Namanya Adit. Mahasiswa semester dua jurusan Informatika. Ia seperti kebanyakan mahasiswa lainnya---datang kuliah, mengerjakan tugas, pulang. Baginya, kuliah itu ya soal IPK dan lulus cepat. Jadi saat mendengar ia harus mengambil mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, ia mendesah.
"Aduh, ngapain sih belajar beginian? Kita kan udah tahu Pancasila sejak SD," gumamnya di kelas sambil menggulir layar HP.
Namun dosennya, Bu Ratna, berbeda. Ia tak sekadar membacakan materi. Di pertemuan pertama, ia berkata:
"Kalian ini calon intelektual bangsa. Tahu cara coding, ya bagus. Tapi apa gunanya pintar kalau kalian diam saat negara kalian butuh suara?"
Adit sedikit terusik. Tapi tetap tak terlalu peduli. Sampai suatu hari, Bu Ratna memberikan tugas kelompok: "Buat proyek nyata tentang kontribusi kalian sebagai warga negara."
Kelompok Adit awalnya bingung. Tapi salah satu anggota, Rara, mengusulkan: "Gimana kalau kita bantu warga sekitar kampus yang kesulitan akses internet buat anak-anaknya belajar daring?"
Mereka pun mulai survei, mendatangi RT, membuat rencana, dan menyumbangkan router bekas dan jaringan Wi-Fi murah. Tak disangka, proyek kecil itu disambut antusias oleh warga. Anak-anak bisa belajar tanpa harus ke warnet jauh.
Di akhir semester, kelompok Adit mempresentasikan proyek itu. Saat giliran Adit bicara, suaranya berbeda---lebih mantap dari biasanya.
"Dari tugas ini saya sadar, jadi warga negara bukan cuma hafal Pancasila, tapi tahu cara menerapkannya. Negara itu bukan cuma pemerintah, tapi kita semua."
Bu Ratna tersenyum. "Selamat datang di dunia nyata, Adit."
Hari itu Adit pulang dengan kepala penuh ide. Untuk pertama kalinya, mata kuliah yang awalnya ia anggap sepele, justru membangkitkan semangatnya untuk berbuat lebih bagi orang lain.