Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Masih di Sini

13 November 2020   21:12 Diperbarui: 13 November 2020   23:14 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tantri menyeka peluh yang membasahi badannya sore sesudah menyapu luas halaman rumahnya. Cukuplah untuk membakar beberapa slice lemak di perutnya, terkekeh dia mengumpamakan kegiatannya sore ini. Baginya, kebahagiaan sejati saat ini adalah dapat kembali ke rumah nenek yang menyayangi dirinya sangat mendalam dan menyeluruh lahir dan batinnya. 

Pandemi Covid-19, telah membuatnya menentukan satu pilihan. Berdiam terus di kota atau kembali ke rumah yang membesarkannya,pulang ke rumah nenek. 

Sungguh, satu pilihan tak mudah, tapi mau bagaimana lagi? Bimbingan Belajar tempatnya mengajar, telah  total tutup di awal pandemi itu. Tak ada pemasukan untuk membiayai hidupnya. Dan Ia, memilih pulang.

Satu jam perjalanan menuju arah Utara untuk kembali ke rumah ini. Rumah luas dan penuh pohon buah besar-besar. Tadi, sambil menyapu dia tersenyum-senyum mengingat saat bersama Neni, Mbak Ririn, si mungil Puput adik kelas dan Mas Nico.

Masih diingatnya, saat  sore-sore sesudah pada  mandi, kerapkali  selalu berkumpul di rumah besar  nenek. Kadang mengobrol tentang berbagai hal di sekolah atau tentang apa saja kejadian pagi hingga sore waktu berkumpul. 

"Mas Nico..." bibir Tantri tak sadar menggumamkan nama itu.

 Akh...kenangan selalu mendatangkan rasa. 

Saat dia kelas 6 SD, lelaki yang dipanggilnya Mas Nico, sudah kelas 3 SMP. Rumah Nico hanya berjarak 3 rumah dari rumahnya. Mas Nico pernah menyakan cintanya pada Tantri sebelum Ia melanjutkan kuliah ke ITB Bandung. Waktu itu Tantri kelas 1 SMA.  Namun, Tantri tidak membalasnya. Trauma membayangi hidupnya...

"Tantriiii!..." nyaring sekali Ibu memanggilnya. 

Masih kencang, walaupun dua tahun lagi akan pensiun dari pekerjaannya menjadi guru desa. Ibu tak pernah naik kelas dalam mengajar, selalu mengajar siswa kelas 1 SD. 

" Aku mengajar siswa kelas 1 SD itu anugerah terindah, pengabdian total  dalam hidupku, Tantri," pernah ibu bercerita dengan mata berbinar dan wajah memancarkan kebahagiaan. 

"Mereka itu masih kertas putih, polos dan kita masih bisa menggambarinya dengan segala kebaikan hidup. Dan itu, panggilanku," nada suara ibu menerawang. 

Ada cinta saat dia mengucapkannya. Diam-diam, Tantri mengagumi cerita-cerita ibunya dan menyimpannya dalam hati. Aku ingin seperti ibu..

"Jangan melamun, Tantriii..!" teriakankedua kali menyadarkan dirinya.

"Opss..Ga kok,Bu. Ga melamun kok," dirinya menjadi malu.

Secepat kilat ia merapikan sapu, serok dan tempat sampah, serta mengembalikan lagi pada tempatnya. Tantri melepaskan lelah di kursi teras.  

Ibu menghampirinya lalu ikut duduk di kursi dekatnya.

"Sabar ya, sayang. Kalau pandemi sudah teratasi, pergilah mendaftarkan diri di kampus yang kamu inginkan. Jangan berhenti sampai tamat SMA," Ibu mengutarakan isi hatinya pada anak semata wayangnya . 

Bukan sekali ini ibu menyarankan hal berkuliah, tapi Tantri tak ingin membahasnya lebih jauh. Selalu berhasil mengalihkan pembicaraan tentang itu. 

"Belum ingin,Bu. Tantri masih senang mengajar di bimbel ,Bu, walaupun mengajar baca tulis siswa kelas 1 SD,supaya mereka lebih lancar lagi di sekolah," Tantri menolak halus.

"Kamu seperti,Ibu?" tampak jelas ibu bahagia dengan pilihan pekerjaan anaknya. 

Memang, setelah tamat SMA hampir 1,5 tahun lalu, Tantri pamit pada ibunya, berniat belajar bekerja ke kota kecamatan. Ibu mengijinkannya. Hanya satu nasihat ibunya, jaga kehormatan diri baik-baik. Tantri memegang teguh pesan ibunya hingga saat ini.

"Baguslah, dirimu juga senang mengajar. Tapi bekali dirimu dengan ilmu yang lebbih luas. Berkuliah saja di kampus swasta dengan fakultas yang sesuai dengan kesenanganmu mendidik. 

Bukannya dia tak ingin, tapi bagaimana mungkin dia berkuliah sementara gaji ibu hanya mencukupi untuk hidup sehari-hari mereka bertiga. Ayah terlalu egois pergi tinggalkan Ibu, saat Tantri kelas 5 SD.  

Badai di atas kepala mereka sangat membekas. 

Tantri kecil tak tahu persis apa yang terjadi atas kehidupan Ibu dan Bapaknya, tapi kenyataan itu...

Tantri sangat mengingatnya, sore sesudah berhujan. Bapaknya datang dari luar kota setelah menyelesaikan urusan bisnis dengan koleganya, yakni jual beli hasil palawija, tiba-tiba bersujud, bersujud memohon ampun di kaki istrinya. Ya, ibunya Tantri. 

Bapaknya harus menikahi perempuan lain yang tengah mengandung anak mereka tetapi tak ingin berpisah dengan ibunya Tantri. Dunia terasa gelap. Tantri menjerit-jerit saat badan ibunya menjadi kaku oleh pengakuan bapaknya. Tantri menjerit memanggil neneknya. keluarga menjadi panik pada sore sesudah berhujan itu.

Tentu saja, keluarga ibunya tak bisa menerima semua ini. Terlebih ibunya, perempuan kesayangan Tantri. Padahal selama ini ibunya mengira semua baik-baik saja, saling percaya dan setia. Tetapi....

"Tantri , Ibu masih bisa membiayaimu. Ibu sudah menabung selama ini untuk kuliahmu," Ibu menguatkan Tantri. 

Tantri menangis. 

"Kalau saja Bapak tidak pergi, ya Bu..."

Ibunya tersenyum.

"Tak ada lagi kata kalau sayang, karena hidup bukan tentang kalau. Hidup adalah berjalan terus meski badai di atas kepala menderu-deru menakuti dan menakutkan kita," sungguh ibu berubah menjadi perempuan tangguh demi harga diri cinta. 

Benar dulu ibunya terpuruk, tapi ibunya percaya pada kehendak Ilahi. 

Ibunya memilih pulang ke rumah orang tuanya. Ke rumah nenek Tantri. Baginya, hidupnya telah selesai sejak suaminya menduakan cinta mereka. Gurat kecantikan masih jelas tersisa di wajah ibunya. Bu Guru Laksmi, namanya. 

Kecantikan Bu Guru Laksmi bukannya tidak dilirik oleh laki-laki  yang ingin mempersuntingnya, bahkan nenek pernah mau menjodohkan dengan salah satu kerabat. Tapi Bu guru Laksmi lebih memilih hidup berdua dengan Tantri. Ia hanya ingin menjalankan sisa hidupnya dengan Tantri, buah sayang sejatinya dengan Wido mantan suaminya. Cinta sejati pada diri Laksmi , tapi tidak pada diri Wido. 

"Jangan lagi ada kata kalau, anakku," suara ibu sedikit parau.

"Aku masih di sini, untukmu," Laksmi mencium sayang belahan jiwanya. 

Tantri memeluk erat ibunya, anugerah terindah dalam hidupnya. 

"Mandi dulu, gih...Sebentar lagi orang tua Mas Nico bertamu kemari," ibu menyampaikan surprise sambil tersenyum menggoda.

"Mas Nico? Orang tuanya?" aku terheran-heran pada apa yang baru saja dikatakan ibu. 

" Ya, mereka sudah beberapa kali menemui kami," tetiba Nenek sudah berada di lingkup kami berdua.

Aku menghambur ke pelukan Nenek. Perempuan kedua yang sangat mencintai dan kucintai.

"Percayalah, semua akan baik-baik saja setelah pertunangan kalian nanti," nenek mengajakku duduk dan menyampaikan satu hal yang tak pernah ada dalam pikiranku.

"Aku belum siap,Nek," ibaku menahan tangis.

Kulirik ibuku.

"Ibuuuu, aku tak ingin seperti ibu. Aku lebih baik hidup terus di antara kalian. Tak ada laki-laki lain yang pada akhirnya melukai hidupku. Aku trauma..." tangisku pecah.

Nenek dan ibu membiarkanku menangis bersama dengan sore yang mulai bergerimis.

Laksmi, perempuan itu menjadi gamang.  Jiwanya seperti melayang atas kata-kata yang baru saja dilontarkan Tantri, gadis kesayangan yang sudah memimpin keteguhan hatinya. 

Diusapnya penuh cinta wajah Tantri yang masih berlinang air mata. 

"Aku masih di sini, untukmu Tantri. Percayalah..karma  kita tak pernah sama," pandangan  Laksmi menerawang jauh, bias bersama gerimis sore di beranda mereka. 

#di bawah langit Nopember

#stigma pandemi 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun