Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Yang Populer di Kompasiana: dari Kebebasan BTP hingga Kecemasan terhadap Simbol Agama

29 Januari 2019   12:10 Diperbarui: 30 Januari 2019   07:08 9734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (4/5/2017). (KOMPAS.com/JESSI CARINA)

Pekan lalu Indonesia diramaikan oleh kabar berakhirnya masa hukuman Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pada tanggal 24 Januari 2019. Ia dipenjara atas kasus penodaan agama pada Mei 2017.

Menjelang 2 tahun masa hukumannya, beredar tulisan tangan Basuki Tjahaja Purnama di berbagai kanal media sosial. 

Dalam surat itu tertulis, "Saya banyak bersyukur kepada Tuhan Allah pencipta langit dan bumi, bahwa saya diizinkan untuk ditahan di Mako Brimob. Saya bersyukur diizinkan tidak terpilih di Pilkada 2017. Jika saya terpilih lagi di Pilkada tersebut saya hanyalah orang yang menguasai Balai Kota saja, tetapi saya di sini belajar menguasai diri seumur hidup saya," tulis Ahok.

Terkait kebebasannya ini, Yupiter Gulo menilai memiliki sosok pribadi yang menarik. Menurutnya, hampir semua yang dimiliki dan dialami BTP menarik untuk diuraikan. 

"Tidak bisa dimungkiri bahwa sosok Ahok menjadi inspirasi banyak orang, tidak saja di negeri ini, tetapi juga di dunia internasional," lanjutnya.

Selian proses kebebasan Basuki Tjahaya Purnama, dalam sepakan ini Kompasiana juga diramaikan tentang keriuhan sebuah ormas yang menggelar demo di kantor Balai Kota Surakarta pada Jumat, (18/01/2019). Aksi ini dipicu oleh pemasangan ornamen di Jalan Jenderal Sudirman Surakarta yang wujudnya dianggap menyerupai salib. Berikut artikel populer di Kompasiana selama sepakan ini:

1. Makna Kebebasan Murni Seorang Ahok

Isu mengenai Basuki Tjahaja Purnama/Ahok, atau yang kini lebih dikenal dengan sebutan BTP selalu menjadi topik hangat di Indonesia.  Terlebih ketika BTP terjerat kasus penodaan agama. Proses pengadilan, masa menjalani hukuman, hingga kabar kebebasannya berhasil menyedot perhatian masyarakat.

Tak sedikit netizen yang mengomentari pembebasan BTP dari berbagai aspek, mulai dari analisis hukum hingga mengulas karakter pria asal Belitung Timur tersebut. Di Kompasiana, Yupiter Gulo menyatakan kekagumannya pada sosok BTP yang patuh pada hukum baik selama menjabat sebagai Gubernur DKI maupun ketika menjalani proses pidana.

Menurut nya, ketaatan BTP pada prosedur hukum mesti menjadi contoh para pejabat dan birokrat. Apalagi di tengah-tengah sistem pemerintahan yang korup ketika semua orang berusaha memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

"Mulai dari menertibkan sejumlah area parkir yang selalu dibawah kendali premanisme, hingga penyusunan RAPB-D DKI di ruangan para legislatif," ujar Yupiter Galo. (Baca selengkapnya)

2. Kilatan Makna Kata "dengan"

Menulis itu menurut Khrisna Pabichara bukan hanya mengurusi tetek-bengek kata baku dan takbaku, melainkan sekaligus memperhatikan rambu-rambu penulisan yang ada.

ilustrasi: @1bichara
ilustrasi: @1bichara
Jika ingin tulisan renyah dibaca, lanjutnya, setidaknya penulis mesti paham kaidah ejaan. Lalu mencontohnya: Apakah kita sudah bisa membedakan fungsi tanda titik (.) dan tanda koma (,)? Apakah kita sudah mengerti mengapa setelah tanda tanya (?) atau tanda seru (!) tidak boleh ada tanda titik (.)?

"Tulisan yang gurih berasal dari penulis yang piawai memilih diksi dan kaya akan rasa kata, fasih meracik kalimat dan khatam tata makna, mahir meramu wacana dan cerdas secara gramatikal," tulisnya. (Baca selengkapnya)

3. Mengapa Harus Cemas Lihat Simbol Agama Lain?

Sebuah organisasi kemasyarakatan menggelar demo di kantor Balai Kota Surakarta pada Jumat, (18/01/2019) . Aksi ini dipicu oleh sekelompok orang yang merasa keberatan dengan ornamen menyerupai salib yang dicat pada badan Jalan Jenderal Sudirman, di depan kantor Balai Kota.

Ornamen yang diprotes sesungguhnya ialah kreasi paving berwarna di sekitar Tugu Pamandengan. Taufan Basuki, pejabat pembuat komitmen proyek tersebut berharap masyarakat tidak salah persepsi dalam melihat desain ornamen itu. Pasalnya, gambar pada paving dimaksudkan sebagai ornamen simbol arah mata angin yang terinspirasi dari filosofi Kasunanan Surakarta.

Peristiwa demo tolak "salib" di depan Balai Kota Solo ini, bagi Bobby Steven mengingatkan akan kejadian intoleransi yang terjadi akhir-akhir ini. 

"Pertama, insiden pemotongan nisan salib di pemakaman umum Jambon, Kotagede, Yogyakarta, hingga hanya berbentuk "T" Desember 2018 lalu. Kedua, perusakan makam nasrani dan muslim di Magelang awal Januari 2019," tulisnya. (Baca selengkapnya)

4. Merindukan Soeratin

Bagi Arnold Adoe, Soeratin adalah sosok yang amat berani mengambil risiko. Meski gajinya terbilang besar saat itu (1000 gulden) tetapi ia meninggalkan jabatannya di perusahaan konstruksi milik Belanda Bouwkundig Bureu Sitsen en Lausada di Yogyakarta demi sepak bola.

Bersama kawan-kawannya, Soeratin bergerak untuk  mengirimkan surat kepada seluruh bond pribumi agar ambil bagian dalam tahap awal perjuangan nasional melalui sepak bola.

"Organisasi baru itu diberi nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI). Setelah diadakan voting maka dipilih  Ir Soeratin dan Abdul Hamid menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua," tulis Arnold Adoe.

Ada kutipan Soeratin yang masih aktual dan pantas kita ingat. Terlebih, PSSI yang dulu didirikan oleh Soeratin, kini tengah mengalami masa krisis: 

"Perlawanan memperjuangkan kehormatan bangsa. Kami orang Indonesia, pantas dan dapat bermain sepak bola." (Baca selengkapnya)

5. Perempuan Penyunggi, Antara Peran Sosial dan Kesehatan

Berkunjung ke pasar adalah salah satu cara Leya Cattleya mengenal masyarakat di suatu wilayah. Ia dapat menganalisis geliat ekonomi dalam interaksi yang terjadi di pasar tradisional. Demikian juga saat ia mengunjungi Pasar Usuku di Pulau Tomia, Wakatobi.

Mama Nia dari Pulau Tomia, Wakatobi (Dokumentasi: Leya Cattleya)
Mama Nia dari Pulau Tomia, Wakatobi (Dokumentasi: Leya Cattleya)
Ketika sedang berisitirahat di sebuah warung, Leya bertemu dengan Mama Nia, penjual  Kasuami (makanan khas berasal dari ubi kayu yang menggantikan peran nasi) di Pasar Usuku. 

Leya Cattleya begitu tertarik adalah cara Mama Nia mengakut bawaannya, yakni dengan menyunggi pisang satu lirang di atas kepalanya. Bahwasanya tradisi menyunggi sangat menarik untuk dibahas sejarah, manfaat medis, hingga pro dan kontranya.

"Di wilayah Indonesia lainnya, saya masih menyaksikan perempuan menyunggi. Di perdesaan di Madura, di Yogya, dan di hampir semua wilayah Nusa Tenggara Timur.  Di Bali, kita menemukan perempuan menyunggi setiap hari," katanya memberi contoh. (baca selengkapnya) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun