Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bukan Masalah 200 Perak untuk Kantong Kreseknya, Tapi...

22 Februari 2016   13:21 Diperbarui: 21 Desember 2016   19:03 3224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kantong Plastik - ilustrasi: health.liputan6.com"][/caption]Cuma bayar Rp. 200 buat kantong plastik di toko waralaba buat banyak orang bukan masalah. Masa belanja ratusan ribu lalu membayar 200 perak saja tidak sanggup. Kalau kurang pun bisalah mencari logam 200 perak di saku tas. Kalau tidak ketemu di dashboard mobil. Atau kalau tidak ketemu juga, ambil saja duit di rekening lewat ATM. Walau pecahan 50 ribu - 100 ribu, toh bayar saja 200 perak. Kecuali memang duitnya pas-pasan. Dan kebetulan belanjaannya sudah dihitung dari rumah. Membawa barang-barangnya dengan tangan kosong menjadi resiko.

Namun yang pasti ada kesalahfahaman dalam mewacanakan kantong plastik/kresek berbayar ini. Media lebih banyak menampilkan keluhan konsumen yang harus membeli Rp. 200-500 per kantong plastik. Mulai dari waralaba besar di mall sampai peritel kecil di beberapa kota menguji coba kebijakan ini. Konsumen pun bertanya-tanya. Kenapa harus membayar? Tapi toh banyak dari mereka membeli kantong plastik juga pada akhirnya. Karena siapa juga yang mau nenteng-nenteng belanjaan tangan kosong. Bayar 200 perak, semua barang bisa dibawa dengan mudah.

Sehingga dengan Rp. 200 per kantong plastik adalah kebijakan. Apanya yang bijak? Semua orang masih bisa membeli. Karena orang belanja pasti butuh plastik. Lalu apa yang hendak dicapai dengan uji coba kantong plastik berbayar ini? Jika ingin mengurangi sampah plastik, beri saja harga 2,000 - 5,000 per kantong plastik misalnya. Atau jika benar-benar ingin sampah plastik berkurang, minta toko berhenti memberi kantong plastik. Atau lebih frontal, industri plastik harus menghentikan produksi kantong kresek. Minta pabrik ini memproduksi kantong kain. Itu pun misalnya.

[caption caption="TPA Putri Cempo Solo - foto: republika.co.id"]

[/caption]

Lalu apa maksud kebijakan ini? Yang coba saya cerna adalah menyadarkan masyarakat atas masalah sampah. Jika di Jakarta saja dari 5,4 juta ton per tahun, 13%nya adalah sampah plastik, dan sekian persennya adalah kantong plastik, bagaimana 5 - 10 tahun lagi? Itu baru di Jakarta. Bagaimana dengan daerah lain? Gunungan sampah akan semakin tinggi. Ditambah pengelolaan sampah yang tidak berdaya manfaat?

Dengan 200 perak publik kini melihat dan merasa ada sampah kantong plastik ditangannya. Publik kini melihat faktanya. Bahwa yang dulu dianggap gratis dan sia-sia belaka, kantong plastik membawa masalah besar. Publik harus segera sadar, bahwa harga 200 berarti sepele dengan sampah yang terus menggunung. Sampah yang menanti dimanfaatkan. Entah sekarang atau puluhan tahun ke depan. Ditambah sampah kantong plastik yang akan terus menggunung.

Jika kantong plastik terus gratis, kapan masyarakat akan sadar? Jika anak cucu kita nanti mungkin akan melihat gunung sampah warisan kita yang hidup saat ini. Receh 200 perak mungkin tidak berarti apa-apa buat banyak orang. Tapi setidaknya kebijakan ini adalah stimulan bawah sadar. Media harus selalu mem-blowup betapa sampah adalah bom waktu. Sampah akan memberi bencana ekologis di masa depan jika terus dianggap remeh.

Kebijakan ini menjadi beacon (pertanda) pemerintah sudah lelah mengolah sampah sendiri. Publik merasa pemerintahlah yang harus melakukan pekerjaan kotor untuk mereka. Pemerintah pusat maupun daerah kini sudah jengah. Publik pun harus berperan. Bukan lagi individu atau komunitas pecinta lingkungan saja. Tapi masyarakat pada umumnya. Publik yang kesehariannya belanja dan mendapat kantong plastik harus sadar. Publik harus berkontribusi dengan sampah kantong plastik mereka. Caranya? Kurangi kantong plastik.

[caption caption="Deonar Landfill di Mumbai India - kredit foto: Dhiraj Singh/Bloomberg"]

[/caption]

Tantangannya adalah, masihkah pola fikir menggerutu dikedepankan? Media yang menyoroti protes atau komplain warga yang harus membayar 200 perak per kantong plastik harus merefleksi diri. Karena mendengar ibu-ibu ngomel soal kresek yang harus bayar di Jakarta, menjadi tolok ukur penggerutu di daerah lain. Televisi secara tidak sadar menjadi media propaganda halus mindset penggerutu. Akhirnya, mereka menolak membayar. Mereka tahu akibat kantong plastik. Tapi karena golongan penggerutu banyak di televisi, kenapa mereka tidak ikut saja. Persis seperti 'rombongan' penerobos lampu merah yang kita temui sehari-hari.

Membayar 200 perak memang sepele. Namun yang ingin coba difahamkan adalah kesadaran. Sampah menjadi tanggung jawab bersama untuk saat ini dan masa depan. 

Salam,

Solo, 22 Februari 2016

01:22 pm

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun