Sementara Eka, warga asal Pariaman, menyebutkan bahwa persoalan porsi makan terkait dengan biaya pelayanan, sabun cuci, dan upah mencuci piring. "Makanya porsi makan di tempat lebih sedikit," ujar Eka.
Lain lagi halnya dengan Doni, pemilik rumah makan di kawasan Kalideres. Menurutnya faktor kemudahan membuat kebiasaan ini muncul. Pada umumnya, makan di tempat pasti menambah porsi nasi.
Makan di tempat tinggal bilang "tambuah ciek." Sementara di rumah suaranya tidak kedengaran. Maka dari itu, menambah porsi nasi jika dibungkus secara otomatis dilakukan.
Sebenarnya bukan hanya masakan padang, menurut pengamatan penulis ada beberapa rumah makan di Makassar juga menerapkan hal yang sama. Walau demikian, semuanya kembali kepada masalah kebiasaan dan alasan dari masing-masing pemilik rumah makan.
Penulis sempat iseng bertanya kepada salah satu pemilik rumah makan mie pangsit di kawasan jalan Sulawesi, Makassar. Entah bercanda atau tidak, menurutnya porsi lebih besar sengaja diberikan, agar membawa 'hoki.' Diharapkan agar mereka yang bungkus bisa kembali lagi ke tempat makan.
Sementara menurut pemilik rumah makan nasi campur di kawasan jalan Serui, Makassar, porsinya tidak dibedakan. Penulis memang seringkali bingung. Jika makan di tempat, sepiring bisa dihabiskan. Namun, jika dibungkus, pasti menyisakan sebagian untuk dibagi. Â
Terlepas dari porsi makanan yang berbeda, menurut penulis, bagaimanapun juga masakan rumah makan tradisional lebih enak dinikmati di tempat.
Masakan yang enak bukan hanya soal rasa, tapi juga keramaian, suasana, hingga aroma wangi dari tungku masak. Setuju?
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI