Tapi, tahukah kamu, dia memamerkan "pagar" tua nya yang sudah rapuh itu sambil tersenyum. Senyumnya renyahnya sudah mengartikan dengan sangat jelas betapa senang dirinya. Aku tak memiliki perbendaharaan kata emas yang cukup untuknya. Sebagai gantinya, aku mencondongkan telingaku ke arahnya dan memanjakan telingaku untuk menyambut rangkaian kata yang terucap dari mulutnya.
"Aku telah layu, menguning dan waktuku tak banyak. Aku merasa sakit, seolah ada sesuatu yang memanah hatiku. Tapi aku tak bisa marah," lirihnya lemah. Dia memberi jarak yang panjang pada tiap kata yang diucapkannya. Aku melihatnya pasrah tapi tertekan. Aku merasa, lumbung perasaannya mungkin telah penuh dan tak mampu menahan lagi.
Mulutku tersenyum dan  terkunci, tetapi telingaku tetap terbuka. Telingaku telah menjadi corong pembuangan sesahnya. Aku pun tak tahu entah kemana sesah itu berlalu. Mungkin seterusnya akan begitu, tetapi hanya sebentar. Hari telah senja dan daun telah menguning.
Refleksi
Usia senja yang bahagia tak selalu menjadi milik semua orang. Laki-laki berusia senja itu tertawa tapi hatinya tidak. Saya menangkap kesan tidak bahagia dalam dirinya. Dia berusaha untuk keluar dari situasinya. Tetapi tampaknya ia merasa kesulitan untuk melakukannya. Dia terus berjuang untuk mempersembahkan hari tuanya dalam kedamaian.
Aku beranjak pulang. Tanpa sadar aku menoleh dan melihatnya terduduk. Ia sedang merangkai doa kepada Sang Pemilik Kebun. Â Tapi aku tidak mengetahui apa yang dikatakannya. Namun, Â saya berharap bahwa tindakannya akan semakin menenangkannya. Semoga.