Tak pernah terpikir untuk resign dari pekerjaan dan memilih menjadi bapak rumah tangga di rumah. Ketika, mendengar istilah "bapak rumah tangga", yang muncul dalam pikiran adalah peran seorang bapak yang menggantikan posisi ibu di rumah, sementara ibu bekerja di luar rumah.
Saya pernah berada dalam situasi itu ketika dengan terpaksa harus mengambil keputusan resign dulu. Ketika berada dalam situasi itu, menjadi bapak rumah tangga bukanlah tujuan, tetapi konsekuensi yang harus dialami dengan pertimbangan banyak hal, terutama soal kenyamanan dan keamanan bekerja.
Ketika berada dalam situasi tersebut, pekerjaan rumah tangga harus saya ambil alih. Isteri bekerja di rumah sakit ketika itu, dan anak baru seorang.
Baca juga:Â Potret Karakter di Ruang Kerja, Ragam Perilaku Rekan Sejawat
Rutinitas harian adalah menyiapkan anak untuk sekolah, mulai dari makanan, pakaian, mengantarnya ke sekolah dan menjemputnya dari sekolah. Ketika itu saya memiliki kios tempat usaha, tidak jauh dari lokasi rumah.Â
Dari pengalaman itu, saya harus menutup sementara tempat usaha pada jam-jam tertentu ketika harus mengantar dan menjemput anak untuk sekolah, les renang, atau menjemput isteri di stasiun saat pulang dari bekerja.Â
Saya bersyukur, karena pekerjaan itu bukan hal baru bagi saya. Pengalaman merantau dan tinggal di rumah kerabat dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga menjadi modal berharga buat saya sehingga tidak merasa kaget lagi.Â
Melakukan pekerjaan mencuci baju, piring, mengepel, memasak, merawat anak, jangan ditanya, karena saya sudah lulus cumlaude, hehe. Itu rutinitas saya sejak kecil membantu ibu saya. Pembaca dapat melihat pengalaman saya tersebut dalam tulisan saya sebelumnya.
Mengambil keputusan untuk resign dan menjadi bapak rumah tangga bukan soal berani dan tidak. Ini soal kondisi yang menuntut sebuah pilihan.
Pandangan Masyarakat
Bagi kita orang Indonesia, seorang bapak yang memutuskan untuk menjadi bapak rumah tangga bukan pilihan idaman bagi seorang laki-laki. Terlebih, masyarakat sudah punya cara pandang sendiri terhadap laki-laki yang berada dirumah sementara isteri bekerja di luar rumah.Â
Baca juga:Â Makan Sebagai Gaya Hidup dan Dosa Pada Makanan
Mindset masyarakat sudah terbentuk sejak lama bahwa laki-laki harus bekerja mencari nafkah. Dengan nada bercanda, orang beranggapan, mungkin itu sudah menjadi kutukan abadi bagi laki-laki ya.
Namun, banyak hal bisa terjadi. Di tengah persoalan bangsa saat ini, segala kemungkinan berpeluang terjadi. Mungkin saja suatu hari nanti Anda akan mengalaminya.Â
Jika itu terjadi, tentu harus siap juga menghadapi konsekuensi tatapan heran atau komentar miring tetangga, kerabat, atau orang lain setelah memutuskan resign.
Tuntutan Ketrampilan
Menjadi bapak rumah tangga dalam keluarga muda menuntut kemampuan mengurus anak dan rumah. Hal yang sulit dilakukan oleh banyak bapak-bapak pada umumnya.
Setidaknya, ketrampilan mengurus anak sehari-hari ya. Mengandalkan babysitter atau asisten rumah tangga dalam situasi ini tentu dihadapkan pada kenyataan ekonomi yang menuntut penghematan.Â
Selain itu, ada tuntutan tidak tertulis terkait kemampuan menata rumah dan menyiapkan makanan untuk anggota keluarga. Apalagi kalau bapak-bapak memiliki latar belakang kebiasaan yang serba ditangani orang tua di rumah orangtua sebelumnya ketika belum menikah. Â
Tantangan Psikologis
Tidak mudah mendobrak stigma masyarakat bahwa pria selalu harus jadi pencari nafkah utama. Apalagi dengan kenyataan bahwa penghasilan istri menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan keluarga. Laki-laki bisa merasa harga dirinya akan jatuh. Pertanyaannya, punya nyali nggak? Hehehe... Mental harus kuat, karena kalau tidak, efeknya bisa menimbulkan stres diri.Â
Kalau dipikir-pikir, konsep emansipasi secara tersirat mengandung makna kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Artinya dalam konteks rumah tangga, keduanya setara.Â
Satu-satunya keistimewaan perempuan yang tidak bisa "direbut" laki-laki adalah mengandung dan melahirkan. Itu kodrat manusiawi yang menjadi tugas dari Sang Pencipta bagi perempuan.
Masih dalam konteks rumah tangga, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga juga menjadi tanggung jawab bersama kan. Terlepas laki-laki itu bekerja di luar rumah atau tidak.
Dengan kata lain, stigma dan persepsi masyarakat akan menjadi tantangan utama atas pilihan menjadi bapak rumah tangga di zaman sekarang. Tapi, itu bisa disiasati dengan mengupayakan aktivitas lain yang bisa menghasilkan uang dari rumah. Misalnya: berdagang, berjualan online, membuat desain dari rumah, dan lain-lain.
Baca juga:Â Pojok Baca Sekolah: Gerbang Ajaib Menuju Dunia Kreativitas
Insight
Dengan kata lain, situasi ibu rumah tangga pada umumnya, dibalik menjadi situasi dimana bapak-bapak berada di posisi ibu. Perlu dipahami bahwa apapaun profesinya, bapak rumah tangga mengarahkan diri pada kemampuan berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga (baca: keluarga).Â
Meski terlihat tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak ada solusi. Artinya, selalu ada jalan yang bisa diupayakan sebagai ikhtiar. Dan, menjadi seorang bapak rumah tangga bukan sebuah aib. Sebagaimana ibu rumah tangga, peran sebagai bapak rumah tangga juga mulia, ia pahlawan dalam keluarga.Â
Tidak jarang, suara senyap kepahlawanannya terlewat apapun profesinya. Niat dan ketulusan hati untuk memberikan diri seutuhnya bagi keluarga adalah harta tak ternilai bagi sebuah keluarga. Nah, siapkah Anda menjalaninya?***(kaes)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI