Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Perceraian, Anak, dan Kesadaran

27 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 28 Juli 2022   15:54 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana pengalaman akan perceraian menjadi sesuatu yang berarti? Jugkir baliknya hidup yang membawa kepada kegagalan dan penderitaan, mungkinkah konsekwensi dari pengalamannya tidak cukup menyadarkan?

Tentu tentang hidup ini bukan sesuatu yang mudah untuk dimengerti. Terkadang pengalaman saja tidak cukup untuk menyadarkan orang yang memilih dengan kehendaknya sendiri-sendiri.

Dengan berbagai kejadian yang menimpa mereka. Ada saja manusia yang harus mengalami pengalaman tertentu untuk menyadarkannya.

Tetapi tidak semua pengalaman itu menyadarkan bagi manusia-manusia yang belum mampu menyadarkan dirinya sendiri dari pengalaman hidupnya sendiri. Arinya pengalaman saja belum cukup untuk menyadarkan manusia itulah kenyataannya.

Kita ambil suatu kasus yang harus berulang-ulang. Jika didalam pandangan keyakinan transendental Hinduisme atau Budhisme misalnya memandang ada lingkaran samsara bagi manusia untuk menguji kesadaranya.

Mungkin seperti itulah hidup manusia memilih apa yang dipilihnya sendiri bersama konsekwensinya. Sebab manusia secara alami merasakan; apa yang dia perbuat ia sendiri juga akan selalu menerima konsekwensinya.

Seperti manusia yang menikah lalu memilih untuk cerai. Yang kemudian menikah lagi namun bercerai lagi. Mungkinkah dalam hal ini pengalaman akan sebuah perceraian itu bukan langkah yang buruk dipilihnya?

Tentu sesuatu yang mengundang kegagalan akan menjadi pertanyaan bukan untuk dirinya sendiri saja tetapi juga manusia lain. Akan tetapi dengan pengalaman yang tidak cukup menyadarkannya, terlebih ketika pilihan untuk menikah lagi jatuh pada orang yang mungkin sama saja menanggapi pengalamannya yaitu; cerai-nikah kemudian cerai lagi.

Apakah sesederhana itu suatu keluhuran dalam pernikahan ditanggapi secara santai, cenderung membuat keputusan menikah adalah keputusan yang mudah, begitupun keputusan dalam bercerai?

Bukankah menjadi pertanyaan ketika banyak pengalaman disana; "manusia harus menyadari itu? Saya kira perceraian tidak buruk namun apakah perceraiaan tidak membekas bagi keluarga?

Jelas pengalaman terburuk manusia bukan saja luka-luka yang harus dibawa dalam hati dan pengalamannya, tetapi juga pada apa yang diturunkannya seperti "anak" yang harus menyadari bahwa; ia terpisah dengan ibu atau ayah kandungnya sendiri.

Dalam hal penafsiran memang tidak ada ibu maupun ayah yang tertukur, ibu tetaplah ibu dan ayah tetap juga ayah. Tetapi tidakkah menjadi latar belakang psikologis yang baru bagi anak manusia ketika ia mendapati apa yang berbeda dari dirinya.

Melihat teman-temannya yang keluarganya masih utuh, apakah tidak membuat sesuatu yang dirindukan anak? Terlebih pengalaman jika tidak menyadarkan antar masing-masing manusia, bukankah akan menjadi siklus yang berulang bahwa; keputusan mencerai beraikan keluarga merupakan sesuatu yang mudah?

Kemudian anak sebagai korban dari kesederhanaan dalam mengambil keputusan cerai bisa saja karena ia memandang apa yang menjadi konsep keluarganya; ia juga menerapkan untuk konsep dirinya di masa depannya?

Tetapi, kesadaran adalah perkara manusia. Ada banyak orang yang tersadarkan justru dari apa yang telah dialami oleh dirinya sendiri melalui pengalaman. Kembali, ini perkara manusia bukan perkara pengalaman.

Mungkin manusia disana yang belum terilhami oleh pengalamannya dan sebagai manusia itu sendiri harus menjalani lingkaran setan yang sama; merasakan lagi-merasakan lagi sampai ia tumbuh dan sadar sebagai dirinya yang harus beranjak dari keadaan justru memberatkan dirinya sendiri.

Manusia dengan pilihannya akan menjadi sebuah pengalaman hidup. Tentu semua adalah pembelajaran dari bentuk-bentuk hidup itu sendiri menjadi manusia. Jika kau bukan diri orang lain; "jangan pernah berbicara orang lain, apa lagi menyalahkan orang lain dengan keputusannya".

Sangat tidak pantas rasanya menyesalkan hidup orang lain meskipun kita tahu; "ia akan terus berada didalam lingkaran setan misalnya: ketika apa yang dipilihnya menjadi terus dan terus dipilih seakan menjadi kesangsian bagi orang lain".

Mungkin dengan kesadaran sudah enggannya hidup dilingkaran tersebut merupakan awal dari kesadarannya bahwa; mereka telah memilih jalan yang salah. Dan apakah satu manusia berhak menghakimi manusia lain?

Salah dan benar adalah perkara pribadi manusia dan itu hanya diri sendiri yang dapat menilainya. Kesadaran tumbuh sebagai diri, pengalaman hanya rangsangan untuk menditeksinya, dan pilihan menyadarkan tetap hanya diri sendiri yang menentukan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun