Sore ini, saya berjalan melewati Istana Mini Banda---salah satu ikon di pulau kecil Maluku Tengah karena menyimpan begitu banyak sejarah. Angin sore biasanya membawa aroma laut dan suara burung camar. Tapi kali ini, yang datang justru "serangan udara".
Dari beberapa titik di kejauhan, terlihat asap mengepul. Warnanya putih keabu-abuan, menutup pandangan, dan---yang paling terasa---menusuk hidung, membuat dada sesak. Di sini, pemandangan seperti ini bukan hal baru. Membakar sampah, bagi sebagian warga, adalah cara cepat untuk "menghilangkan masalah" yang ada di halaman rumah.
Membakar: Seakan memang Hilang, tapi ternyata tidak benar-benar Hilang
Saya mencoba memahami kenapa orang memilih membakar: Praktis, murah, dan sampah habis berkurang volumenya.Â
Tinggal di pulau-pulau kecil, warga di sini memang tidak memiliki pilihan membuang sampah ke TPA seperti di Pulau Jawa.
Sayangnya, ketika plastik ikut terbakar, ia tidak benar-benar hilang. Ia berubah menjadi dioksin---racun tak terlihat yang diam-diam masuk ke paru-paru, darah, bahkan rantai makanan. Saya teringat studi kasus di Desa Tropodo, Sidoarjo. Penelitian menemukan bahwa pembakaran plastik skala rumah tangga di sana menghasilkan tingkat dioksin yang tinggi, hingga mencemari telur ayam kampung yang dikonsumsi warga. Itu artinya, asap itu tidak hanya ada di udara---ia masuk ke tubuh kita, sedikit demi sedikit.
Menimbun dan Menghidupkan Tanah Kembali dengan Bioaktivator
Alternatif lain yang biasa dilakukan adalah membuat lubang di tanah, lalu menimbun sampah di sana. Memang tidak ada asap, tapi itu bukan berarti tanpa masalah. Sampah organik yang tertimbun tanpa pengelolaan justru menghasilkan lindi (cairan hitam berbau busuk) yang bisa meresap ke air tanah. Hal ini membuat banyak organisme tanah mati akibat polusi. Belum lagi, sampah plastik yang tercampur di antaranya telah menutup akses cahaya matahari, dan air yang  seharusnya meresap ke dalam tanah. Karena banyak organisme tanah mati, wajar saja jika saat ini proses penguraian alami menjadi lambat.
Di titik inilah saya teringat latar belakang saya di Bioteknologi Molekuler. Tanah yang kehilangan mikroorganisme harus "dihidupkan kembali" agar bisa mengurai sampah organik dengan cepat. Caranya? Gunakan bioaktivator---konsorsium mikroba pengurai yang mempercepat komposisi. Analoginya sama seperti Iklan Minuman Y*kult: Bakteri baik perlu ditambahkan untuk membantu pencernaan di usus. Bioaktivator perlu ditambahkan untuk mempercepat penguraian alami di Bumi. Â
Dan yang menarik, kita tidak selalu harus membeli bioaktivator kemasan. Kita bisa membuatnya sendiri dengan memanfaatkan kulit buah, sayuran, dan gula merah untuk menghasilkan eco enzyme---cairan ajaib yang membantu mengurai organik, menyehatkan tanah, bahkan bisa mengusir bau. Di Indonesia, ada beberapa komunitas yang dapat dijadikan referensi belajar terkait pembuatan dan pemanfaatan eco enzyme, misalnya Komunitas Eco Enzyme Nusantara (EEN).
Kalau Tidak Punya Waktu, Serahkan saja pada Ahlinya
Saya menyadari, tidak semua orang akan punya waktu untuk membuat eco enzyme atau mengolah sampah sendiri. Solusinya? Percayakan pada lembaga pengelola sampah profesional. Contoh yang menginspirasi adalah TPS 3R Mulyoagung Bersatu di Kabupaten Malang. Lembaga pengelola sampah ini dikelola oleh warga untuk warga. Warga membayar sejumlah uang untuk iuran pengelolaan sampah, kemudian sejumlah petugas terlatih bekerja sesuai SOP untuk menjaga lingkungan tetap bersih. Mereka mengumpulkan sampah dari rumah-ke rumah, memilah sampah, selanjutnya mengolah sampah organik menjadi kompos, menjual anorganik yang bisa didaur ulang, dan hanya membuang residu yang benar-benar tidak bisa diolah ke TPA. Dengan tata kelola yang baik, kegiatan pengelolaan sampah ternyata dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang benar-benar berkelanjutan untuk warga desa.
Ini bukan rocket science, tapi people science---alias ilmu gotong royong (Meifita Dian Handayani, Social and Behavior Change Communication Specialist)
Asap sore hari di Banda ini mengingatkan saya bahwa masalah sampah bukan hanya soal kebersihan, tapi juga kesehatan, ekologi, dan bahkan Masa depan pariwisata Banda Neira. Kita bisa memilih: terus membakar dan mengubur masalah seperti bom waktu, atau mulai mengelola sampah untuk keberlanjutan kehidupan anak cucu kita. Mengubah cara kita mengelola sampah berarti mengubah masa depan: dari udara bersih yang kita hirup, tanah subur yang kita tanami, hingga pekerjaan layak yang kita ciptakan bersama. Semua berawal dari satu pilihan sederhana: "STOP membakar, mari mulai mengelola".
Kristanto Irawan Putra
Lulusan Bioteknologi yang kini berkecimpung di dunia pengelolaan sampah
Marine Circular Economy Specialist (soon to be)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI