Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

10 Pro-kontra Penerapan Kantong Plastik Berbayar

19 Maret 2016   15:07 Diperbarui: 4 April 2017   18:26 20185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Usaha retail modern. Sumber: Kompas.com"]

[/caption]Dalam ketentuan kebijakan plastik berbayar, memang benar biaya sepenuhnya dibebankan kepada konsumen karena konsumenlah pengguna akhir. Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan tersendiri, mengapa hanya konsumen yang diberi beban, bagaimana dengan pemerintah dan pelaku usaha? Kompasianer Ilyani Sudardjat juga mempertanyakan hal ini dalam artikelnya. Ia juga berpendapat seharusnya Indonesia dapat menjadikan Jepang sebagai panutan dalam mengelola sampah plastik.

Di Jepang, pengelolaan sampah plastik ini sudah benar-benar teroganisasi dan mereka dapat menekan penggunaan plastik. Selain itu, Ilyani menganggap bahwa biang keladi dari banyaknya sampah plastik ini adalah pelaku usaha itu sendiri. Kita bisa melihat ada banyak produk yang juga menggunakan plastik sebagai kemasan. Hal inilah yang seharusnya tidak luput dari pantauan pemerintah sebagai regulator.

7. Bukan Masalah 200 Perak untuk Kantong Kreseknya, tapi...

[caption caption="Ilustrasi - belanjan di supermarket (Shutterstock)"]

[/caption]Seperti yang diulas sebelumnya, harga plastik berbayar yang kisaran Rp 200 hingga Rp 500,- memang seolah tidak menjadi masalah. Harga tersebut hanyalah masalah kecil jika dibandingkan seberapa banyak belanjaan yang kita beli di pasar modern. Namun, Giri Lumakto menelaah apa sebenarnya yang ada di balik kebijakan ini. Ya, tentu saja untuk menyadarkan masyarakat atas masalah sampah yang selama ini terjadi.

Berdasarkan data yang Giri kumpulkan, Jakarta menghasilkan sebanyak 5,4 juta ton sampah setiap tahun dan 13% darinya adalah sampah plastik. Bagaimana 5 hingga 10 tahun mendatang? Gunungan sampah tentu akan semakin tinggi. Menurutnya, jika kantong plastik terus digratiskan, masyarakat tidak akan sadar betapa berbahayanya sampah plastik ini.

Membayangkan ke depannya anak-cucu kita akan melihat warisan gunungan sampah yang tidak terurai karena ulah kita saat ini tentu bukan hal indah. Giri menyatakan bahwa dalam kebijakan ini bukanlah harga atau uang yang harus dikeluarkan dalam setiap kantong plastik, tetapi adalah bagaimana masyarakat sadar terhadap bahaya penggunaan plastik yang tidak terkontrol.

8. Yuk, Mulai Belanja Cantik Tanpa Kantong Plastik

[caption caption="Ecobag, tas untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Sumber : sains.kompas.com"]

[/caption]Dalam artikelnya, Kompasianer Ariyani Na mengajak kita untuk mulai menggunakan wadah alternatif selain plastik ketika berbelanja. Selain itu, ia menganalisis adanya beberapa faktor yang menyebabkan tingginya penggunaan plastik dari sudut pandang seseorang yang sering berbelanja. Pertama adalah berkurangnya penggunaan koran bekas. Biasanya, ketika seseorang berbelanja semisal bawang, cabai atau bumbu lainnya wadah yang digunakan adalah koran bekas. Namun, sekarang semuanya dimasukkan dalam kantong plastik.


Kedua adalah harga kantong plastik yang tergolong murah. Memang benar jika kita mencoba membeli plastik yang biasanya digunakan di warung-warung, harga per kantongnya tergolong sangat murah. Ini juga menjadi salah satu faktor banyaknya penggunaan plastik di masyarakat. Kemudian yang ketiga, Ariyani melihat perlilaku dan kebiasaan masyarakat yang ingin praktis atau malas repot. Perilaku inilah yang juga mendorong banyaknya sampah plastik di lingkungan.

9. Rp200,- untuk Setiap Kantong Plastik, Kenapa Dibebankan kepada Konsumen?

Sama seperti artikel yang dituliskan Ilyani. Kompasianer bernama Ryan juga menyoroti pembebanan biaya kantong plastik yang hanya ditujukan kepada konsumen. Ia mencoba menganalisis hal ini. Menurutnya, penyediaan kantong plastik sejatinya adalah bagian dari servis yang diberikan pelaku usaha kepada konsumen. Dengan kata lain, kantong plastik adalah kewajiban si pemilik toko. Ia melihat ada kejanggalan dalam hal ini.

Jika ditelaah, dengan membayar ekstra untuk sebuah kantong plastik malah memberikan peluang atau lahan baru bagi si pemilik usaha untuk mencari keuntungan. Seharusnya, langkah tepat yang diambil adalah peritel harus menyediakan kantong berbahan lain untuk digunakan konsumen. Dengan begit,u ada alternatif selain plastik dan ini tentu saja bisa menekan angka penggunaan plastik.

10. Plastik Hancur-leburkan Sekat-sekat Primordialisme dan Tantangannya bagi Ilmuwan

[caption caption="Sampah plastik yang kian mengotori sungai. Sumber: Kompas.com"]

[/caption]Sebuah sudut pandang menarik disajikan Yosafati Gulo dalam artikelnya. Ia mengatakan bahwa plastik sejatinya telah melepas sekat-sekat primordial yang ada di masyarakat. Semua kalangan pasti menggunakan plastik, dari pengemis hingga presiden, daro kalangan bawah hingga kalangan atas. Yosafati menyoroti kebijakan baru yang diterapkan ini. Menurutnya, kebijakan ini terbilang berhasil dengan indikator berkurangnya penggunaan plastik di masyarakat.

Namun, jika berbicara perlu atau tidaknya mengurangi sampah plastik, Yosafati mengatakan hal tersebut masih memiliki efek yang kecil. Karena meski sampah plastik tersebut dapat didaur ulang, ujung-ujungnya akan menjadi sampah juga. Efek tersebut juga semakin tidak signifikan melihat harga kantong plastik berbayar yang terbilang sangat murah. Hal inilah yang memunculkan tantangan bagi ilmuwan. Adalah mustahil jika pemakaian plastik sepenuhnya dihentikan. Maka dari itu, diperlukan campur tangan ilmu pengetahuan untuk setidaknya menemukan cara mempercepat penguraian plastik di lingkungan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun