"Kenapa Sulsel cepat sekali Covid-nya naik?"Â Penulis bertanya kepada seorang dokter sahabat, layaknya seseorang yang akan memulai citizen journalism.
"Karena kita memulai hidup baru dengan cara yang lama, koh :)" Jawaban singkat dan padat, penulis dapatkan dari dokter sahabat
"Masuk akal, namun bukannya ini karena test Covid-19 lebih gencar dilakukan?" tanya penulis lagi.
"Iya, test Covid memang dilakukan dengan gencar, namun dulu hasil positif hanya berkisar 10% saja, sekarang naik menjadi 50-60%."
Nah, perbincangan singkat ini cukup jelas bahwa penambahan kasus baru, tidak saja datang dari gencarnya tes Covid yang dilakukan oleh pemerintah, namun juga karena gencarnya penyebaran virus itu sendiri.
Dilema Dengan Perdebatan Tiada Henti.
Cepatnya penyebaran di masyarakat Sulsel, maupun di Indonesia memang menjadi dilema yang harus dihadapi dengan perdebatan yang tiada henti.
Pemerintah pusat selalu melakukan sosialisasi tentang pentingnya penggunaan masker, cuci tangan, social distancing hingga merekrut dokter Reisa, namun pada faktanya, angka terus bergerak naik.
Selain itu, keseriusan pemerintah juga terkait dengan besarnya anggaran penanganan Covid-19 yaitu sebesar 405,1 triliun, dengan rincian insentif bidang kesehatan sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp 110 triliun, dan perpajakan dan stimulus KUR sebesar Rp 70,1 triliun, hingga restrukturisasi kredit dan pembiayaan UMKM yakni Rp 150 triliun.
Namun di sisi lain, dengan munculnya jargon New Normal yang mempebolehkan masyarakat kembali beraktivitas normal dengan memperhatikan Protokol Kesehatan, ditenggarai memicu banyaknya kesalah-pahaman yang terjadi.
Kebijakan yang kelihatan tumpang tindih menjadi penyebab utama, seperti pasar tradisional sudah diizinkan beroperasi, namun tetap memperhatikan jarak di antara pengunjung. Nah, sejak kapan pasar tradisional dengan koridor sempit, bisa membuat para pengunjungnya berjaga jarak?