Beberapa waktu terakhir, saya sering dengar keluhan yang nadanya serupa entah dari teman dekat, saudara, atau bahkan diri saya sendiri.Â
"Kerja capek banget, tapi ya mau gimana, belum bisa resign."
Atau yang lebih jujur, "Pengen keluar, tapi takut nggak bisa bayar cicilan."
Fenomena ini nggak cuma dialami satu-dua orang. Banyak dari kita yang sebenarnya sedang berada di titik jenuh. Bukan karena pekerjaan kita buruk, tapi karena tubuh dan pikiran kita mulai lelah dengan rutinitas yang itu-itu saja. Bangun pagi, kerja sampai malam, lalu pulang hanya untuk istirahat sebentar sebelum semuanya diulang lagi. Lama-lama kita mulai bertanya, "Ini hidup atau sekadar bertahan?"
Zona nyaman yang katanya harus dicari, rasanya makin jauh. Tapi anehnya, resign juga bukan pilihan yang bisa dengan mudah diambil. Karena kenyataannya, hidup tetap butuh uang, dan mimpi tetap butuh biaya.
Maka muncullah pertanyaan yang lebih penting: kalau zona nyaman sulit ditemukan, mungkin kita memang harus belajar menciptakannya... bahkan di tengah ketidaknyamanan.
Realita yang Harus Diterima
Tidak semua orang punya kemewahan untuk berhenti sejenak dan mengambil jeda panjang. Banyak dari kita yang hidup dalam realita di mana bekerja bukan lagi soal passion, tapi kebutuhan. Bukan karena tidak punya mimpi, tapi karena mimpi pun butuh biaya untuk diwujudkan.
Saya punya teman yang sudah beberapa tahun mengeluh soal pekerjaannya. Katanya sudah tidak ada tantangan, lingkungan kerja toksik, dan semangat pun terus menurun. Tapi setiap kali ditanya, "Kenapa nggak coba cari yang lain?", jawabannya selalu sama, "Belum siap. Nggak ada tabungan, dan takutnya malah lebih parah."
Lalu ada juga kenalan saya---seorang ibu muda yang kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Katanya, rasanya seperti dihantam dua dunia: di rumah capek urus anak, di kantor mental dikuras habis. Tapi apa boleh buat? Suaminya belum cukup menanggung semua kebutuhan rumah tangga.
Cerita-cerita seperti ini nyata. Bukan drama. Dan kalau kita jujur, mungkin kita juga sedang hidup di dalam salah satu dari cerita itu.
Akhirnya, kita bertahan. Kita belajar meredam emosi, mengatur napas, dan menyusun strategi agar tetap waras. Karena pada titik ini, bertahan bukan lagi bentuk kelemahan, tapi bagian dari keberanian.