Sebagaimana kisah makan sate yang baru saja saya ceritakan. Bayangkan, apa yang terjadi jika kami memutuskan untuk tetap berada di warung pertama? Jelas, harus meluangkan waktu satu jam lebih sabar. Serial Netfilx yang sementara saya cicil mungkin harus menunggu lebih lama. Ini belum termasuk tenaga yang terkuras akibat menunggu dan kesabaran yang akan lenyap akibat keroncongan.Â
Tapi, atas nama enaknya sate, kami pun harus bersabar.
Kata orang Makassar, takkala mi...Â
Untungnya hanya perkara sate. Bagaimana jika situasinya lebih kompleks sebagaimana kisah nyata yang pernah saya dengar berikut ini.Â
Ada sepasang kekasih yang telah menentukan tanggal pernikahan. Namun, di beberapa bulan terakhir, mereka sudah merasa tidak cocok lagi. Atas keputusan bersama, mereka tidak jadi nikah. Tapi, keluarga calon pengantin marah-marah. Katanya, undangan sudah disebar, biaya restoran pun sudah dibayar lunas, gengsi keluarga dipertaruhkan.Â
Akhirnya, setelah melalui diskusi panjang, acara pernikahan tetap dijalankan, tetapi hanya simbolis saja. Setelah malam pertama yang gagal, keesokan paginya, proses perceraian mulai diurus.
Thus. siapa pun yang terlibat dalam keputusan itu, jelas mereka terperangkap dalam jebakan Sunk Cost Fallacy. Atas nama usaha, uang, dan gengsi, pernikahan palsu tetap dilangsungkan. Padahal keputusan tersebut seharusnya tidak dipengaruhi oleh apa yang sudah terlanjur diinvestasikan, melainkan oleh potensi manfaat atau kerugian di masa depan.Â
Bahaya laten yang bisa saja terjadi di sekitar kita.Â
Jujur, setelah saya renungkan kembali. Saat ini saya banyak terjebak dalam berbagai situasi yang merajuk kepada sesat pikir ini.Â
Sebagai contoh, saya masih menunggu tukang atap yang sudah tidak ada kabarnya, karena sudah terlanjur membayar uang muka. Padahal, musim penghujan telah membuat plafon rumahku semakin berlumut.Â
Contoh lainnya lagi, istri saya masih menyimpan baju kesayangannya yang sudah tidak muat di badannya. Dia berkeyakinan suatu waktu body-nya bisa kembali seperti masih gadis dulu.Â
Saya masih berharap jika si tukang atap mau menjawab teleponku. Istriku masih berharap ia menemukan obat diet yang bisa mengembalikan keadaannya seperti dulu. Padahal, solusi yang paling cerdas dan rasional adalah mencari tukang atap baru. Sementara, istri saya cukup menghibahkan baju kesayangannya kepada Kelly.