Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Yang Populer di Kompasiana: dari Kebebasan BTP hingga Kecemasan terhadap Simbol Agama

29 Januari 2019   12:10 Diperbarui: 30 Januari 2019   07:08 9734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Kamis (4/5/2017). (KOMPAS.com/JESSI CARINA)

ilustrasi: @1bichara
ilustrasi: @1bichara
Jika ingin tulisan renyah dibaca, lanjutnya, setidaknya penulis mesti paham kaidah ejaan. Lalu mencontohnya: Apakah kita sudah bisa membedakan fungsi tanda titik (.) dan tanda koma (,)? Apakah kita sudah mengerti mengapa setelah tanda tanya (?) atau tanda seru (!) tidak boleh ada tanda titik (.)?

"Tulisan yang gurih berasal dari penulis yang piawai memilih diksi dan kaya akan rasa kata, fasih meracik kalimat dan khatam tata makna, mahir meramu wacana dan cerdas secara gramatikal," tulisnya. (Baca selengkapnya)

3. Mengapa Harus Cemas Lihat Simbol Agama Lain?

Sebuah organisasi kemasyarakatan menggelar demo di kantor Balai Kota Surakarta pada Jumat, (18/01/2019) . Aksi ini dipicu oleh sekelompok orang yang merasa keberatan dengan ornamen menyerupai salib yang dicat pada badan Jalan Jenderal Sudirman, di depan kantor Balai Kota.

Ornamen yang diprotes sesungguhnya ialah kreasi paving berwarna di sekitar Tugu Pamandengan. Taufan Basuki, pejabat pembuat komitmen proyek tersebut berharap masyarakat tidak salah persepsi dalam melihat desain ornamen itu. Pasalnya, gambar pada paving dimaksudkan sebagai ornamen simbol arah mata angin yang terinspirasi dari filosofi Kasunanan Surakarta.

Peristiwa demo tolak "salib" di depan Balai Kota Solo ini, bagi Bobby Steven mengingatkan akan kejadian intoleransi yang terjadi akhir-akhir ini. 

"Pertama, insiden pemotongan nisan salib di pemakaman umum Jambon, Kotagede, Yogyakarta, hingga hanya berbentuk "T" Desember 2018 lalu. Kedua, perusakan makam nasrani dan muslim di Magelang awal Januari 2019," tulisnya. (Baca selengkapnya)

4. Merindukan Soeratin

Bagi Arnold Adoe, Soeratin adalah sosok yang amat berani mengambil risiko. Meski gajinya terbilang besar saat itu (1000 gulden) tetapi ia meninggalkan jabatannya di perusahaan konstruksi milik Belanda Bouwkundig Bureu Sitsen en Lausada di Yogyakarta demi sepak bola.

Bersama kawan-kawannya, Soeratin bergerak untuk  mengirimkan surat kepada seluruh bond pribumi agar ambil bagian dalam tahap awal perjuangan nasional melalui sepak bola.

"Organisasi baru itu diberi nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI). Setelah diadakan voting maka dipilih  Ir Soeratin dan Abdul Hamid menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua," tulis Arnold Adoe.

Ada kutipan Soeratin yang masih aktual dan pantas kita ingat. Terlebih, PSSI yang dulu didirikan oleh Soeratin, kini tengah mengalami masa krisis: 

"Perlawanan memperjuangkan kehormatan bangsa. Kami orang Indonesia, pantas dan dapat bermain sepak bola." (Baca selengkapnya)

5. Perempuan Penyunggi, Antara Peran Sosial dan Kesehatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun