Di banyak desa di pinggir hutan Indonesia, cerita tentang monyet ekor panjang dan beruk sudah jadi keseharian. Bayangkan seorang petani yang berangkat pagi-pagi ke kebun dengan harapan bisa memanen jagung. Yang ditemui justru batang patah, kulit pisang berserakan, dan tawa nyaring dari sekawanan primata yang kabur ke balik pepohonan. Bagi petani, momen seperti ini bukan hanya bikin kesal, tapi juga menimbulkan kerugian nyata. Sementara bagi monyet dan beruk, kebun itu hanyalah tempat makan praktis karena hutan yang dulu menjadi rumah mereka semakin sempit.
Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Hutan yang terus berkurang membuat primata kehabisan ruang hidup. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2023) menunjukkan deforestasi masih berlangsung dalam skala besar. Dengan berkurangnya pohon buah alami di hutan, monyet mencari alternatif. Dan apa yang lebih mudah daripada kebun warga yang penuh pisang, jagung, dan kelapa? Kebun menjadi semacam “restoran cepat saji” yang selalu siap sedia. Apalagi kedua jenis primata ini terkenal cerdas. Penelitian Universitas Udayana (2022) bahkan mengungkap bahwa monyet ekor panjang bisa membaca pola aktivitas manusia, tahu kapan petani lengah, bahkan bekerja sama dalam kelompok untuk mengalihkan perhatian.
Sayangnya, keberadaan mereka hampir selalu dipandang dari sisi merugikan. Padahal, jika menilik lebih dalam, monyet dan beruk bukan sekadar “perusak kebun”. Mereka adalah bagian penting dari ekosistem hutan. Saat makan buah, mereka menyebarkan biji yang membantu regenerasi pohon. Mereka juga memangsa serangga tertentu yang bisa berkembang menjadi hama. Dan sebagai mangsa alami predator, keberadaan mereka menjaga keseimbangan rantai makanan. Artinya, hilangnya populasi monyet dan beruk tidak hanya membuat hutan sepi, tetapi juga bisa merusak keseimbangan ekologi yang lebih luas.
Namun dari sisi manusia, persoalan tetap nyata. Laporan Yayasan Inhutani (2021) mencatat di beberapa wilayah Sumatra, satu kelompok beruk bisa menghabiskan hingga 20 persen panen kelapa dalam satu musim. Angka yang di kertas tampak kecil, tetapi bagi petani kecil itu bisa berarti biaya sekolah anak melayang atau modal menanam berikutnya hilang. Tidak sedikit yang akhirnya memilih cara singkat, seperti memasang jerat atau meracun. Jalan pintas ini memang menyelesaikan masalah sesaat, tapi efeknya panjang: populasi satwa menurun, keseimbangan hutan rusak, dan konflik justru semakin parah.
Di Kalimantan, misalnya, konflik monyet ekor panjang dengan warga di sekitar perkebunan sawit sering muncul. Hewan-hewan ini masuk berkelompok dan memakan pucuk kelapa sawit muda. Di Sulawesi, petani jagung juga mengeluhkan beruk yang masuk beramai-ramai saat jagung mulai berbuah. Bahkan di Sumatra Barat, kasus perburuan beruk sempat mencuat karena dianggap terlalu sering mengganggu, padahal satwa ini masuk kategori terancam punah menurut IUCN. Semua contoh ini menunjukkan bahwa konflik bukan persoalan satu-dua tempat, melainkan masalah besar yang merata di berbagai daerah.
Lalu apa jalan keluarnya? Di sinilah dibutuhkan solusi yang lebih kreatif dan komprehensif. Selama habitat alami mereka makin menyempit, konflik tidak akan berhenti. Maka prioritas utama adalah menjaga sisa hutan yang ada dan mengembalikan fungsi kawasan yang sudah rusak. Reforestasi dengan pohon buah lokal bisa menjadi pilihan, karena memberi sumber makanan alami sehingga monyet tidak perlu mencari ke kebun. Ini memang solusi jangka panjang, tetapi tanpa hutan, tidak ada cara lain yang benar-benar menyelesaikan masalah.
Banyak desa sebenarnya punya cara tradisional untuk mengusir satwa tanpa melukai. Misalnya, menanam pagar hidup dengan tanaman berduri atau tanaman yang baunya tidak disukai monyet. Di beberapa daerah, petani menanam cabai, jengkol, atau bahkan tumbuhan beraroma tajam di tepi kebun. Cara ini sederhana, murah, dan terbukti cukup efektif.
Selain itu, ekonomi alternatif juga bisa jadi jalan keluar. Kasus di Ubud, Bali, bisa jadi contoh. Alih-alih dianggap hama, monyet ekor panjang di Monkey Forest justru dijadikan daya tarik wisata. Warga mendapat pemasukan dari tiket, pemandu, dan souvenir. Memang, tidak semua desa bisa langsung meniru model wisata seperti ini, tetapi konsep dasar bahwa satwa bisa bernilai ekonomi jika dikelola dengan baik adalah hal yang bisa diadaptasi. Bayangkan jika di Sumatra ada “desa konservasi beruk” yang dikelola bersama-sama. Alih-alih merugi, warga bisa mendapat tambahan pendapatan dari wisata edukasi, penelitian, hingga dukungan lembaga konservasi.
Contoh serupa juga bisa dilihat di Thailand. Beruk (pig-tailed macaque) sejak lama dilatih untuk memetik kelapa, dan praktik ini di beberapa tempat dikelola secara etis sehingga memberikan manfaat bagi manusia sekaligus tetap menjaga kesejahteraan hewan. Di India, ada program “Monkey Management” di Himachal Pradesh yang mengombinasikan kebijakan steriliasi, edukasi publik, dan penataan ruang kota agar manusia dan primata tidak saling berebut ruang. WWF bahkan melaporkan beberapa desa di Filipina berhasil menekan konflik dengan cara menyediakan buffer zone berupa kebun buah liar khusus untuk satwa di tepi hutan, sehingga mereka tidak langsung menyerbu lahan pertanian warga.