Mohon tunggu...
Kris Kirana
Kris Kirana Mohon Tunggu... Pensiunan -

SMA 1KUDUS - FK UNDIP - MM UGM | PERTAMINA - PAMJAKI - LAFAI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Whistleblower Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi

6 November 2015   10:11 Diperbarui: 6 November 2015   10:37 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Investigasi jejak suap resep obat yang ditampilkan majalah Tempo 2-8 Nov 2015 baik untuk disimak. Keterbukaan pengungkapan data dan hasil wawancara memberikan gambaran yang makin jelas ketika ada banyak pengingkaran.

Penyimpangan etika bisnis sediaan farmasi bukan peristiwa yang baru saja terjadi, dan bukan terjadi hanya di negeri sendiri. Jangan kaget. Jangan pula frustrasi dan apatis. Masih ada yang harus dilakukan. Para pemilik otoritas dan pemangku kepentingan seyogyanya mengambil sikap yang memberi harapan masa depan lebih baik.

Ada yang kuatir investigasi lebih mendalam dapat menimbulkan efek domino bahkan keos, karena banyak yang menduga penyimpangan yang tidak etis ini telah menjadi penyakit kronis, sistemik dan terorganisasi. Bila ada kekuatiran demikian, justru tidak boleh ditutupi atau didiamkan, karena akan berdampak lebih buruk lagi.

Transparansi menjadi salah satu kata kunci. WHO di Indonesia pada 2007 menilai proses transparansi pada pemilihan daftar obat esensial nasional kurang memadai (KMK No.312/Menkes/SK/IX/2013). Kerangka kerja Good Governance for Medicines (GGM) WHO bertujuan meningkatkan tata kelola sistem farmasi dan membangun lingkungan bebas korupsi dengan penekanan pencegahan korupsi dan perbaikan sistem (WHO, 2014). 

Masyarakat bisa berdaya, bukan mencemooh, namun peduli mendorong advokasi tata kelola sistem farmasi yang baik, meliputi transparansi, akuntabilitas, integritas dan kepemimpinan moral (Arnold-McKenny, 2010).  Bersama bertahap membangun sentra komunikasi dan edukasi, lebih bersahabat dengan ilmu kesehatan dan penyakit, dan obat. Jangan ada lagi yang salah memberi obat, atau lupa bersikap secara profesional kepada pasien yang seyogyanya diutamakan. Patient centeredness.

Ada pasien penyakit jantung koroner dengan penyempitan yang perlu dipasang ring dan kemudian diberi obat pencegah penggumpalan darah (antiplatelet). Beberapa dokter memilih meresepkan obat paten, yang berkali lipat lebih mahal dari generik. Ada yang menjelaskan bukan original berisiko terjadi penyumbatan kembali. Ketika pasien bertanya, sampai berapa lama harus minum obat tersebut? Sebaiknya disimpan dulu sisa-sisa simpati, sambil menunggu jawabannya.

Ada obat ajaib yang ditawarkan untuk stroke, koma, dan lainnya. Disebut obat ajaib karena sangat banyak khasiatnya seperti meningkatkan fungsi mental maupun fisik, memperbaiki fungsi otak, meningkatkan memori, memperkuat sistem kekebalan, memperbaiki tukak lambung, dan lain-lain. Maka dianjurkan untuk para operator PLTN, pengawas lalu lintas udara, pengguna komputer, pebisnis untuk negosiasi yang butuh konsentrasi tinggi, dan masih banyak lagi. Obat hebat, harganya juga hebat. Mengapa para dokter dan pimpinan rumah sakit yang ingin meresepkan untuk pasien tidak menggunakannya untuk diri sendiri?. Mengapa obat ajaib ini perlu ijin, dan mengapa pula harus diberikan ijin, karena tanpa ijinpun obat ini sudah hebat bukan. Apakah menjual obat ajaib juga harus melakukan promosi secara tidak etis?

Selain menimbulkan pemborosan yang makin besar, kolusi antara dokter-farmasi akan mendorong penyimpangan profesional yang berpotensi mencederai pasien akibat presepan tidak rasional. Beberapa industri farmasi terbukti menyuap para dokter dan/atau fasilitas kesehatan untuk promosi off-label, yaitu mendorong penggunaan obat tidak sesuai indikasi yang telah disetujui oleh yang berwenang.

Para whistleblower yang terkait berita suap dari industri farmasi kepada dokter dan rumah sakit, apapun latar belakangnya, mereka berdiri menantang penyimpangan etika kedokteran. Sebenarnya banyak yang telah mengetahui, tetapi mungkin belum berdaya. Jerih payah tim investigasi Tempo meyiapkan berita diyakini sangat berharga bagi masa depan sistem kesehatan.

Hari pertama diberitakan, diyakini banyak yang berdebar dan mungkin juga sulit tidur nyenyak. Tetapi bila hanya didiamkan, imunitas akan cepat berkembang. Apakah kita sanggup berdiam diri untuk hal seperti ini?

Bagi para whistleblower, tentu mereka menghadapi tantangan berat dan kesulitan. Seperti yang dapat diserap dari istilah “qui tam” yang terkait whistleblower yaitu singkatan frasa latin “qui tam pro domino rege quam pro se ipso in hac parte sequitur” yang artinya "[he] who sues in this matter for the king as well as for himself."

Bahkan di AS yang memiliki undang-undang qui tam-whistleblower yaitu False Claims Act, yang memberikan resolusi whistleblower sebesar 15% sampai 30% dari recovery negara, menjadi whistleblower tetap membutuhkan nyali luar biasa.

Menjadi whistleblower jelas akan menghadapi tantangan berat, serasa seluruh dunia melawan mereka. Semua yang dipercaya tampak berubah, seolah telah melakukan kesalaan besar. Pekerjaan dan karir yang dipertaruhkan seperti tak ada harapan untuk dimenangkan. Sekarang ini sulit memutuskan apa yang harus dilakukan, karena posisi saat ini memang sangat sulit. Ketika dipecat, siapa saja yang seperti menghindar dan berpaling... (whistleblower

Pada 6 Juli 2015, AstraZeneca dan Cephalon, Inc. setuju membayar 37,1 juta dolar AS untuk menyelesaikan hutang terkait program rabat obat untuk jaminan kesehatan masyarakat miskin (justice.gov, 2015). Keberhasilan ini atas bantuan whistleblower bernama Ronald J. Streck, apoteker sekaligus pengacara dan pimpinan HDMA (Healthcare Distribution Management Association) yang mengajukan gugatan gui tam pada 2008.

Pada 2013 Johnson & Johnson (J&J) dan subsidernya didenda pidana dan perdata lebih dari 2,2 miliar dolar AS karena promosi off-label beberapa obat dan menyuap para dokter dan apotik Omnicare. (justice.gov, 2013). Para whistleblower yang mengajukan kasus “qui tam” kepada J&J dan subsidiernya adalah berikut. (1) Victoria Starr, medrep, yang pertama mengajukan gugatan qui tam – whistleblower, April 2004. (2) Lynn Powell, medrep North Carolina, November 2004. (3) Judy Doetterl, medrep, bersama atasannya (4) Camille McGowan, Desember 2004. Kisah Doetterl penuh intrik, termasuk ketika harus merekam presentasi pada pertemuan sales nasional untuk bukti. (5) Kurtis J. Barry, direktur bisnis regional yang membawahi 60 medrep dan 6 sales manager (whistleblower, 2013).

Berikutnya (6) Joseph Strom, area manager di Scios Inc. subsidier J&J (businesswire, 2013).  (7) Bernard Lisitza, 74 tahun, mantan apoteker di apotik Omnicare (chicagotribune, 2013). (8) Allen Jones, bekerja di Departemen Kesehatan, melakukan investigasi penyuapan dari J&J ke salah satu pejabat pimpinan Depkes. Jones memenangi penghargaan whistleblower of the year 2012, menurut TAFEF (Taxpayers Against Fraud Education Fund) (taf.org, 2012).

Tampaknya sebagian besar whistleblower pada kasus ini termotivasi kekuatiran potensi penggunaan obat yang menyimpang akan mencederai pasien.

Kutipan berikut dari seorang whistleblower, mantan medrep, semoga memberi semangat dan membagi harapan.

"Di Angkatan Bersenjata, saya dituntut melindungi penduduk dengan segenap upaya,” kata whistleblower John Kopchinski, lulusan West Point dan veteran Perang Teluk. "Di Perusahan Farmasi saya dituntut meningkatkan keuntungan dengan segala upaya, bahkan bila penjualan tersebut dapat membahayakan kehidupan. Saya tak mampu melakukan itu." (bloomberg)

Salam hormat jabat erat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun