Mohon tunggu...
Siti Kotijah
Siti Kotijah Mohon Tunggu... Dosen - Hukum

hukum Lingkungan, Hukum Pertambangan, hukum Administrasi Negara, Hukum Adat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengaturan Hukum Lingkungan dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batubara di Kota Samarinda

19 November 2012   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:05 4096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luasan WIUP ini sudah jauh melebihi jumlah luasan yang seharusnya menurut Rencana Umum Tata Ruang Kota Samarinda tahun 2002. Berdasarkan Perda Nomor. 2 Tahun 2002, lokasi tambang batubara hanya boleh di wilayah Kelurahan Sungai Siring (Pasal 22). Luas Kelurahan Sungai Siring menurut BPS hanya 7,583 ha. Jika setengah dari wilayah Sungai Siring dialokasikan untuk tambang batubara maka luasan tambang batubara hanya boleh sekitar 3.800 ha.

Kontribusi sektor pertambangan batubara terhadap ekonomi Kota Samarinda cukup kecil. Data lima tahun terakhir (2006-2010) menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian rata-rata hanya berkontribusi sebesar 6,3% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Samarinda. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB pada tahun 2010 hanya 1% lebih tinggi dibanding tahun 2006. Perubahan yang tidak signifikan ini juga terjadi pada sektor-sektor ekonomi lainnya. Ini berarti struktur ekonomi Kota Samarinda tidak mengalami perubahan banyak pada periode 2006-2010. Padahal pada periode yang sama produksi batubara dari kuasa pertambangan (KP) meningkat sangat signifikan. Produksi batubara tahun 2009 lebih dari tiga kali lipat dari produksi tahun 2006.

Dari segi kontribusi kepada PDRB, sektor paling dominan di Samarinda adalah: perdagagan/hotel dan restoran (28%), industri pengelolahan (20%), jasa (12%), keuangan, persewaan dan jasa perusahan (13%) serta pengangkutan dan komunikasi (11%). Sektor pertambangan dan penggalian adalah sector ke-enam dalam urutan kontribusi kepada PDRB.

Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pertambangan batubara di Samarinda lebih rendah dibandingkan belanja untuk menanggulangi dampak negatif tambang. Untuk periode 2006-2010, rata-rata penambahan penerimaan yang diterima Pemerintah Kota Samarinda dari DBH pertambangan umum sebesar Rp. 22,3 Milyar per tahun (termasuk penerimaan Pemprov Kaltim dari bagi hasil pertambangan umum di Kota Samarinda). Tanpa ada pertambangan di Kota Samarinda, Pemerintah Kota Samarinda tetap akan menerima dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum sebesar 77% dari jumlah yang diterima saat ini tetapi akan terbebas dari beban anggaran untuk penanggulangan dampak pertambangan.

Untuk pengelolaan pertambangan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengar memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Sistem pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Kota Samarinda tidak berjalan efektif. Fungsi pengendalian yang tidak efektif ini mengakibatkan terjadinya pencemaran yang kemudian berdampak pada kesehatan dan keselamatan warga masyarakat terutama perempuan dan anak , bahkan menimbulkan korban dikawasan pertambangan. Fungsi pengendalian yang tidak efektif terjadi karena lemahnya regulasi dan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah. Perda Tambang tidak mengatur secara spesifik tentang instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Selain tiadanya ketentuan yang spesifik tentang kriteria lokasi tambang (tata ruang), juga tidak ada ketentuan spesifik tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, ketentuan baku mutu limbah tambang batubara, dan kewajiban melakukan analisis risiko lingkungan hidup. Seluruh instrumen tersebut seharusnya diterapkan dalam industri tambang batubara mengingat tingginya risiko lingkungan yang dapat ditimbulkannya (Pasal 14 UU 32/2009). Efektifitas dari beberapa instrumen tersebut sangat tergantung pada efektifitas sistem perizinan. Dalam praktiknya sistem perizinan tidak berjalan efektif seperti telah dijelaskan sebelum ini. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda memiliki fungsi pengendalian pencemaran. Fungsi tersebut tidak berjalan baik karena minimnya fasilitas dan anggaran yang dimiliki.

Prinsip perlindungan hukum lingkungan, terkait instrumen-instrumen lingkungan hidup, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, belum maksimal melindungi masyarakat sekitar kawasan pertambangan. Ini disebabkan perbedaaan penerapan asas ultimum remedium pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Hal disebabkan persoalan penafsiran dalam penjelasan undang-undang tersebut, lebih menekankan pada sanksi adminitrasi dan sanksi perdata, untuk sanksi pidana sebagai upaya terakhir dari proses penegakan hukum lingkungan. Upaya perlindungan lingkungan terhadap korban dalam pengelolaan pasca pertambangan menjadi tidak jelas dalam penegakan hukumnya, karena perbedaaan penerapan konsep tersebut.

Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, bahwa penegakan hukum pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Kendala penerapan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, karena aparat penegak hukum, belum mempunyai pedoman aturan pelaksanaan undang-undang tersebut, kemudian juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup, serta politisasi dalam usaha pertambangan di Kota Samarinda. Sehingga upaya perlindungan terhadap pengelolaan pertambangan masih kurang maksimal.

Kedepan dalam pengelolaan pertambangan batubara di Kota Samarinda, segera disahkan Revisi perda tentang Pertambangan, diperlukanDiperlukan perbaikan dalam 3 (tiga) aspek; hukum materiil, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan ilakukan kajian ulang terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun