Kompasianer, apakah terpikir untuk resign dari pekerjaan dan memilih menjadi bapak rumah tangga? Beranikah kamu mengambil keputusan itu suatu hari nanti?
Pilihan ini tentu tidak mudah, karena berarti meninggalkan karier yang sudah dibangun sekaligus menghadapi pandangan miring masyarakat.
Seperti yang pernah terjadi di China. Banyak pria berbondong-bondong resign dari pekerjaannya dan memilih menjadi "bapak rumah tangga".
Mereka memilih fokus memasak, membereskan rumah, dan mengurus anak, sesuatu yang sebelumnya lebih sering dilakukan para istri.
Fenomena ini perlahan menggeser norma sosial dan menantang tradisi patriarki yang sudah lama melekat.
Bagi sebagian besar pria, pekerjaan adalah simbol harga diri. Maka ketika resign, sering muncul rasa seolah kehilangan identitas. Benar begitu, Kompasianer?
Padahal, memilih menjadi bapak rumah tangga bisa jadi cara lain untuk menunjukkan tanggung jawab yang tak kalah besar.
Pertanyaannya, siapkah kamu menghadapi tatapan heran atau komentar miring setelah memutuskan resign? Beranikah mendobrak stigma bahwa pria selalu harus jadi pencari nafkah utama?
Lalu, bagaimana kalau suatu hari kamu harus resign dan menjadi bapak rumah tangga? Apakah kamu siap?
Punya pengalaman jadi bapak rumah tangga, Kompasianer? Seperti apa rasanya? Yuk, bagikan pengalaman atau pandanganmu dengan menambahkan label Menjadi Bapak Rumah Tangga (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.