Mohon tunggu...
Kristanto Irawan Putra
Kristanto Irawan Putra Mohon Tunggu... Plastic Waste & Circular Economy Specialist

UNIKA Program Magister Lingkungan dan Perkotaan l SMA TN Angkatan XVIII l Direktur Bank Sampah Induk Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Nature

Hari Maritim Nasional 2025: Mengurai Aliran Plastik di Pulau Kecil Saparua dan Banda

23 September 2025   22:21 Diperbarui: 24 September 2025   10:57 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengelolaan sampah "open burning" di pulau-pulau kecil di Indonesia (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Indonesia punya lebih dari 17.000 pulau. Tapi tahukah kamu, 98% di antaranya adalah pulau kecil, bahkan sangat kecil, dengan luas kurang dari 2.000 km. Bayangkan betapa kompleksnya tantangan hidup di sana: terbatas akses, terbatas infrastruktur, dan terbatas sumber daya.

Pulau Saparua, Banda Neira, dan Rhun di Maluku adalah contohnya. Sampai hari ini, ketiga pulau itu belum punya TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) maupun TPS (Tempat Penampungan Sementara). Akses kapal pun terbatas: Saparua hanya dilayani feri 4x seminggu, Banda Neira didatangi kapal PELNI sebulan sekali, dan Rhun harus bergantung pada kapal kecil dari Banda. Semua keterbatasan ini membuat ongkos logistik pengelolaan sampah melonjak tinggi.

Akibatnya, plastik yang sebenarnya masih layak daur ulang di kota besar, di pulau kecil berubah jadi "sulit dijual". Nilai ekonominya jatuh, dan pada akhirnya banyak yang dibuang begitu saja atau dibakar.

Data Tersembunyi di Balik Surga Pariwisata

Studi Nila Patty (2017) mencatat timbulan sampah plastik di Saparua mencapai 958 kg per hari. Coral Triangle Center (2024) menghitung Banda menghasilkan 538 kg per hari. Angka ini setara dengan tangkapan ikan satu perahu nelayan di Pulau Rhun---bukan jumlah kecil.

Saat melakukan Plastic Flow Analysis di Banda, hasilnya mengejutkan:

  • Total timbulan 196 ton per tahun.
  • Yang terkumpul 73%, tapi hanya 1% benar-benar didaur ulang.
  • Dari yang terkumpul, 85% sisanya bocor ke lingkungan.

Bagaimana bentuk "kebocoran" itu?

  • 35% dibuang sembarangan.
  • 16% dibakar.
  • 5% menyumbat saluran air.
  • 44% berakhir di pantai dan laut.

Inilah wajah nyata pulau kecil kita: surga pariwisata, tapi di baliknya ada krisis plastik yang menggerogoti laut dan kesehatan warganya.

Langit Biru yang Ternoda

Sering orang bilang: "Pulau kecil itu bersih, langitnya biru, bebas polusi." Sayangnya, kenyataannya tidak sesederhana itu.

Di Banda, 26 ton sampah plastik dibakar setiap tahun. Hasilnya? Sekitar 80,6 ton emisi CO2eq terlepas ke udara. Angka ini setara dengan emisi dari ratusan sepeda motor.

Pembakaran memang praktis, karena bisa mengurangi volume sampah dengan cepat. Tapi konsekuensinya besar:

  • Sesak napas dalam jangka pendek.
  • Risiko kanker dalam jangka panjang.
  • Polusi udara yang mempercepat perubahan iklim.

Pulau kecil yang seharusnya jadi surga biru, justru berubah seperti pabrik kecil penghasil asap beracun.

Jalan Keluar: Data Jadi Kebijakan

Lalu apa yang bisa dilakukan? Hasil analisis aliran plastik memberi gambaran jelas: tanpa intervensi, kebocoran plastik akan terus terjadi.

Beberapa langkah yang bisa ditempuh:

  1. Data sebagai dasar kebijakan. Pemerintah daerah harus menjadikan data timbulan sampah sebagai pijakan roadmap pengelolaan sampah pulau kecil.
  2. Gotong royong pendanaan. Kombinasi iuran warga, dana desa, CSR, hingga EPR (Extended Producer Responsibility) bisa membuka jalan pembiayaan. Mesin pres kecil dan sistem reverse logistics bisa didukung lewat PLN Peduli atau TJSL PELNI.
  3. Kebijakan hulu. Pulau kecil harus berani melarang plastik sekali pakai. Sabun, deterjen, minyak goreng bisa dijual isi ulang dengan wadah HDPE sistem deposit.
  4. Inklusi komunitas lokal. Pokja Sampah Negeri, Remaja pengumpul plastik, hingga Pembudayaan penggunaan tumbler adalah ujung tombak perubahan

Dari Praktisi Lapangan ke Konsultan Kebijakan

Perjalanan saya dimulai sebagai praktisi lapangan di Yayasan BINTARI: menganalisis rantai nilai daur ulang di Semarang (USAID CCBO) dan Palangka Raya (GIZ 3RproMar). Lalu, bersama Bank Sampah Induk Salatiga, saya belajar bagaimana kelembagaan hanya bisa berkelanjutan kalau punya basis keuangan yang kuat.

Kini, lewat UK's Ocean Grant, saya bekerja di Saparua, Banda, dan Rhun untuk menggabungkan data plastik, skema pendanaan, dan advokasi berbasis emisi CO2eq.

Dari pengalaman itu saya percaya: pulau kecil adalah garda depan ekonomi sirkular. Data aliran plastik bukan sekadar angka, tapi pijakan merancang kebijakan yang inklusif, berkelanjutan, dan menyelamatkan laut biru kita.

Tulisan ini saya buat untuk memperingati Hari Maritim Nasional. Sebagai anak pulau, saya percaya solusi krisis plastik hanya bisa lahir dari data yang kuat, kebijakan yang tegas, dan keterlibatan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun