Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Pengaturan Hukum Lingkungan dalam Pengelolaan Usaha Pertambangan Batubara di Kota Samarinda

19 November 2012   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:05 4096 0
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara yang Indonesia dijamin oleh Pasal 28H UUD 1945. Perlindungan hukum lingkungan terhadap pengelolaan pertambangan di Kota Samarinda, menunjuk pada UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Pertambangan Batubara di Kota Samarinda mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan pertambangan batubara sebagai sumber kekayaan alam yang tidak dapat diperbarui, bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran warga Kota Samarinda.

Namun disisi lingkungan hidup, usaha pertambangan batubra dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Antara lain dapat merubah bentuk benteng alam, merusak atau menghilang vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah, serta menguras air , tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah gersang yang bersifat asam. Bahkan di Kota Samarinda, bekas sumur usaha pertambangan batubara, telah menelan korban jiwa (5 bocah meninggal dibekas sumur lubang tambangan batubara) ironis.

Timbul dampak negatif dalam pengelolan pertambangan, berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Untuk menurut pakar Hukum Lingkungan Siti sundari Rangkuti, harus ada ditegaknya sarana pencegahan dan penanggulan pencemaran dalam hukum lingkungan . menurut dia, masalah lingkungan yang sedemikian kompleknya memperlukan penyelesaian dari berbagai displin ilmu, seperti kesehatan lingkungan, biologi lingkungan, kimia lingkungan, ekonomi lingkungan dan hukum lingkungan. Peranan hukum lingkungan terutama mengatur kegiatan-kegiatan yang mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan dan menuangkan kebijakan lingkungan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan.

Hal serupa disebutkanMunadjat Danusaputra, menyatakan salah satu alat yang kuat dan ampuh dalam melindungi lingkungan hidup adalah hukum yang mengatur lingkungan hidup yang dimaksud adalah hukum lingkungan (environmenal law atau millieurecht).

Hukum lingkungan menyediakan instrumen-instrumen untuk perlindungungan lingkungan hidup, dalam hal sebagai sarana pencegahan pencemaran yaitu: baku mutu lingkungan, Analisis Mengenai Dampak lingkungan (AMDAL), Izin lingkungan, Instrumen Ekonomic, dan audit lingkungan. Antara baku mutu lingkungan, AMDAL dan perizinan lingkungan memiliki hubungan yang saling terkait dalam rangka berfungsi sebagai pencegahan pencemaran lingkungan.

Perlindungan dalam pengelolaan pertambangan batabara, dalam hal ini diwujudkan dengan mempergunakan sarana pencegahan lingkungan berupa istrumen ekonomi lingkungan hidup. Hukum lingkungan berisi kebijakan lingkungan yang bertujuan utama mencegah pencemaran lingkungan. Sarana utama yang dalam ini berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran lingkungan adalah pengaturan langsung instrumen ekonomik.

Penggunaan instrumen ekonomik dalam pengelolaan lingkungan juga diterapkan dalam pengelolaan pertambangan. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangltutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

Usaha pertambangan batubara, dalam hal ini tahapan reklamasi dan pasca tambang, yang dilakukan untuk upaya perlindungan terhadap pengelolaan pertambangan. Prinsip-prinsip perlindungan ini, dalam hal ini sarana pencegahan pencemaran lingkungan dilakukan dengan, diwajibkan dana reklamasi tambang dan pasca tambang. Dalam hal ini upaya preventif pencegahan lingkungan yang dilakukan setelah beroperasinya usaha pertambangan. Dana reklamasi sebagai jaminan terhadap lingkungan hidup yang berubah, akibat usaha pertambangan. Dengan dana tersebut, dapat dipergunakan untuk memperbaiki lingkungan hidup yang rusak, atau mencegaha keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Kota Samarinda, dengan era otonomi daerah ditandai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Memberi dampak terhadap pengusahaan pertambangan, khusus tambang batubara untuk memberikan izin. hal ini sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Samarinda adalah satu-satunya ibukota provinsi yang menjadi kota tambang. Hampir tiga perempat dari wilayahnya sudah ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Tambang (WIUP). Data dari Distamben Kota Samarinda menunjukkan ada 68 perusahaan tambang di Samarinda dimana 63 izin dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda, satu perusahaan izinnya dari Pemerintah Provinsi Kaltim, dan empat perusahaan lainnya dari Kementrian ESDM. Dari sisi luasan, izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Samarinda lebih dari setengah dibanding total luasan WIUP yang ada walaupun luasan per perusahaannya tidak sampai sepersepuluh luasan izin per perusahaan dari Kementrian ESDM. Luasan lahan pertanian sawah dan bukan sawah menurut BPS sebanyak 34.782 ha sedangkan luasan perumahan diperkirakan sekitar 6000 ha. Dengan demikian sudah ada sekitar 19 ribu hektar .

Luasan WIUP ini sudah jauh melebihi jumlah luasan yang seharusnya menurut Rencana Umum Tata Ruang Kota Samarinda tahun 2002. Berdasarkan Perda Nomor. 2 Tahun 2002, lokasi tambang batubara hanya boleh di wilayah Kelurahan Sungai Siring (Pasal 22). Luas Kelurahan Sungai Siring menurut BPS hanya 7,583 ha. Jika setengah dari wilayah Sungai Siring dialokasikan untuk tambang batubara maka luasan tambang batubara hanya boleh sekitar 3.800 ha.

Kontribusi sektor pertambangan batubara terhadap ekonomi Kota Samarinda cukup kecil. Data lima tahun terakhir (2006-2010) menunjukkan bahwa sektor pertambangan dan penggalian rata-rata hanya berkontribusi sebesar 6,3% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Samarinda. Kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB pada tahun 2010 hanya 1% lebih tinggi dibanding tahun 2006. Perubahan yang tidak signifikan ini juga terjadi pada sektor-sektor ekonomi lainnya. Ini berarti struktur ekonomi Kota Samarinda tidak mengalami perubahan banyak pada periode 2006-2010. Padahal pada periode yang sama produksi batubara dari kuasa pertambangan (KP) meningkat sangat signifikan. Produksi batubara tahun 2009 lebih dari tiga kali lipat dari produksi tahun 2006.

Dari segi kontribusi kepada PDRB, sektor paling dominan di Samarinda adalah: perdagagan/hotel dan restoran (28%), industri pengelolahan (20%), jasa (12%), keuangan, persewaan dan jasa perusahan (13%) serta pengangkutan dan komunikasi (11%). Sektor pertambangan dan penggalian adalah sector ke-enam dalam urutan kontribusi kepada PDRB.

Pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari pertambangan batubara di Samarinda lebih rendah dibandingkan belanja untuk menanggulangi dampak negatif tambang. Untuk periode 2006-2010, rata-rata penambahan penerimaan yang diterima Pemerintah Kota Samarinda dari DBH pertambangan umum sebesar Rp. 22,3 Milyar per tahun (termasuk penerimaan Pemprov Kaltim dari bagi hasil pertambangan umum di Kota Samarinda). Tanpa ada pertambangan di Kota Samarinda, Pemerintah Kota Samarinda tetap akan menerima dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum sebesar 77% dari jumlah yang diterima saat ini tetapi akan terbebas dari beban anggaran untuk penanggulangan dampak pertambangan.

Untuk pengelolaan pertambangan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Dengan terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengar memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Sistem pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Kota Samarinda tidak berjalan efektif. Fungsi pengendalian yang tidak efektif ini mengakibatkan terjadinya pencemaran yang kemudian berdampak pada kesehatan dan keselamatan warga masyarakat terutama perempuan dan anak , bahkan menimbulkan korban dikawasan pertambangan. Fungsi pengendalian yang tidak efektif terjadi karena lemahnya regulasi dan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah. Perda Tambang tidak mengatur secara spesifik tentang instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Selain tiadanya ketentuan yang spesifik tentang kriteria lokasi tambang (tata ruang), juga tidak ada ketentuan spesifik tentang analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), izin lingkungan, ketentuan baku mutu limbah tambang batubara, dan kewajiban melakukan analisis risiko lingkungan hidup. Seluruh instrumen tersebut seharusnya diterapkan dalam industri tambang batubara mengingat tingginya risiko lingkungan yang dapat ditimbulkannya (Pasal 14 UU 32/2009). Efektifitas dari beberapa instrumen tersebut sangat tergantung pada efektifitas sistem perizinan. Dalam praktiknya sistem perizinan tidak berjalan efektif seperti telah dijelaskan sebelum ini. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Samarinda memiliki fungsi pengendalian pencemaran. Fungsi tersebut tidak berjalan baik karena minimnya fasilitas dan anggaran yang dimiliki.

Prinsip perlindungan hukum lingkungan, terkait instrumen-instrumen lingkungan hidup, dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, belum maksimal melindungi masyarakat sekitar kawasan pertambangan. Ini disebabkan perbedaaan penerapan asas ultimum remedium pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Hal disebabkan persoalan penafsiran dalam penjelasan undang-undang tersebut, lebih menekankan pada sanksi adminitrasi dan sanksi perdata, untuk sanksi pidana sebagai upaya terakhir dari proses penegakan hukum lingkungan. Upaya perlindungan lingkungan terhadap korban dalam pengelolaan pasca pertambangan menjadi tidak jelas dalam penegakan hukumnya, karena perbedaaan penerapan konsep tersebut.

Penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, bahwa penegakan hukum pidana dalam undang-undang ini memperkenalkan Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

Kendala penerapan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, karena aparat penegak hukum, belum mempunyai pedoman aturan pelaksanaan undang-undang tersebut, kemudian juga kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup, serta politisasi dalam usaha pertambangan di Kota Samarinda. Sehingga upaya perlindungan terhadap pengelolaan pertambangan masih kurang maksimal.

Kedepan dalam pengelolaan pertambangan batubara di Kota Samarinda, segera disahkan Revisi perda tentang Pertambangan, diperlukanDiperlukan perbaikan dalam 3 (tiga) aspek; hukum materiil, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan ilakukan kajian ulang terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.

Pada akhirnya semua berharap, batubara bara membawa berkah bukan bencana, stop pertambangan di Kota Samarinda.

DAFTAR PUSTAKA


  • Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berancana, Hak Asasi Perempuan dan Anak dalam Industri Pertambangan di Kota Samarida, Bpp dan KB Propinsi Kaltim dan GIZ, 2009.
  • Daud Silalahi, Amdal Dalam Sistem Hukum Lingkungan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1995.
  • ———–, Peranan Hukum Dalam Mengaktualisasikan Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan, Mandar Maju, Bandung 1997.
  • Fathi Hanif, et.al, Bunga Rampai Hukum dan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Bayu Indra Grafika-Ulin, 2004.
  • Siti Sundari Rangkuti, Kesamaan Persepsi Terhadap Penegakan Hukum Lingkungan, Surabaya; Yuridika, Majalah Fakultas HukumUnair, No.5 Tahun IX September-Oktober; 1994.
  • ————, Hukum lingkungan dan Kebijaksanan lingkungan Nasional (Surabaya; Airlangga University Press, 2005.
  • ———–, Sistem Perizinan Lingkunga Instrumen Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Seminar Hukum Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Badan Pengendalia Dampak Lingkungan (BAPPEDA), Hotel Indonesia, Jakarta, 1-2 Mei 1996.
  • ———–, Perwujudan Sistem Perizinan Lingkungan Terpadu, Kursus Perizinan Lingkungan sebagai instrumen pencegahan lingkungan, Komisi Kerja Hukum Lingkungan BKPSL- Indonesia, dan PPLH Lembaga Peneitian Universitas Airlangga, 6-7 Juni 200.
  • St Munadjat Danusaputra, Hukum Lingkungan Buku Satu Umum, Binacipta Bandung, 1980.
  • Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Airlangga University Press, Surabaya, 2003.
  • W. Riawan Tjandra, Perizinan Sebagai Instrumen Perlindungan Lingkungan, Justitia ET Pax, Majalah Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogjakarta, 10 Juli 2005.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun