Lingga tidak menjawab. Ia hanya menunggu momen itu. Aweng sudah tidak penting lagi baginya. Saat itu ia hanya ingin menghambur keluar dari rumah. Pergi sejauh mungkin. Berlari kencang, menyusuri jalan raya.
Sebuah truk datang dari arah berlawanan. Menyisir kencang jalanan ibu kota. Tabrakan tak terelakkan lagi, Lingga terjerembab bersimbah darah.
**
Aweng meratapi nasibnya, ditinggali istri tercinta. Hanya selang seminggu usia perkawinannya. Ia ingin marah, tetapi kepada siapa? Om Akiong sudah memperingatinya. Lalu kepada istri pertamanya? Wanita itu bahkan tidak pernah menghiraukannya.
Tiada lagi yang bisa ia lakukan, selain meratapi nasibnya yang malang.
Malam itu disambut dengan kesedihan. Jasad Lingga terbujur kaku di dalam peti mati. Asap hio membumbung tinggi, menghantar kesedihan yang tak bertepi.
Sudah lebih dari 10 jam, Aweng belum juga beranjak dari tempatnya. Duduk bersimpuh di samping peti mati. Semua ucapan duka cita hanya terdengar seperti hembusan angin. Tidak tedengar sama sekali. Tidak berarti sama sekali.
Lalu, bayangan kesedihan itu pun datang. Kembali ke masa dua puluh tahun lalu. Saat itu Aweng baru berusia 9 tahun. Usia transisi kata orang China. Jika tidak berhati-hati maka nyawa melayang.
Itulah sebabnya Ibunya membawanya ke sana. Lengkap dengan baju tangsuit dan topi bulat hitam. Tidak lupa pula kain merah yang disematkan melintang dari pundak hingga ke pinggang.
"Kita bikin apa, Ma?" tanya si Aweng kecil.
"Kamu akan segera menikah, Anakku."