Mohon tunggu...
kristanto budiprabowo
kristanto budiprabowo Mohon Tunggu... Human Resources - Hidup berbasis nilai

Appreciator - Pendeta - Motivator

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apakah Pemberian Solusi Memberdayakan?

3 November 2019   14:41 Diperbarui: 3 November 2019   14:44 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat memperkenalkan perspektif pemberdayaan diri dan komunitas, di Malang.

PERSPEKTIF BERPIKIR METODOLOGIS
DALAM MEMBERDAYAKAN KOMUNITAS GERAKAN

Dongeng dua anak remaja [Dari berbagai sumber]

Remaja pertama adalah anak yang tidak memiliki sopan santun, dia juga malas belajar, dan sering meninggalkan kelas sehingga nilai rapornya memburuk. Perangainya temperamental, suka marah-marah pada tiap orang yang mencoba membangun hubungan dengannya, termasuk Ibunya sendiri. 

Dia kasar pada kawannya terlebih yang dianggap lemah. Dan keisengannya untuk merusak sesuatu seringkali diluar kontrol dan mengakibatkan kerugian besar yang sering harus ditanggung ibunya. 

Ibunya yang seorang wanita karir yang sibuk dengan bisnisnya yang semakin meningkat sehingga merasa perlu solusi agar ada yang mengawasi dan mendisiplinkan anak itu dengan baik. Maka dia memanggil guru-guru les, bahkan juga menyewa seorang pengawas pendamping yang selalu berada didekat si anak. 

Namun kenakalan si anak malah menjadi-jadi. Guru les selalu berganti-ganti karena tidak cocok atau tidak tahan. Pengawas pendamping semakin hari semakin sering mengusulkan agar hukuman dan pembatasan pada si anak diperberat. 

Akhirnya, si ibu menyerah dan membawa si anak pada psikolog, psikiater, konsultan perkembangan anak, dan juga ahli pendidikan untuk memberikan jalan keluar terbaik bagi si anak.

...

Tidak jauh dari tempat remaja pertama dan ibunya tinggal, di sebuah kampung kecil dengan pemandangan yang indah, terdapat sebuah komunitas yang akrab dan menyenangkan. 

Di kampung itu ada seorang ibu yang juga rajin bekerja yang memiliki seorang anak remaja seusia anak pertama tadi. Kenakalan anak kedua ini hampir sama dengan anak pertama. Bahkan dia sering dilihat oleh penduduk kampung sedang melempari mobil yang lewat di kampung itu dengan batu. Suatu hari, Ibunya menjumpai kepala kampung menceritakan kehidupan anak yang sangat dicintainya itu.

Di suatu sore yang cerah, angin berhembus menyejukkan, kepala kampung bersama dengan tetua kampung dan beberapa pemuda/pemudi duduk di ngarai berumput indah, seperti menyambut matahari yang akan tenggelam. 

Si anak remaja dihadirkan bersama paman dan Ibunya. Suasana begitu tenang, semua menikmati sore yang hangat bersama-sama. Tetua kampung memulai pembicaraan. Saat itulah semua yang hadir disitu bergeser duduk melingkari si anak remaja bersama ibunya dan membuatnya berada seperti ditengah perhatian semua orang. Tetua kampung mengatakan: "Nak, kamu adalah anak dari seorang Ibu yang rajin bekerja dan sangat baik hati. 

Ketika tersiar khabar tentang kelahiranmu, seisi kampung bersorak gembira, anak-anak kecil waktu itu, yang sekarang duduk sebagai muda-mudi disekitarmu ini, bahkan membunyikan musik bambu dan seruling, menandai kehadiranmu di kampung ini." Dia memandang jauh ke bukit-bukit hijau, matanya bersinar dan tersenyum bahagia.

Setelah hening sejenak tanpa ada yang bersuara, sang paman angkat bicara. "Anakku yang istimewa, pertama kali Ibumu mengijinkanku menggendongmu dulu, adalah saat paling membahagiakan dalam hidupku. Aku merasa melihat matahari bersinar karena hatiku penuh dengan kebahagiaan." Lalu sang paman diam, matanya memandang matahari yang semakin rendah di balik perbukitan menebar warna yang mengagumkan.

Setelah hening sejenak, seorang pemudi mengutip sebuah lirik tradisional mengatakan: "Masa depan kampung ini pernah kamu tandai, bukan dengan kerasnya suara tetapi kelembutan hati. Saat pertama kali kamu belajar berjalan, saat kamu jatuh terjerembab dan bangkit lagi, kami semua anak-anak kampung bahagia bersorak, menyaksikan harapan dan perjuangan akan lestari". 

Semua yang hadir kemudian secara bergiliran menyampaikan rasa kagum, rasa bahagia, rasa syukurnya atas kehadiran si anak di tengah-tengah mereka. Matahari telah tenggelam, malam berbintang segera akan datang, satu persatu para hadirin meninggalkan ngarai. Tidak ada keluhan sedikitpun. Tidak ada kemarahan, tidak ada kritikan dan ungkapan sinis sedikitpun untuk mengungkit sikap si anak. Akhirnya tinggal si anak disamping Ibunya, berdua mereka menyaksikan bintang pertama yang bersinar malam itu.

Seperti saya sebutkan di atas bahwa dongeng ini berasal dari beragam sumber dan pasti tidaklah tepat persis sebagaimana aslinya. Ada satu pertanyaan penting yang hendak disampaikan dari dua kisah di atas. 

Yaitu, anak remaja manakah yang dapat bertransformasi dengan baik di kemudian hari? Tentu kita bisa menanyakan dan bisa menganalisa konteks dan masalah dan penyebab dan sebagainya dari kisah di atas sebaik ilmu penafsiran yang kita miliki, sebelum menjatuhkan penghakiman atasnya. 

Namun perlu dicatat bahwa kisah seperti dua anak ini adalah kisah yang bisa  terjadi dimanapun dan dalam konteks apapun. Lingkungan tempat dimana kedua anak itu hidup juga pastilah lingkungan yang tidak asing dengan situasi hidup kita. Gambaran komunitas dan dimana anak itu hidup juga biasa-biasa saja. 

Satu hal yang membedakan adalah bagaimana pencerita, pendongeng menghadirkan kisah itu. Namun itupun tak terlalu penting. Anda sudah mendengarnya itulah yang terpenting.

Memahami berbasis masalah dan memahami berbasis nilai kehidupan

Ada banyak metode belajar, baik secara personal maupun komunal yang diperkenalkan kepada kita sepanjang hidup kita. Secara formal, di awal-awal masa pendidikan, pendidikan berbasis masalah adalah cara terpenting agar seorang anak memahami sesuatu. 

Pertanyaan-pertanyaan kritis perlu dibiasakan untuk disadari agar perkembangan proses pendidikan juga meluaskan perspektif anak didik menjadi semakin luas. Namun pada masanya orang sadar bahwa bukan pada pertanyaan dan atau jawaban tepat saja terdapat proses mendewasakan diri. 

Ada misteri alamiah yang bertahan agar kehidupan bermakna terus dapat berlangsung yaitu nilai-nilai.

Dalam konteks kehidupan sosial, pilihan pada proses pemahaman berbasis masalah adalah cara yang paling umum diperkenalkan pada peserta didik, bahkan para aktivis yang kritis. Ketepatan menganalisa masalah dan menemukan akar masalah sosial, diandaikan akan menjadi jalan terbaik untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang terjadi. 

Proses analisis demikian bisa mulai dengan isu global, namun juga bisa berangkat dari logika personal. Semua bertumpu pada model penyelesaian agar yang kurang dan tidak ada menjadi lengkap dan ada tersedia bagi semua kebutuhan manusia. Keseimbangan dijaga sedemikian rupa agar yang menguntungkan dan merugikan bisa setidaknya diharmoniskan menjadi damai. 

Pemenuhan keinginan dan kebutuhan tiap orang, masyarakat dan lingkungan, diletakkan sebagai ukuran keberhasilan dan kegagalan analisa dan uji coba solusi yang ditawarkannya. 

Semakin banyak pilihan solusi, semakin beragam cara-cara bisa dipraktekkan, juga adalah penanda seberapa mampu seseorang dan sebuah komunitas menerimanya dengan baik. 

Jelas dan tak terbantahkan bahwa sepanjang perkembangan peradaban manusia, metode pemberdayaan, pertumbuhan, dan perkembangan berbasis masalah ini telah semakin membuat manusia menjadi semakin pintar dan terampil memanfaatkan teknologi dan ilmu yang ditemukan terkini.

Namun masih ada pertanyaan mendasar; apakah masalah teratasi? Ketika menganalisa sebuah konflik atau perang, apakah dengan kecanggihan ilmu dan teknologi lantas masalah perang dan konflik sosial teratasi dan hilang dari peradaban? 

Masalah-masalah sosial lainnya, yang sudah ada sejak dari era pra-sejarah seperti kebodohan, kemiskinan, kebencian pada yang berbeda, perkosaan, penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan lain sebagainya, lantas dengan kecanggihan analisa berbasis masalah, apakah solusinya sudah benar-benar ditemukan tuntas? Toh kenyataannya semua itu masih ada dan terjadi pada peradaban yang sudah sedemikian purna kecanggihannya.

Sementara itu, sesungguhnya sejak jaman dahulu kala juga, selalu ditemukan sebuah perangkat pemahaman yang kadang dipelopori oleh seorang guru, nabi, rasul, orang suci, cerdik cendekia, bahkan orang biasa dan dalam komunitas tradisi yang sederhana, sebuah cara memahami yang secara radikal berbeda dengan cara berbasis masalah di atas. 

Cara pandang manusia terhadap segala sesuatu yang ada di dalam, disekitar, di lingkungan seseoranglah yang selalu ditegaskan untuk berbasis pada dasar-dasar nilai manusiawi. 

Cara pandang ini tidak menyibukkan diri dalam mencari dan menemukan masalah, namun menyibukkan diri dalam mencari dan menemukan anugerah, menghayati karunia, mensyukuri berkah. Sebuah cara pandang yang memulai segalanya dari apa yang ada, yang baik, membahagiakan, indah, memberi harapan, dan makna pada kehidupan. Ada banyak istilah-istilah keagamaan bisa ditemukan untuk memperlihatkan bagaimana hal ini bisa dipraktekkan nyata dalam kehidupan manusia, baik secara personal maupun dalam komunitasnya.


Godaan terbesanya, yang sangat mudah mengaburkan perspektif yang kedua ini adalah adanya kenyataan yang selalu perlu diperlengkapi dengan sesuatu agar mampu dijadikan tempat bagi kehidupan manusia. Sekali arah pandang seseorang dan komunitas menjadikannya sebagai cara berpikir dan menemukan cara tambahan baru, seketika itu kita terjebak di dalam susunan besar proses memahami yang berbasis masalah menjeratnya kembali.

Apakah pendekatan kedua mengabaikan kenyataan bahwa terdapat masalah yang nyata di tengah kehidupan manusia? Tentu tidak. Justru masalah itu disadari sepenuhnya, dihayati dengan tulus, tetapi tidak dibiarkan hal itu mengendalikan cara berpikir dan merasa yang secara naluri dimiliki manusia, yaitu nilai hidup bermakna yang ditempuh dengan pengertian dan harapan. 

Manusia bukanlah seperti konsumen yang selalu perlu diberi solusi dengan produk baru baik itu ilmu maupun teknologi. Seolah masalah manusia teratasi ketika produk solusi itu dikonsumsi. Bukankah ini tindakan seperti orang kehausan yang berusaha minum air laut, semakin dia minum, semakin dia merasa haus.


Usulan bagi usaha bersama yang mungkin

Sekarang kita hidup di jaman dimana inti terkuat dari segala perubahan baik dan juga jahat, berada pada diri manusia, pada kemampuannya untuk berpikir dengan keseluruhan hati dan jiwanya. Metode berpikir berbasis masalah, makin hari makin dapat dialogaritmakan dan di otomatisasi agar menghasilkan solusi-solusi sesuai dengan selera dan kebutuhan manusia. 

Tanyakan apa saja yang berkaitan dengan masalah dan cara penyelesaiannya, kepintaran buatan telah mampu mengolahnya dengan baik dan bahkan mengusulkan solusinya. 

Apakah dengan begitu hidup kita sebagai manusia sudah terbebas dari masalah, ternyata masalah baru yang semakin besarlah yang kita hadapi.

Jadi agaknya, metode memahami berbasis masalah adalah sebagaimana sebuah resep obat kimia yang tepat dalam kebutuhan tertentu namun yang juga mengandung efek samping yang akan tetap berada dalam diri manusia. 

Bukan obatnya yang tidak penting, melainkan bagaimana kita memandang obat, dan terutama memandang hidup kita dengan obat itu. Jika kita hanya mengandalkan obat dan percaya bahwa bagaimanapun juga sikap kita, pastilah obat akan bekerja dengan maksimal, maka kita hidup dalam keadaan bahaya.

Kisah dongeng yang terjadi pada remaja yang kedua bersama dengan keluarga dan komunitasnya adalah sebuah perspektif yang menawarkan kepada kita bagaimana memahami diri, komunitas, dan bahkan keseluruhan dunia ini dengan memfokuskan diri pada apa yang ada, yang baik, yang bermanfaat, yang bermakna, dan yang memberi harapan. Tidak hanya pada diri kita sendiri, namun juga menjadi kebahagiaan buat orang disekitar kita, dan menjadi khabar baik bagi semesta. 

Komunitas gerakan, adalah kelompok yang secara sadar mendewasakan diri secara bersama-sama. Maka silahkan anda jawab sendiri pada diri anda sediri, dengan cara manakah seseorang, sebuah komunitas, dapat menjalani proses transformasinya. Selamat mencoba.


Panjang umur kebahagiaan!!!
Karangploso, 1 November 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun