesor komunikasi Robert W. McChesney mengkritik keras bahwa demokrasi sudah berubah menjadi dollarokrasi. Dalam bukunya "Dollarocracy: How the Money and Media Election Complex is Destroying America" (2013), John Nichols dan Robert W. McChesney berusaha menguliti pemilu di Amerika Serikat itu.

Pemilu 2012 adalah pesta demokrasi paling mahal di Amerika Serikat di mana menguras biaya hingga 10 milliar dollar US (sekitar Rp 115 triliun). Barack Obama sendiri menghabiskan biaya sekitar 1,1 milliar dolar US (sekitar Rp 12,6 triliun) dan Mitt Romney sebesar 1,2 milliar dollar US (sekitar Rp 13,8 trilliun).

Seperti di Amerika Serikat, banjir uang di Indonesia pada pemilu 2014 juga tak mudah dilacak. Anggaran penyelenggaraan pemilu sekitar Rp 24 trilliun. Laporan awal resmi belanja pemilu 12 partai politik sekitar 1,93 trilliun; belum terhitung biaya yang dikeluarkan para calon legislatif. Banjir uang terus mencederai arus demokrasi. Ikut arus sampai terbawa arus. Menurut "Global Democracy Ranking" 2013, kualitas demokrasi kita tidak berada pada peringkat terbaik. Indonesia masuk dalam kategori sedang, yakni peringkat ke-66 di bawah Thailand dan di atas India.

Di rumah kita (Indonesia) praktik politik uang atau "money politic" sungguh melukai kebebasan dan partisipasi yang dibangun sejak reformasi. Hal ini tentunya membuat demokrasi kita pun akhirnya cacat (flawed democracy). Koalisi parpol pada pemilu Presiden kemarin tentunya tidak lepas dari praktik bagi-bagi kekuasaan serta bagi-bagi uang. Meminjam istilah John Nichols dan Robert W. McChesney, demokrasi kita sedang dan akan menjelma menjadi rupiahkrasi.

Menariknya, masa darurat Covid-19 di Indonesia dan Amerika Serikat berbarengan dengan pemilu. Di saat ada kebijakan jaga jarak, banyak calon justru menyambangai jarak. Dalilnya membagi sembako sekaligus "self marketing." Bantuan ini dari kami lengkap dengan stikernya. Dalam situasi ini, demokrasi dimasker jadi rupiahkrasi.

Ketika demokrasi tidak tumbuh efektif, ketimpangan (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pun tumbuh subur. Ketika politisi lebih memilih untuk menggunakan uang agar bisa meraih suara atau jabatan, sesungguhnya dia (politisi) sedang tidak percaya pada demokrasi yang melahirkan serta mengajarkannya cara-cara yang lebih mulia.

Mereka yang tidak memperjuangkan demokrasi dengan cara-cara yang mulia -- tidak mengabaikan politik uang dan tidak menghargai privilege rakyat untuk memilih -- seperti para politisi di rumah kita Indonesia, sesungguhnya adalah para penunggang demokrasi yang lebih banyak memikirkan diri sendiri. Merekalah perusak postur demokrasi di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun