Mohon tunggu...
Elly Nagasaputra MK CHt
Elly Nagasaputra MK CHt Mohon Tunggu... Administrasi - Konselor Pernikahan dan Keluarga

Konselor Profesional yang menangani konseling diri, konseling pra-nikah, konseling pernikahan, konseling suami istri, konseling perselingkuhan, konseling keluarga. www.konselingkeluarga.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hiks, Suamiku Anak Mami!

6 Mei 2018   09:36 Diperbarui: 6 Mei 2018   23:38 2606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Yes Mom" Husband

Milan (27) dan suaminya, Raka (27) telah menikah dua tahun dan baru saja dikaruniai seorang anak. Belakangan Milan semakin merasa kalau suaminya selalu saja mengikuti kata-kata ibunya soal merawat anak mereka. Terutama soal makanan dan susu yang diberikan. Padahal, keinginan sang mertua ini bertentangan dengan keinginannya dalam merawat anak.

Misalnya, soal pemberian ASI. Milan ingin memberikan anaknya ASI saja hingga usia satu tahun, toh ASI-nya cukup melimpah. Tapi ibu mertuanya justru menyarankan pada Raka agar memberi tambahan susu formula bagi anak mereka yang baru berusia 8 bulan. Milan sempat mengungkapkan rasa ketidaksetujuannya. Ia pun sampai mengajak suami berkonsultasi langsung dengan dokter anaknya. Tapi, rupanya Raka tetap ingin mengikuti apa kata ibunya.

Sebenarnya perkara Raka yang terlalu pro pada ibu dan keluarganya, tidak terjadi sekali ini saja. Sejak menikah, Milan merasa Raka lebih sering mendengarkan perkataan ibu dan saudaranya dibandingkan ia yang berstatus istri. Raka juga tidak pernah absen datang ke acara keluarganya. Raka lebih mudah membatalkan janji datang ke keluarga Milan, jika ternyata di keluarganya ada acara dadakan. Tapi sebaliknya, jika acara dadakan itu terjadi di keluarga Milan, Raka seperti tidak peduli.

Begitu pula dengan masalah keuangan. Raka tidak pernah berdiskusi dengan Milan, ketika ia ingin membantu keluarganya. Seperti ketika Raka membayari kursus komputer adiknya dan ternyata juga berjanji membiayai pernikahan adik lainnya. Padahal secara finansial, keuangan keluarga kecil mereka belum cukup aman.

Pada dasarnya setiap keluarga memiliki culture atau aturan main yang berbeda-beda. Dalam hal ini, ada keluarga yang ikatannya sangat dekat satu sama lain. Anak dengan orang tua dan sesama saudara bisa saling mendukung dan membela satu sama lain. Mereka sangat terbuka, bisa sharing cerita satu sama lain. Hal ini tentu saja baik bagi keluarga. Artinya, orang tua sukses mendidik anak-anaknya. Tapi jika kebablasan, bisa saja tidak ada lagi batas privacy dalam keluarga ini.

Hal tersebut akan menjadi masalah ketika anak-anak sudah besar dan akhirnya membentuk keluarga sendiri. Entitas keluarga mereka yang sudah sangat kuat ini, kemudian dibawa masuk ke dalam keluarga baru. Padahal sebuah keluarga baru seharusnya memiliki entitas tersendiri yang "terpisah" dari keluarga besarnya.

Ketika seseorang telah menikah, maka keluarga intinya ini harus menjadi yang utama. Bagi Raka, tanggungjawabnya kini adalah bagi Milan dan anaknya. Jadi apapun keputusan yang ia ambil harus mengutamakan keluarga intinya terlebih dahulu. Misalnya, ketika ingin membiayai adik untuk sekolah, harus ada diskusi dengan pasangan.

Tidak heran kalau Milan merasa gerah karena pada semuanya ia harus mengalah. Awalnya mungkin baik-baik saja. Tapi kalau lama-lama diteruskan seperti ini, tentu tidak sehat. Karena di satu sisi Milan akan merasa keberadaannya tidak bermakna. Ia merasa tidak berada dalam picture pasangannya, opininya tidak pernah diperhitungkan. Suaranya tidak pernah dipertimbangkan, idenya tidak pernah didiskusikan. Kondisi tersebut sangat membuat Milan tidak bahagia dan tertekan. Milan merasa hanya menjadi "boneka" yang tidak berarti di keluarganya sendiri.

Bangun Entitas Baru

Pasangan yang menikah harus membicarakan core culture seperti apa yang ingin mereka bangun untuk keluarga barunya ini. Tidak bisa kita memaksakan pasangan mengikuti culture yang sudah ada di keluarga, karena pasangan juga memiliki culture sendiri dengan keluarganya. Seperti apa sebuah keluarga harus dibangun, ditentukan oleh kedua orang yang membangun keluarga tersebut, yaitu suami dan istri, bukan orang tua atau saudara.

Jadi, harus dibentuk satu value baru yang merupakan hasil diskusi pasangan. Value ini bisa macam-macam dari pola berkomunikasi, keterbukaan dan kejujuran, soal keuangan, nilai-nilai moral yang akan dianut  dalam keluarga, pola pengasuhan anak, dan lainnya. Semua value tersebut haruslah versi baru, hasil diskusi pasangan untuk diterapkan sebagai entitas keluarga baru mereka.

Kembali ke kasus Raka dan Milan, ada konsep keluarga yang salah, di mana suami tidak bisa lepas dari keluarganya. Maka yang harus diperbaiki dahulu adalah paradigma berpikir Raka akan konsep berkeluarga itu sendiri. Raka harus sadar dengan status barunya sebagai suami. Bahwa ia sudah menikah dan membangun keluarga baru dengan Milan, yang terpisah dari ayah ibu dan saudara-saudaranya.

Kalau paradigma berpikir ini belum jelas dan rancu, maka mau istrinya protes seperti apa ia tidak akan menggubrisnya. Raka mungkin akan bilang "kamu tidak mengerti saya", begitu pula sebaliknya dengan Milan. Atau Raka mungkin berubah, tapi hanya sebentar saja, lalu kembali lagi ke pola lama yang tidak disetujui Milan.

Sebagai istri, Milan bisa mengambil moment-moment yang baik dan membicarakan unek-uneknya pada Raka. Komunikasikan keinginan-keinginan yang ada. Sampaikan keluhan, jangan kasus per kasus. Tapi langsung masuk ke inti masalahnya, yaitu bagaimana membangun value keluarga baru yang bisa menampung aspirasi pasangan.

Tapi kembali lagi, memberikan pengertian kepada suami ini bukan hal yang mudah. Bayangkan Raka sudah bersama keluarganya 25 tahun sebelum menikah dengan Milan. Tentu tidak mudah bagi seorang Milan untuk bisa "mengubah" suaminya.

Sekadar bicara, mengeluh bahkan sampai marah pun terkadang tidak memberikan suatu solusi yang permanen. Jika sudah diusahakan maksimal dan ternyata tidak bisa, maka sudah perlu ada kesadaran untuk mencari bantuan profesional. Karena jika didiamkan berlarut-larut, kekecewaan yang menumpuk akan sangat tidak baik untuk relasi suami istri tersebut.

Carilah Konselor Profesional yang Anda percaya memiliki pengalaman dan kompetensi untuk menengahi hal ini. Karena Konselor Profesional adalah pihak yang netral dan memiliki otoritas untuk memediasi. Dengan adanya otoritas ini, suami akan berusaha untuk lebih mendengarkan. Dan akan dapat ditemukan suatu solusi yang tidak hanya membahagiakan untuk istri tapi juga untuk suami tersebut.

Jika istri terus mengeluh hal yang sama berulang-ulang, bukan hanya suami tidak akan berubah, suami bahkan sudah akan sangat lelah mendengarkan keluhan istri. Karena sudah mengetahui istri pasti akan mengeluhkan keluarga besarnya. Sehingga justru timbul ketidaksukaan suami terhadap istri dimana suami menganggap si istri "membenci" keluarganya.

Belum lagi jika istri sudah tidak tahan dan mengeluh langsung ke mertua atau ipar, bisa terjadi keributan besar yang akan membuat kisruh segala sesuatunya.

Ketika kita hidup di budaya timur, hal seperti ini memang sering terjadi. Namun tentunya tidak harus putus asa. Tetap harus memiliki komitmen untuk dapat membangun keluarga bahagia sesuai nilai/value yang kita inginkan. Dan jika pasangan tidak dapat diberi pengertian, maka bisa mencari penengah Konselor Pernikahan yang professional untuk membantu Anda memiliki keluarga idaman sesuai yang Anda cita-citakan.

Salam Sejahtera,

Elly Nagasaputra, MK, CHt

Marriage Counselor & Hypnotherapist

www.konselingkeluarga.com

www.klinikhipnoterapijakarta.com

-healing hearts -- changing life -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun