Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kelayakan "Kiai", Agama, dan Sebuah Persepsi

7 Juli 2022   21:51 Diperbarui: 7 Juli 2022   22:08 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat bagiamana takbir dari sebuah fakta yang ada akhir-akhir ini. Seperti tabir kehidupan mulai terbuka satu per satu untuk seseorang yang mau mendalami rasa dan berpikir melihat apa yag terjadi secara gamblang.

Memang berpikir pada satu sudut pandang yang menggeneralisir, itu jelas tidak akan menjadi sesuatu yang bijak. Sama halnya jika krisis ekonomi yang terjadi saat ini hanya pada kenaikan harga yang disalahakan.

Apapun yang terjadi itu merupakan rentetan antara factor dan fakta. Tetapi mengapa factor dan fakta akhir-akhir ini seperti menjadi sebuah tanda tanya besar bagi manusia, yang di dalamnya mempertanyakan apa-apa yang sebelumnya patut menjadi sebuah kritisime baru.

Apakah sebuah kelayakan, hal yang dianggap seyogyannya telah dirong-rong oleh realitas fakta yang se-adanya ini? Yang mana terbukanya sebuah informasi, laku manusia, dan ide-ide kebudayaan yang disebarkan sebagai persepsi kebenaran yang sacral mulai dipertanyakan, disinisi, bahkan ditentang faktanya melalui soratan mata?

Pandangan mata yang tidak jauh dari berbagai media, dilayar smart phone, TV dan ruang-raung computer saat ini menjadi saksi bahwa sesuatu akan dilihat sebagaimana adanya.

Kemajuan jaman membuat sekat-sekat tertutup itu mulai terbuka; bahwa semua tidak akan jauh-jauh dari karakter dasar bagaimana sebuah keidealan itu akan dilanggengkan, nyatanya dapat berbalik itulah celah dari keidealan itu di cidrai.

Kini dibalik informasi media-media yang akhir-akhir ini seperti diluar kebiasaan akan persepsi manusia. Bagaiaman agama dan tokoh-tokoh di dalam "agama" mulai disentuh isu dan berbagai hal yang mengganjal persepsi nalar public umat manusia. Inilah titik balik. Titik dimana rasionalitas dan persepsi akan kesakralan itu dipertanyakan.

Mungkinah mempertanyakan kesakralan itu sebagai sesuatu yang dibuat enggan, atau memang semua tidak berani memandang sebuah fakta dari kebenarannya oleh mereka-mereka "entitas" yang disakralkan keberadaannya oleh status quo social yang lama terbangun?

Tentang seorang yang sacral dari tokoh agama disebut "Kiai", yang sedang berpolemik itu. Disinyalir tegas melindungi anaknya sendiri dari sebuah kekliruan yang melanggar atas tindakan dihadapan hukum. Persepsi banyak orang sedang ditantang oleh fakta dari kelayakan akan sebauh status.

Layaknya bagaimana orang-orang sacral itu yang didengarkan titahnya dengan lebel "kiai", seharunya mampu menjadi contoh dari apa yang sering di dengung-dengungkan.

"Hidup ini sementara. Semua harta, anak dan istri hanyalah sebuah titipan. Tidak ada yang langgeng dalam hidup ini. Tidak perlu mempertahankan semua yang sudah di dapat. Hidup harus ikhlas. Tuhan akan terus bersama hambanya".

Tokoh-tokoh yang sacral sudah pasti pernah mengucapkan itu di atas mimbar. Bahwa hidup memang sedemikian sifanya hanya "titipan". Tetapi mengapa terkadang orang yang sacral itu disebut justru mengingkari pengetahuannya akan hal tersebut?

Tentu ini menjadi terbalik dengan kisah-kisah pengorbanan lain dari kisah naratif agama "berkorban". Seorang sacral-sakral lain pernah mencontohkan di dalam pengetahuan agama mengorbankan anaknya sendiri yang hanya titipan, sedangkan anak tak bersalah apa-apa.

Namun kini ditengah sakralitas "Kiai" yang sedang dihadapkan dengan seorang anaknya yang di duga melanggar hukum dan tidak mau melepas untuk ditindaklanjuti di adili, yang mana persepsinya itu adalah fitnah dan maslalah keluarga.

Mungkinkah sebuah kelayakan yang mana sakralitas "kiai" merupakan contoh bagi umatnya yang harusnya ikhlas segala sesuatuanya. Bawasannya semua yang ada di dunia hanya titipan sementara menjadi hilang begitu saja di tengah ego sakralitas persepsi kekuatannya sendiri "sebagai"?

Bukankah iman akan tuhan bersama dengan orang-orang terzolimi dan kebenaran akan selalu benar jika itu sebuah fitnah; harus di Imani oleh orang-orang yang mempunyai sakralitas tinggi?

Jika itu tidak terlaksana, sebagaimana guru harus diteladani dengan tindakannya bukan hanya titahnya. Ini kerap kali terjadi banyak orang-orang yang diakui sebagai sacral berbicara atas mimbar membawa dakwah agama, yang mana mencintai harta dan kemewahan itu tidak baik dan orang-orang yang miskin akan dekat dengan tuhan.

Namun disisi lain, mereka yang berbicara di mimbar memamerkan kekayaan, mobil-mobil mewah di gunakannya dengan alasan kendaraan berdakwah. Apakah dakwah sebagaiamna yang dititahkan tidak dilakukan di praktik dari fakta kehidupannya?

Disisi lain fakta, filantropi keagamaan yang seharunya bergerak bagaimana memakmurkan umat seperti yang akhir-akhir yang terberitakan dibuat untuk memakmurkan petingii-petinggi lembaga filantorpi keagamaan tersebut.

Sebagaimana tidak jauh lebih membantu umat manusia, peduli pada orang yang sedang susah dan segala seuatu yang dapat dijual untuk orang-orang tergerak berdonasi, kenyataannya sebagaian untuk kemakmurannya sendiri.

Fakta dan memang tak lagi dapat terbantahkan jika itu memang kejadian yang terjadi. Rupa-rupa fenomena, sudah seharunya manusia semakin jeli dalam memandang persepsi akan pikirannya sendiri.

Kelayakan sebagai sacral, sebagai kebenaran, dan sebagai yang dielu-elukan tidak selamanya secara praktik kehidupan sesuai apa yang di idealkan. Satu hal, semua yang berhubungan dengan manusia tidak ada yang sempurna sebagai sebuah kesempurnaan.

Mereka bisa salah, begitupun bisa demikian benar, akan tetapi berjalan dengan praktik dan tingkah laku yang benar itu adalah kelayakan moral, bagaimana orang menerapkan moral terlebih dahulu merepresentasikan pengetahuannya.  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun