Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Tukang Parkir di Indonesia, Warisan Sosial Seharga "Goceng"

24 Februari 2021   14:40 Diperbarui: 24 Februari 2021   14:44 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Dilema Tukang Parkir di Indonesia (sumber: gridOto.com)

Karena yang muncul adalah seragam lama, maka aku secara reflek mengeluarkan tiga ribu perak seperti tarif yang selama ini berlaku. Aku pun iseng bertanya.

"Bukannya lima ribu? Mana mi anak muda ka?"

Si tukang parkir konvensional kemudian berkata,

"kalau kita mau lima ribu, kupanggilkan ki dulu orangnya (kalau mau bayar lima ribu, saya panggilkan dulu orangnya)"

"Sudah, tiga ribu saja," ujarku.

Untuk apa bayar lebih hanya untuk melihat alat terbaru keluaran PD Parkir ini.

Nah, bukankah ini adalah hal yang janggal? Di saat peraturan telah dibuat, selalu ada saja harapan yang membuat aturan bisa ditawar. Tapi, satu hal yang lebih menggelitik, apakah pekerjaan tukang parkir ini akan hilang ditelan bumi suatu saat nantinya?

Ilustrasi Tukang Parkir (sumber: bombastis.com)
Ilustrasi Tukang Parkir (sumber: bombastis.com)
Salah satu keunikan Indonesia adalah pekerjaan yang disebut dengan tukang parkir ini. Tukang parkir tiada bedanya dengan seseorang yang diberikan mandat untuk menjaga wilayah persinggahan kendaraan. Meskipun kadang bingung apa sih tugas mereka, tapi gocengan tetap melayang.

Entah apakah pekerjaan tukang parkir adalah warisan kolonial atau produk anak bangsa. Tapi, catatan yang aku dapatkan, setidaknya sejak kemerdekaan hingga 1950an di Jakarta sudah ada pihak yang merasa bertanggung jawab.

Kendaraan bermotor saat itu belum terlalu banyak. Wilayah parkir berlum terlalu luas. Pekerjaan "Jaga Otto," yang dimaksud pun masih jarang. Hanya seputaran pusat kegiatan kota.

Pihak yang merasa bertanggung jawab pada umumnya adalah orang yang disegani di wilayah tersebut. Pendapatan mereka tidak diatur oleh undang-undang perpakiran seperti saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun