Mohon tunggu...
Kornelis Siprianus Kaju Ria
Kornelis Siprianus Kaju Ria Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMA SWASTA KATOLIK THOMAS AQUINO-GOLEWA

Hobi membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bu'e Wio, Asal-Usul Upacara Paru Witu (Berburu Babi Hutan) di Kampung Dolupore-Mataloko

19 Januari 2023   12:20 Diperbarui: 19 Januari 2023   12:21 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di sebuah kampung kecil bernama Dolu, yang terletak di bawah kaki Bukit Sasa hiduplah sebuah keluarga yang sangat sederhana yang menggantungkan hidup dari hasil kebun. Hampir setiap hari mereka tinggal di Tua Woi, tempat dimana kebun mereka berada. Keluarga tersebut memiliki tiga orang anak yakni Bu'e Wio dan kedua saudaranya Jono dan Sipe.

Pada suatu hari, berkatalah ibunya kepada Bu'e Wio: "Hai nak, besok di kampung akan diselenggarakan upacara kenduri. Kami semua harus menghadiri acara tersebut. Mengingat padi dan jagung kita yang sebentar lagi akan dipanen, maka sebagai kakak tertua, engkau tolong menjaga kebun kita jangan sampai dihabiskan oleh monyet dan burung pipit". Tanpa berpikir panjang Bu'e Wio menanggapi: "Iya mama, saya akan menjaga kebun kita. Bapa, mama dan adik-adik boleh mengikuti upacara di kampung. Saya pasti akan menjaga kebun dengan baik". Mendengar jawaban yang bijak dari anaknya, hati ibunya menjadi lega.

Keesokan paginya, pulanglah bapak, mama dan adik-adik Bu'e Wio ke kampung Dolu. Tinggalah Bu'e Wio seorang diri di dalam pondok yang dibuat seperti panggung. Ketika tengah hari, matanya tiba-tiba tertuju pada beberapa sosok yang datang dari arah Bukit Roge (sebuah bukit yang berjarak sekitar 1 KM dari kebun Bu'e Wio). Sosok itu seperti manusia lengkap dengan pakaian adat. Bu'e Wio makin penasaran. Dia bertanya dalam hati: "Siapa mereka. Bukankah semua orang di kampung Dolu menghadiri acara kenduri". Rasa penasaran tersebut membuat pandangannya tidak terlepas dari sosok itu. Makin lama makin dekat, sosok itu ternyata menuju ke arah pondoknya. 

Ketika sudah dekat, sosok tadi berubah menjadi babi hutan. Babi-babi itu segera melahap jagung dan padi di kebun itu. Bu'e Wio berteriak untuk mengusir babi-babi tersebut, namun tak dihiraukan. Babi hutan itu seperti kerasukan kelaparan yang sangat dahsyat. Dalam waktu singkat, seluruh isi kebun itu habis dilahap. Namun rasa lapar masih terus menggerogoti babi-babi hutan itu. Dengan mata merah menyala, mereka menuju ke pondok Bu'e Wio. Bu'e Wio berteriak makin keras: "Tolong....tolong. Saya diserang babi hutan". Jelas, bahwa tak seorangpun yang mendengarkan teriakannya karena semua orang di kampung.

Babi itu mulai menggigit tiang pondoknya. Bu'e Wio membuang kestela dari dalam pondoknya. Pikirnya mungkin mereka akan segera kenyang dan pergi. Namun ternyata tidak. Babi-babi hutan itu makin menjadi-jadi. Sambil terus menangis dan berteriak, Bu'e Wio membuang kestela yang terakhir. Kestela yang sangat banyak tak mampu membuat perut babi hutan menjadi kenyang. Babi itu terus menggerogoti tiang pondok dengan taring merka yang tajam. Dalam waktu singkat, robohlah pondok itu. Bu'e Wio menjadi sasaran empuk bagi babi-babi itu. Tubuhnya digigit dan disobek-sobek. Matilah Bu'e Wio.

Keesokan harinya, orang tua dan adik-adiknya menuju ke kebun sambil membawa nasi dan daging. Pikir mereka Bu'e Wio pasti senang sekali (pada masa itu nasi dan daging adalah makanan mewah dan hanya dikonsumsi dalam upacara adat, satu atau dua kali dalam setahun). Setibanya di kebun, mereka sangat kaget. Kebun hancur luluh lantah dan pondok yang sudah rubuh, rata dengan tanah. Mamanya berteriak memanggil Bu'e Wio:                " Wio.....ohh Wio..kau dimana nak. Aduh puteriku semata wayang, dimanakah engkau". Bapak dan ke-2 saudaranya mencari di seluruh kebun. Mereka kaget melihat bekas kaki babi hutan yang sangat banyak. Mereka terus mencari dan menemukan potongan tubuh dan rambut Bu'e Wio yang berserakan.

Melihat keadaan itu, Jono dan Sipe segera menuju kampung dan berteriak di tengah kampung. "Hai orang-orang kampung Dolu, saudari saya Bu'e Wio telah dimakan oleh babi hutan. Mari kita cari dan bunuh semua babi hutan". Mendengar itu, seisi kampung Dolu, laki-laki dengan berkuda membawa anjing dan tombak, perempuan membawa buluh yang ditajamkan menuju ke Bukit Roge. Mereka membunuh semua babi hutan yang ditemukan. Jono saudara Bu'e Wio dengan beberapa pemuda penuh amarah dengan wajah beringas terus mencari babi-babi hutan dan menombakinya.

Ketika hari mulai gelap, mereka mendapati seekor babi hutan yang tinggal di dalam pohon mangga yang sudah tumbang. Babi hutan itu sementara bunting. Ketika Jono hendak menombakinya, tiba-tiba babi hutan itu berbicara sambil menangis:" Jangan bunuh saya, sebab saya harus melahirkan anak-anak dalam kandungan ini. Biarlah anak dan cucu saya menjadi tanda antara manusia dengan babi hutan". Mendengar hal itu, Jono mengurungkan niatnya. Babi hutan itu beranak cucu dan bertambah banyak.

Mulai saat itu, setiap tahun orang Dolu melaksanakan upacara "Paru Witu" (Berburu Babi Hutan). Rambut Bu'e Wio masih tersimpan rapi di dalam Sa'o Mai Wali. Jika rambutnya mulai berminyak, maka orang Dolu harus segera melakukan upacara "Paru Witu". Orang-orang dari kampung tetanggapun turut diundang ambil bagian dalam upacara ini. Setiap tahun selalu ada babi hutan yang terbunuh dalam upacara ini.

Pesan moral dari kisah ini: Jangan pernah membiarkan anak wanita tinggal sendiri. Semua anak harus mendapat perlakuan dan kasih sayang yang sama. Mereka perlu dijaga dan dibimbing.

Terima kasih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun