Akhir-akhir ini berita tentang resesi banyak mendominasi. Konon dampaknya akan terasa secara global.
Secara singkat, resesi ekonomi akan terjadi jika suatu negara mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi selama dua hingga tiga kuartal berturut-turut.
Pandemi selama dua tahun telah menyebabkan krisis ekonomi. Hingga 2022 ini, perekonomian belum sepenuhnya pulih.
Hal ini diperparah dengan kondisi perang Rusia-Ukraina, pasar China yang belum sepenuhnya terbuka, dan juga inflasi tinggi yang terjadi di beberapa negara.
Sederet negara dengan perekonomian yang kuat, ditenggarai akan mengalami resesi dalam beberapa bulan ke depan. Sebutkanlah Amerika, Jepang, Kanada, Australia, Korea Selatan, dan Eropa.
Lalu bagaimana Indonesia?
Menurut Sri Mulyani, posisi Indonesia masih aman. Beberapa indikator mengukuhkan hal ini. Seperti pertumbuhan ekonomi, APBN yang masih berfungsi optimal, dan inflasi yang masih terkontrol.
Kendati demikian, Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia. Pengetatan moneter negara maju, menyebabkan kenaikan suku bunga. Kenaikan harga komoditas dan pangan dunia, membuat harga produk dalam negeri juga kena imbas.
Ketika terjadi peningkatan inflasi, biaya produksi akan menjadi tinggi. Namun produsen membutuhkan konsumen, sehingga kenaikan biaya produksi tidak serta merta linear dengan kenaikan harga barang.
Momok selanjutnya adalah stagflasi. Kondisi dimana inflasi yang melonjak berbenturan dengan daya beli masyarakat yang melemah. Akibatnya pertumbuhan ekonomi pun menjadi stagnan, lapangan kerja menyusut, dan konsumsi masyarakat pun tertekan.
Tentu saja pemerintah Indonesia tidak akan tinggal diam. Berbagai jenis strategi, kebijakan, hingga instrumen moneter telah dipersiapkan. Meskipun demikian, kita tidak bisa sepenuhnya berharap dengan keadaan. Ada bagusnya mulai mempersiapkan diri menghadapi skenario terburuk.Â