Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Petabhumi: Misteri Tembok Kutukan (Prolog)

28 Maret 2024   05:22 Diperbarui: 28 Maret 2024   05:22 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desain cover novel petabhumi (sumber: dokumen pribadi)

Semenjak waktu diciptakan, saat yang paling dinantikan adalah kapan kiamat akan menghancurkannya.

Kiamat hanyalah perkara waktu, tiada seorang pun yang bisa lari darinya. Pada saat itu semua akan musnah. Manusia, harapan, dan peradaban. Segalanya. Begitu menakutkan. Akan tetapi, tiada yang lebih mengerikan bagi seseorang yang harus menerima kenyataan bahwa ialah takdir dari kiamat itu. 

**

Suara lolongan anjing membuyarkan lamunan Heng. Ia melepaskan kacamata, membersihkan lensanya dengan selembar kertas tisu di tangan, lalu mendesah panjang. Salah satunya harus mati, demi keutuhan marga Xiao. Aku melakukan hal yang benar, ia meyakinkan diri.

Untuk menguatkan keyakinannya, ia melihat ke sekelilingnya. Beberapa perempuan dan lebih banyak pria sedang berdiri mengenakan pakaian serbaputih. Pakaian yang sama melekat di tubuhnya, seragam dari para pemuka agama yang diyakininya.

Akan tetapi, malam ini mereka sedang tidak berada di rumah ibadah. Tidak ada juga upacara keagamaan yang akan berlangsung. Sekelompok manusia itu sedang berdiri di halaman belakang sebuah bangunan. Rumah keluarga leluhur marga Xiao. Menunggu sebuah peristiwa besar yang akan menentukan masa depan keluarga Xiao dan mungkin juga dunia.

Heng seharusnya senang. Sebentar lagi ia akan menjadi seorang ayah dan kelahiran anaknya dihadiri oleh orang-orang penting keturunan Xiao. Ironinya, tatapan orang-orang di sekelilingnya semakin meyakinkannya bahwa ia harus tegar pada malam hari ini.

Suara tangisan bayi memecah keheningan malam. Kelopak mata Heng membesar, seiring dengan tubuhnya yang bergetar. Orang-orang yang berada di tempat itu sontak memandangnya. Tanpa suara pun, Heng tahu jika itu adalah perintah kepadanya untuk segera membuka pintu di hadapannya, dan masuk.

Heng masih enggan menggerakkan tubuhnya. Ia menutup mata, mengatupkan kedua telapak tangannya, merapalkan doa. Doa pemberi kekuatan!

"Masuklah, Anakku. Lakukanlah tugasmu." Suara seorang pria menegurnya. Heng terhenyak, lalu membalas titah dari si pria tua, 

"Baik, Lo-pek. Sekarang saatnya."

Heng mengulurkan tangannya dan memutar gagang pintu.  Tubuh Heng bergidik. Bau kemenyan dan lantunan doa tanpa henti dalam bahasa Pali membuatnya seperti sedang menapaki dimensi yang berbeda.  Heng melipat kedua lengan di dada. Malam yang dingin itu terasa semakin dingin.  Ia melangkah masuk. Beberapa orang yang berada di belakangnya mengikuti. 

Seorang perempuan menyambut Heng di depan pintu. Tatapannya yang nanar mengisyaratkan agar Heng mendekati dua orang bayi yang terbaring di tempat tidur bayi. Suara tangisan bayi-bayi itu terdengar sempurna, membuat Heng merasa tenang.

"Mereka lahir normal?" tanyanya kepada si bidan yang mengangguk sambil tersenyum. "Syukurlah," desahnya seraya menatap wajah kedua bayi itu lekat-lekat. 

Lalu, wajah yang tadinya semringah kini berkerut lagi. Heng mengkhawatirkan kondisi istrinya yang baru saja melahirkan. Matanya tertuju kepada wajah yang terbaring lemas di atas tempat tidur, menggeleng, menatapnya tajam, dan tampak mengiba.

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Heng.

Sang istri tidak menjawab. Gelengannya semakin kencang dan tangisannya semakin menjadi-jadi.

"A-Apa yang terjadi?" desak Heng lagi.

Istrinya masih enggan menjawab. Ia memalingkan wajah dan memejam, seolah-olah tidak ingin lagi peduli dengan apa yang telah terjadi. Heng tidak perlu lagi bertanya. Tidak ada lagi penjelasan yang diperlukan. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

Sontak ia membalikkan tubuhnya, menghambur ke arah kedua bayi kembarnya. Sekali lagi, ia memperhatikan tubuh-tubuh merah itu dengan saksama. Tidak ada yang aneh. Semuanya normal. Bagian-bagian tubuhnya lengkap.

Kecuali ....

Tangisannya ....

Iya,  salah satu dari bayi itu tidak menangis seperti kembarannya, tetapi mendesis lirih. Seperti kehabisan napas!

"D-Dia tidak menangis?" tanya Heng gugup sambil menunjuk bayi itu. Bidan yang menggendongnya tidak menjawab. Ia hanya menunduk, diam seribu bahasa.

"Dia tidak menangis. Dia belum bernapas. Anakku tidak bernapas!" Heng semakin panik. Ia menghampiri beberapa orang yang berada di dalam kamar itu secara bergiliran, mencoba untuk meminta pertolongan, tetapi tidak ada seorang pun yang bergerak. Semuanya diam mematung.

"Bayiku. Tolong, bayiku belum bernapas!" pekiknya lagi berulang-ulang.

Di tengah-tengah kekalutannya, pria tua yang tadi dipanggil Lo-pek oleh Heng, datang menyentuh bahunya dengan lembut, "Anakku, bayimu baik-baik saja." ujar Lo-pek. "Lihatlah, ia bergerak lincah," lanjutnya lagi.

"T-Tidak mungkin, bayi yang tidak menangis itu tidak normal," pekik Heng.

"Tenanglah," ujar Lo-pek lagi. "Ingatlah syair, ia yang tertawa akan melalap yang menangis. Kelahiran semesta akan menyambut akhir dunia."

Heng terkesiap, menangis dan tertawa. Dua kata kunci pada syair kuno itu. Bunyi desisan yang bayinya keluarkan, bukan karena kehabisan napas. Melainkan, suara tertawa!

"A-Artinya, Dewi Kembar benar-benar telah lahir?" Heng melepas kacamata dan mengusap wajahnya berulang-ulang kali. Ia seolah-olah ingin segera sadar dari mimpinya-- mimpi buruk yang akan menjadi semakin buruk. Hati kecilnya menolak kenyataan bahwa ramalan itu benar: Istrinya  akan melahirkan sepasang dewi kembar yang akan menentukan kelangsungan marga Xiao. Oleh karenanya, kedua  sosok ini harus menjalani takdir yang berbeda. Mereka harus dipisahkan. Tidak boleh bersama.

"T-Tapi, wajah keduanya tampak normal," Heng mencoba membela diri. "Tidak menyeramkan, kulitnya tidak menghitam, tidak seperti yang tergambar di kitab warisan. Mereka normal!" teriaknya lantang. Sekali lagi, tidak ada yang memedulikannya.

Untuk membuktikan keyakinannya, Heng kembali mendekati tempat tidur bayi. Ia melihat kedua buah hatinya dengan saksama. Ternyata, salah satu dari bayi itu tidak lagi terlihat sama seperti tadi. Heng memicingkan mata, menatap lekat-lekat bayi itu. Digelengkan kepalanya beberapa kali, tangannya mengusap-usap mata. Tetap, tidak ada yang berubah. Apa yang barusan ia lihat masih sama seperti itu.

Bayi itu ....

Bayi yang tertawa itu berukuran lebih besar dan gempal daripada kembarannya. Jika ditaksir, kira-kira sudah menyerupai anak yang berusia sebulan.

"T-Tidak mungkin," desis Heng.

Lo-pek menghampiri Heng. "Terimalah kenyataannya, Anakku," lirihnya. "Segera lakukan ritualnya, sebelum si tertawa melalap yang si menangis."

"Melalap?" tanya Heng. Ia masih belum memahami potongan frasa dari syair kuno tersebut. Namun, Lo-pek tidak menjelaskannya lagi. Tangan kanannya menggenggam tiga batang dupa merah sepanjang 60 cm. Sementara, tangan kirinya menyodorkan sebuah mangkuk porselen berisikan cairan merah kepada Heng. Di dalam mangkuk itu terdapat sebilah belati mengilap yang membuat Heng jeri.

"Oleskan darah murni ini di dahi anak-anakmu," perintahnya kepada Heng.

"Sekarang saatnya, berikanlah nama untuk mereka," perintahnya lagi saat Heng mengambil mangkuk itu dari tangannya.

"Tidak, jangan Koh. Jangan, aku tidak mau kehilangan mereka!" Istri Heng yang masih terbaring lemas itu, tiba-tiba berteriak keras. Ia mencoba mencegah suaminya untuk melakukan sesuatu yang mengerikan. "Jangan, Koh!" teriaknya lagi.

Namun, Heng tahu dengan siapa ia berhadapan, dan takdir seperti apa yang harus ia jalankan. Bayi-bayi kembar itu tidak bisa bersatu. Salah satunya harus mati. Pertaruhannya terlalu besar, kelangsungan hidup marga Xiao sirna.

Heng menatap mangkuk di dalam buaian kedua telapak tangannya. Cairan darah murni yang dimaksud Lo-pek merupakan barang yang paling sakral dalam tradisi keluarga Xiao yang konon berasal dari leluhur pertama. Sementara belati yang terdapat di dalamnya adalah artefak kuno yang usianya sudah ribuan tahun. Menurut cerita yang Heng dengar, belati itu milik seorang penyihir ternama Kerajaan Dinasti Zhou. Penyihir itu adalah leluhur pertama marga Xiao.

Instruksi yang Heng terima sudah cukup jelas. Ia harus menggunakan belati itu untuk menyayat kulit tangannya, meneteskan darah, dan mencampurinya dengan darah murni keluarga Xiao. Racikan sempurna itulah yang akan dioleskan pada dahi anak-anaknya. Itu setelah ia mengumandangkan nama kedua bayinya yang sudah tersurat.

"Berikanlah nama kepada mereka!" desak Lo-pek lagi ketika melihat Heng masih juga diam mematung.

Heng mulai bereaksi. Ia meletakkan mangkuk porselen di atas meja kecil, lalu tangan kirinya mengambil belati pusaka Xiao dan menyayat kulit telapak tangan kanannya. Darah murni telah bercampur dengan darah ayah kandung si Dewi Kembar. Menggenapkan dua kekuatan sempurna.

"Sekarang!"  Lo-pek memekik, suaranya tidak setenang tadi lagi. Tiga batang dupa di tangannya mulai bergoyang-goyang. Perlahan-perlahan, lalu lama kelamaan menjadi semakin kencang. Wajah Lo-pek memucat, tubuhnya menegang.

Seiring dengan itu, terdengar teriakan histeris. Si Bidan berteriak. Ia menunjuk ke arah tempat tidur bayi. Konsentrasi Heng buyar seketika. Matanya terbelalak ketika melihat bayi yang bertubuh lebih tambun menerkam kembarannya. Gerakannya liar bak anak harimau yang baru belajar menerkam. Kulitnya berwarna gelap, hitam bagaikan arang. Lalu, matanya, itu bukan tatapan mata manusia, Heng bergidik. Apalagi dengan kemunculan gigi-gigi taring.  Ia menggigit kembarannya. Darah mengucur dari pundak bayi malang itu, menodai seprai putih dengan cairan merah.

Si tertawa melalap si menangis!

Kini Heng tahu apa arti dari potongan syair kuno itu. Tangisan bayi terdengar semakin keras, menyayat hati, lalu berubah mengerikan!

Tangisan bayi itu terdengar sahut menyahut dengan bunyi lain yang tidak senada. Suara cekikikan! Suasana menjadi lebih mencekam seiring dengan bunyi doa yang dilantunkan lagi oleh para pendoa. Syair suci untuk melawan kekuatan iblis!

"Cepat lakukan!" hardik Lo-pek. Suaranya mengisyaratkan ketakutan, seolah-olah teror yang mengerikan akan segera terjadi. Firasatnya benar. Sekedip mata kemudian, Lo-pek tersungkur ke lantai. Seakan-akan ada seseorang atau sesuatu yang mendorongnya. Ia mencoba untuk bangkit kembali. Namun, setiap kali ia berdiri, sesuatu yang tidak terlihat kembali mendorongnya. Begitu keras, sehingga bunyi benturan terdengar kencang. Begitu terus, berulang-ulang kali.

Suasana yang tadinya hening di dalam kamar tidur itu, serta-merta tergantikan dengan teriakan-teriakan histeris. Orang-orang menghambur keluar, kecuali para pendoa yang tetap melafalkan ayat suci dengan tubuh gemetar.

Suara cekikikan itu semakin nyaring terdengar.

Lo-pek enggan menyerah. Ia menekukkan badannya yang sudah telentang di lantai, kedua tangannya ia rapatkan ke dada, menggenggam erat tiga batang dupa itu. Ia memejamkan mata rapat-rapat, mulutnya komat-kamit, mengucapkan sesuatu yang tidak terdengar. Mungkin doa, mungkin juga mantra.

Percuma! Tubuh malang pria tua itu terseret hingga beberapa meter. Lalu, setelah benturan yang entah keberapa kali, ia mulai menjerit kesakitan. Kekuatannya melemah. Tenaga mahadahsyat dan tak kasatmata yang ia hadapi, bukanlah lawan seimbang.  

Akhirnya, dengan sisa-sisa kekuatan, ia berteriak sekeras-kerasnya, "Oleskan darah murni. Berikan mereka nama!"

Heng terhenyak. Tubuhnya masih bergetar ketika ia mencelupkan jari telunjuknya ke dalam mangkuk. Dengan tangan gemetar, ia mengoles dahi salah satu bayi kembarnya. Ia lalu berteriak kencang. "Nuwa! Namanya Nuwa!" Teriakannya membuat sang bayi menangis semakin kencang.

"Satu lagi ... satu lagi!" teriak Lo-pek. Namun kiranya, itu adalah teriakan terakhirnya. Tubuh malang itu terhantam ke tembok, ia tak sadarkan diri seketika. 

Seiring dengan rubuhnya Lo-pek, satu per satu tubuh para pendoa terhantam ke tembok, melekat pada dinding bagaikan cecak yang tidak berdaya. Sejurus kemudian, cahaya lampu berkedap-kedip, menerangi permukaan konkrit pada tembok yang berubah lunak, bergoyang-goyang bagaikan cairan.

Lalu, teriakan-teriakan histeris terdengar memilukan, mengiringi tubuh-tubuh malang yang tertelan tembok terkutuk itu.

Kini Heng tahu bahwa ia harus mengambil alih situasi, meskipun kakinya lemas, tidak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Ia mencelupkan jarinya ke dalam mangkuk, tetapi hanya dalam waktu sekejap, mangkuk di tangannya terhempas. Kiranya ada seseorang yang mendamparnya.

"K-Kamu. Kenapa?" Wajah Heng memucat. Ia tidak menyangka jika sosok itulah yang menepis mangkuk di tangannya. Sosok istrinya!

"K-Kenapa?" Heng bertanya lagi kepada perempuan yang menyeringai tajam kepadanya.

"Jangan berani sentuh anakku!" teriak sang istri. Heng lemas seketika. Ia memandang bergiliran. Ke arah istrinya dan jari telunjuknya yang sudah teroles darah murni. Ia bingung harus melakukan apa. Sosok sang istri masih berdiri diam dan memelototinya. Heng ingin menyerah. Ia menyayangi istrinya, ia sayang anak-anaknya, ia seharusnya menjadi pelindung mereka. Bukan justru sebaliknya, tunduk kepada aturan tradisi keluarga Xiao untuk memisahkan bayi-bayinya. Heng berjalan perlahan mendekati istrinya. Matanya menatap syahdu seraya mengulurkan kedua tangan untuk memeluk perempuan tercinta itu. Namun, suara tangisan mengentakkannya lagi. Bukan tangisan bayi, tetapi tangisan seorang perempuan dewasa.

Heng memalingkan wajah ke arah suara itu. Di sana, ia melihat istrinya melekat di tembok dengan kedua tangan dan kaki yang terentang lebar,  sebagaimana tubuh-tubuh para pendoa yang menghilang di balik tembok jahanam. Kondisi istrinya itu memprihatinkan. Ia menangis lirih, seolah-olah menahan sakit yang tak terkira. Secepat kilat, Heng menghambur ke arah tembok untuk menyelamatkan istrinya.

Sayangnya, semuanya terlambat.

Sang istri tersenyum lembut, matanya sayu memancarkan kepasrahan. Lalu, mulutnya bergerak, menyampaikan sesuatu yang terdengar lirih, tetapi Heng mendengarkannya. "Aku cinta kamu ...."

"TIDAK ...." Heng berteriak sekuat tenaga, seiring dengan menghilangnya tubuh sang istri.

"Kalian semua terkutuk!" pekik Heng marah kepada sosok lain yang menyerupai istrinya itu. Sosok itu masih berdiri di depannya, tersenyum sinis dan bengis.

Heng merinding! Kini ia sudah tersadar sepenuhnya. Ramalan itu benar adanya. Anak kembar itu akan lahir membawa berkah sekaligus kutukan! Ia harus memilih. Salah satu dari anak kembar itu harus dilenyapkan. Konsekuensinya terlalu mengerikan.

Istri tercintanya sudah menjadi korban. Begitu pula para pendoa dari marga Xiao yang tidak berdosa. Entah siapa lagi yang akan menyusul. Mungkin saja dirinya. Akhirnya, ia mengambil keputusan yang terbaik baginya. 

"Nuxi ... NUXI! Bayi itu Bernama Nuxi!" teriaknya keras sembari menghambur ke arah tempat tidur bayi. Lalu, secepat kilat, ia mengoleskan darah murni di jari telunjuknya yang sudah setengah kering ke dahi si bayi tambun.

Sekilas, ada seruan kemenangan terdengar dari suaranya. Namun, tidak ada yang terjadi. Bayi tambun itu masih terlihat mengerikan, terus menyerang saudara kembarnya yang menangis kesakitan. Pun sosok yang menyerupai istrinya itu masih berdiri dan tertawa cekikikan. Suaranya semakin nyaring, sehingga Heng harus menutup kedua telinganya.

Ritual itu tidak mempan!

Semuanya terlambat.

Heng sisa menunggu giliran kematian.

Di tengah-tengah kepanikannya, Heng kembali menguatkan dirinya. Saya tidak bisa menyerah. Saya yang harus menyelesaikannya, katanya dalam hati. Lalu, tanpa pikir panjang, Heng meraih belati pusaka marga Xiao yang teronggok di lantai, dan berdiri menghadap sosok serupa istrinya itu. Ia mengacungkan belati pusaka ke sosok itu. Siap-siap menumpas makhluk terkutuk itu.

Akan tetapi, bukanlah sosok mengerikan itu yang menjadi sasaran. Heng menutup erat matanya dan berbalik arah. Ia menghambur ke tempat tidur bayi, lalu mengangkat lengannya tinggi-tinggi.

Suara cekikikan mengerikan itu tidak lagi terdengar. Begitu pula dengan sosok palsu istrinya. Tidak berada lagi di tempatnya. Tubuh Heng masih bergetar, meskipun ia sudah bisa mulai tenang. Ancaman sudah hilang. Ia seharusnya senang, tetapi tidak.

Heng tersungkur ke lantai. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Wajahnya dipenuhi darah dari salah satu bayinya. Ia menangis sejadi-jadinya, berteriak sekuat-kuatnya, menumpahkan semua emosi dari dalam batinnya. Perlahan, para tamu yang bersembunyi mulai mendekati dirinya. Mereka menyentuh tubuh Heng, menghibur, menguatkannya, seraya mengucapkan ucapan belasungkawa.

Heng tidak henti-hentinya menangis. Ia meratapi nasibnya, menangisi kematian istrinya, dan menyalahkan dirinya atas belati yang terhunjam di tubuh salah seorang bayi kembarnya.

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun