Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Wahai Freelancer, Perkecil Risiko Krisis Finansialmu dengan Cara Ini

23 April 2020   17:22 Diperbarui: 24 April 2020   16:23 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krisis finansial sedang mengintip para freelancer yang kehilangan klien akibat pandemi (Foto: Shutterstock via kompas.com)

Artikel ini adalah bagian dari Seri Liputan Khusus Kompasiana yang menyoroti pola kerja lepas di kalangan masyarakat. Kami mewawancarai sejumlah pekerja lepas yang bekerja untuk ragam sektor industri dan para profesional yang ranah kerjanya bertautan dengan gaya hidup ini.

**

"Masih ancur banget ngelola keuangan," kata Adi Muhammad Fachrezi (24). Ia merupakan mahasiswa tingkat akhir yang memilih membuka bisnis jasa perjalanan (open trip) dan freelance di bidang fotografi.

"Enggak pernah itungan kalau mau pakai uang, karena selalu mikir 'ah entar juga uang mah ada lagi', hahaha."

Adi mengakui hal ini sebagai kelemahannya dan memang harus diperbaiki. Terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19 yang sedang terjadi ini. Sangat terasa pentingnya mengatur keuangan dengan cermat.

Bukannya apa-apa, tapi kerentanan nyatanya sedang mengintip para pekerja lepas yang kehilangan klien akibat pandemi, lho, meskipun itu bukan satu-satunya faktor.

Merujuk pada data survei Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) yang dilakukan sejak 20 Maret 2020, banyak pekerja lepas di sektor industri kreatif terpaksa menghentikan aktivitasnya.

Subsektor yang paling terdampak adalah film, video, dan audiovisual (17,35%) pekerja seni pertunjukan (10,8%), seni vokal dan musik (9,4%), fotografi (9,4%), penelitian (7,2%), dan desain komunikasi visual (7,2%).

Tidak semua subsektor bisa mengerjakan pekerjaannya dari rumah (infografis dirilis oleh Sindikasi)
Tidak semua subsektor bisa mengerjakan pekerjaannya dari rumah (infografis dirilis oleh Sindikasi)

Ketua Pengurus Harian Sindikasi, Ellena Ekarahendy, dalam konferensi online yang diselenggarakan pada 15 April lalu mengungkapkan, subsektor-subsektor tersebut menjadi paling terdampak karena memang pekerjaannya sangat bersifat site-spesific. Dalam artian pekerjaan yang jika lokasinya diubah maka substansinya akan berbeda.

"Misal di film, yang terdampak adalah mereka yang ada di bagian produksi. Tentu tidak memungkinkan produksi film itu syuting dari rumah karena mereka butuh tempat yang secara spesifik berada di sana."

Hal ini berlaku juga untuk subsektor lain seperti misalnya seni pertunjukan atau musik. Memang bisa saja jika dilakukan pertunjukan secara online, tapi yang perlu diingat bahwa dalam subsektor ini pekerjanya bukan hanya sang penampil. Banyak kru panggung yang mendapat upah berdasarkan kehadiran fisik mereka di tempat.

Dalam kondisi pekerjaan yang kontraknya dibatalkan tersebut, para freelancer harus menanggung beban sendiri, terlebih bagi yang memiliki tanggung orangtua, pasangan (istri/suami), atau anak.

Dari survei ini Sindikasi ingin menunjukkan bahwa pandemi telah meningkatkan kerentanan para freelancer yang diukur dari beberapa indikator, seperti potensi upah yang hilang serta adanya orang yang menjadi tanggungan si pekerja.

(Hasil survei dan kertas posisi Sindikasi terkait kerentanan freelancer di tengah krisis Covid-19 bisa dibaca di sini)

Baca juga: Buat yang Jenuh WFH, Dapat Salam dari Freelancer!

Tak Sekadar Bekerja Lepas, Harus Ada Tujuan
Mada Aryanugraha selaku perencana keuangan berulang kali menyampaikan pada klien atau rekan-rekannya yang memilih jalur freelancer, mengenai hal penting yang tentunya akan berkaitan dengan cara mengatur keuangan, yaitu: tujuan.

Ya, Menurut Mada, freelancer harus memiliki tujuan yang mau dicapai selanjutnya, bahkan termasuk soal pensiun. Salah jika freelancer tidak menentukan sejak awal tujuan mereka ke depan. Sebab dengan begitu ia akan menjalani rutinitas yang itu-itu saja.

Sampai kapan? Nah itu dia yang harus ditentukan.

Saat memutuskan menjadi freelancer upayakan sudah punya rancangan yang pasti untuk masa depan (Foto: Unsplash/Bethany Legg)
Saat memutuskan menjadi freelancer upayakan sudah punya rancangan yang pasti untuk masa depan (Foto: Unsplash/Bethany Legg)

Berdasarkan pengalaman selama ini, Mada menuturkan bahwa freelancer sebenarnya merupakan satu tahapan untuk menjadi seorang pengusaha. Bukan berarti lepas dari apa yang selama ini ia lakukan sebagai freelancer, tapi justru menguatkan hal yang sudah dijalankan. Caranya bagaimana? Bangunlah tim.

"Yang namanya freelancer, kalau dia sakit, kalau mengalami kendala dalam hal menjalankan aktivitasnya, maka uangnya akan tertahan kan? Sama kayak orang dagang, kalau sakit gak bisa jualan, berarti gak ada pemasukan. Nah maka dia harus membangun tim sehingga apapun kondisi dia, dia tetep bisa mendapatkan uang," ujar Mada.

Dengan membangun tim itulah berarti ia sudah masuk ke titik entrepreneur. Dari situ, ketika tim sudah dibangun bersama sistem-sistemnya, maka ia sudah bisa memiliki penghasilan tanpa ia harus turun langsung mengerjakan proyek.

Bicara Masa Depan, Bicara Investasi
Namanya manusia, dalam melakukan produktivitas pastinya enggak hanya segitu-segitu saja. Ada kalanya dalam mempersiapkan masa depan kita berpikiran untuk melakukan investasi. Pertanyaannya, apakah freelancer yang tidak memiliki penghasilan tetap bisa berinvestasi?

Oh tentu bisa dong karena semua berhak berinvestasi. Namun.... "Saya selalu mengingatkan, pastikan sebelum berinvestasi harus punya 3 hal yang dipersiapkan," ungkap Mada.

Apa saja sih 3 hal yang dimaksud? Berikut penuturan CEO Sipundi.id ini kepada Kompasiana:

  • Harus Punya Dana Darurat

Dana darurat diperlukan di situasi-situasi genting seperti adanya pandemi Covid-19 ini (Sumber gambar: biz.kompas.com)
Dana darurat diperlukan di situasi-situasi genting seperti adanya pandemi Covid-19 ini (Sumber gambar: biz.kompas.com)

Jangankan untuk berinvestasi, untuk penghidupan sehari-hari pun rasanya akan keteteran seperti kondisi kala pandemi ini jika tidak ada dana darurat. Untuk itu, peristiwa ini bisa dijadikan pelajaran agar kita sesegera mungkin mempersiapkan pos dana darurat. Jumlahnya minimal 3 kali pengeluaran bulanan.

"Kalau masih single pengeluaran sebulan 4 juta, kali 3 bulan, berarti minimal ada 12 juta sebagai dana darurat. Kalau sudah menikah, punya pasangan tidak bekerja, artinya punya satu tanggungan, itu minimum idealnya dikali 6 bulan. Kalau ditambah anak, jadi punya dua tanggungan, berarti minimal dikali 9 bulan pengeluaran. Lebih dari itu, maksimal ada di 12 kali pengeluaran," tutur Mada.

Baca juga: Intip Kiat Para Freelancer Hadapi Ketidakpastian Finansial

  • Harus Punya Proteksi Diri

Hayoo.. Sudahkah kamu memiliki asuransi kesehatan? (Sumber gambar: Thinkstock/Nelosa via kompas.com)
Hayoo.. Sudahkah kamu memiliki asuransi kesehatan? (Sumber gambar: Thinkstock/Nelosa via kompas.com)

Proteksi diri yang dimaksud di sini adalah soal asuransi kesehatan. Idealnya, setiap orang memiliki satu asuransi kesehatan dan satu asuransi jiwa jika memiliki tanggungan lain.

Artinya, kalau suatu waktu sakit maka jangan sampai mengeluarkan dana dari kantong sendiri, tapi dari tabungan asuransi yang sudah ada.

"Kalau merasa enggak sanggup beli asuransi kesehatan swasta, minimal BPJS Kesehatannya harus aktif. Kalau BPJS juga enggak sanggup, ambil fasilitas kesehatan gratis dari pemerintah daerah maupun pusat."

  • Tidak Memiliki Utang Konsumtif

Pilah-pilih berbelanja, pastikan barang tersebut bisa meningkatkan produktivitas kamu (Sumber gambar: Shutterstock via kompas.com)
Pilah-pilih berbelanja, pastikan barang tersebut bisa meningkatkan produktivitas kamu (Sumber gambar: Shutterstock via kompas.com)

Sadar kan kalau saat ini kita banyak mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif? Apalagi dengan kemudahan teknologi, beli ini dan itu jadi serba praktis. Hasrat inilah yang harus kita tahan agar jangan sampai memiliki utang konsumtif.

Btw, apa itu utang konsumtif?

Utang itu sendiri terbagi dua, utang produktif dan utang konsumtif. Utang dinyatakan produktif ketika setelah kita ambil bisa meningkatkan produktivitas. Contohnya properti, karena nilainya akan naik. Nah, sementara utang konsumtif adalah yang kebalikan. Nilainya turun.

Namun ada juga utang yang jika dilihat secara nilai, barang tersebut tidak naik tapi justru memberikan dampak produktivitas pada diri kita. Misalkan handphone, di mana rata-rata harganya cenderung akan menurun.

"Kalau cuma buat main game, stalking orang di sosmed, itu tentu tidak produktif. Tapi buat freelancer, dengan nyicil handphone yang agak mahal, bisa menghasilkan foto atau video yang kualitasnya lebih bagus sehingga berdampak pada peningkatan produktivitas," ujarnya.

Menurut Mada memang untuk yang tidak memiliki penghasilan tetap idealnya tidak memiliki utang konsumtif. Akan tetapi jika ada dalam kondisi tertentu yang mengharuskan berutang maka orang tersebut harus menaikkan target pendapatannya tiap bulan.

Nah, gimana? Pokoknya pastikan dulu tiga hal di atas sudah terpenuhi, barulah boleh untuk melakukan investasi dengan aman dan nyaman. (HFZ)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun