Mohon tunggu...
Yudho Sasongko
Yudho Sasongko Mohon Tunggu... Freelancer - UN volunteers, Writer, Runner, Mountaineer

narahubung: https://linkfly.to/yudhosasongko

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ekuilibrium Tradisional yang Tahan Banting

29 April 2020   05:10 Diperbarui: 29 April 2020   05:10 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramadan di Indonesia selain khas dengan kudapan dan jajanan berbuka, juga identik dengan kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok. Ini merupakan masalah klasik yang anual (tahunan). 

Kenaikan harga  seperti daging ayam, cabai mera, telur, gula pasir, minyak goreng dan lainnya menjadi santapan tahunan kantong masyarakat Indonesia.

Karena anual (tahunan), maka dengan sendirinya akan terciptakan sebuah ekuilibrium tradisional yang tangguh. Artinya masyarakat sudah terbiasa dan akhirnya bereaksi biasa-biasa saja. Peristiwa ini sudah pasti dihadapi tiap tahun sebagai bentuk dinamika pasar Ramadan dan Hari Raya.

Sama halnya yang terjadi di lingkungan saya, harga-harga masih stabil. Jika ada kenaikan itu tak seberapa. Hal yang sama terjadi seperti tahun-tahun lalu. Inilah salah satu kelebihan ekuilibrium tradisional yang mampu meredam gejolak kenaikan harga dan dinamikanya.

Masyarakat malah lebih melihat dari sisi berkahnya. Walaupun harga naik, tetap saja bisa menyajikan hidangan Ramadan yang beraneka ragam. Bahkan lebih jauh, walau harga naik, semangat berbagi tak pernah pupus. Ibu-ibu berjibaku menyumbang kudapan takjil ataupun untuk konsumsi acara tadarusan.

Di dalam ilmu ekonomi memang ada teori tentang inflasi yang menjelaskan tentang keadaan kenaikan harga umum secara bersama-sama dan berlangsung secara terus-menerus hingga saling berinterferensi satu sama lainnya.

Akan tetapi, kenaikan harga saat Ramadhan atau jelang Hari Raya, tidak bisa disebut sebagai inflasi karena bersifat momentum atau sementara. Apalagi menjelang Hari Raya, di mana masyarakat ingin berbahagia dengan hidangan andalan mereka masing-masing. Secara psikologis, mereka lebih cenderung tenang-tenang saja.

Inilah kekuatan ekuilibrium tradisional yang tersebut di atas. Kenaikan harga di Bulan Ramadan tentunya jika dihubungkan dengan teori di atas adalah dipengaruhi oleh tingginya permintaan hingga daya beli masyarakat pun meningkat. Ketika permintaan sangat tinggi, maka otomatis supplier memahami hal tersebut dan akhirnya harga mengalami perubahan.

Untuk Ramadan 2020, kemudian jika melihat harga bahan pokok di sekitar lingkungan saya, yang selanjutnya  dibandingkan dengan rilis resmi seperti data dari  SP2KP (Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok) dengan entri wilayah saya, Surabaya, maka secara keseluruan tidak ada kenaikan yang sangat signifikan.

Bahkan beberapa bahan pokok tidak mengalami kenaikan seperti gula pasir yang tetap Rp17500/kg per 29 April 2020. Sedang harga untuk bahan lainnya seperti daging ayam ras hanya mengalami kenaikan sebesar seribu rupiah saja dari Rp25.000/kg menjadi Rp26.000/kg per 29 April 2020. 

Kenaikan harga momentum seperti Ramadhan ini bagi perekonomian negara sebenarnya tidak terlalu berpengaruh karena sudah disiapkan dan diantisipasi serta sudah terlatih selama bertahun-tahun. Tentunya kenyang pengalaman menghadap momen tahunan Ramadan dan Hari Raya. 

Jadi dampaknya sudah bisa dihitung karena hal seperti ini rutin terjadi. Semua instansi pemerintah sudah disiapkan untuk menghadapi kenaikan ini. Masyarakat juga sudah bisa beradaptasi dan terbiasa dengan harga yang baru momen tahunan ini.  

Di sisi lain ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020 telah mengumumkan bahwa Covid-19 sebagai pandemi global, maka Indonesia pun tak luput dari wabah yang disebabkan oleh virus corona ini.

Covid-19 tak hanya menimbulkan krisis kesehatan. Adanya seruan untuk tinggal di rumah, menjaga jarak fisik, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah semakin luasnya penyebaran penyakit ini telah menimbulkan dampak sosial dan ekonomi.

Karena dampaknya berdekatan dengan ketahan ekuilibrium tradisional ini (Ramadan dan Lebaran), maka sedikit tertolong dengannya. Termasuk juga ketahan pemerintah yang sudah tahan uji dengan fluktuasi ekonomi tahunan ini. Pemerintah siap memenuhi kebutuhan pokok dalam jumlah besar untuk Ramadan dan Idul Fitri 1441 Hijriah. Tidak begitu kaget ketika tren konsumsi tahunan masyarakat ini cenderung meningkat.

Harga-harga bahan pokok di sekitar saya juga tak jauh dari pantuan data SP2KP di ats. Hasil yang cukup bagus ini berkat usaha pemerintah dalam melakukan operasi pasar yang dilakukan dengan teliti dan tegas untuk meredam harga atau agar supaya kenaikannya tidak terlalu liar. 

Sebelas komoditas yang dikawal tentu seperti yang sudah-sudah, semisal beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi/kerbau, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng.

Seperti di lingkungan pasar tradisonal di tempat saya, hampir tidak ada fluktuasi untuk beberapa bahan di atas. Semisal cabe merah besar masih Rp20.000/kg per 29 April 2020. Kemudian bawang merah Rp40.000/kg dan tepung terigu Rp10.000/kg per 29 April 2020.

jadi kesimpulannya, harga bahan pokok dan beberapa harga bahan kebutuhan lainnya di lingkungan saya dan beberapa radius perpanjangannya, hingga hari ini per 29 April 2020 tidak mengalami fluktuasi yang signifikan. Efek  PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) akibat pandemi Covid-19 juga tidak begitu berpengaruh berkat kekuatan ekuilibrium tradisional tahunan ini. 


Referensi:

PIHPS Nasioanal,Tabel Harga Berdasarkan Komoditass

Kementerian Perdagangan RI, Pemantauan Komoditas Bahan Pokok eba

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun