Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Pertapa" yang Indah Itu

1 Agustus 2019   12:28 Diperbarui: 28 Agustus 2019   06:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak dimana-mana, melibatkan kerumunan sekumpulan manusia disana pasti ada kehendak untuk kuasa. Ada saja pribadi yang ingin dihargai dan sebagai tangan besi, seakan dirinya adalah kepanjangan mereka-mereka yang menjadi Dewa-dewa baru dalam ruang kecil politik perusahaan. Namun selagi masih manusia didalamnya, hanya kesadaran akan kehendak itu untuk ditekan, agar tidak menjadi penderitaan dan beban, tentu bagi dirinya sendiri, yang akan terus dikucilkan sebagai pribadi, yang terus-terus akan mendapat perlawanan, meskipun itu tidak akan pernah tampak di permukaan.

Kerancuan dan sebagai "Kancil" kecil dalam ruang politik kerja yang tengah beralangsung. Krumunan dan rasa tidak ada kebebasan, menjelma menjadi sinisme baru dalam politik ruang kerja. Layaknya kebebasan akan privasi kelebihan dan kekurangan yang harus di junjung setiap anggotanya untuk tidak dipublikasi, merangkul seseorang tanpa adanya konflik kepentingan dirinya, juga saling bekerjasama tanpa adanya "aku yang paling kuasa didalamnya". Jika itu tidak dapat diwujudkan, itulah biang dari rusaknya hubungan akan upaya kerja sama dalam ruang kerja. Yang menjadikan ruang kerja "rusak" secara struktural, tetapi juga rusak secara mental kemanusiaan didalamnya, yang dibuat menjadi terancam oleh kekuatan "diktaktor" ruang kerja, yang sebenarnya kekuatannya tidak ada.

****

Tentang pegawai-pegawai yang berseragam disana, ruang kerja seperti ruang kehendak akan kuasa baru itu oleh manusia. Bukankah semua harus terporsi dengan baik, disaat ada kasta yang lebih rendah tahu, bahwa mereka memikul beban yang berat antara kerja dan hasil kerja itu sendiri? Derita yang selalu terilhami, dan apakah seseorang didalamnya pernah mengerti, bagaimana loyalitas kerja yang harus juga sebagai bahan yang terukur? Seperti kesadaran yang asing dirinya, bahwa semua tidak akan dapat dipukul rata bahkan sejak dalam pikiran, itulah pertanyaannya, baginya dan bagi siapa saja yang bertindak se-enaknya sendiri didalam ruang kerja.

Pertapa yang indah, seperti hanya angan-angan bagi imaji yang ingin direkam apik oleh manusia-manusia setengah nestapa. Derita dan bahagia, dunia dan keadaan yang terus berulang, ruang-ruang belajar indah, sampai nanti terpenuhi secara batin sebagai seorang individualisme. 

Sikap dari "Pertapa yang indah itu", tentang sikap melihat dan membuat suatu penelitian akan sikap manusia "Gurem" yang menjadi perbincangan bahkan candaan yang tidak ada habisnya. Kekuatan dirinya yang ingin dicoba didaya gunakan sebagai bahan takut yang menakutkan pada manusia lain dalam kerumunanya, seberapakah kuatkah ia, bila di bandingkan Dewa-dewa pujaannya?

Yang tidak menakar dirinya lebih baik, mencoba ingin baik namun tidak dapat diterima orang lain. Kaku dan tidak lentur, seperti memang benar, manusia paling "Gurem" itu belum selsai dengan dirinya sendiri. Dia "Gurem" masih butuh penghormatan, masih butuh diakui sebagai, dan masih gila jabatan pada ruang kerja. Apa yang ia bidik adalah menjadi Dewa kecil disuatu tempat agar menyamakan dirinya dengan Dewa-dewa pujaannya di luar sana. Tentu Dewa-Dewa baru adalah suatu metafor seperti "Uang" yang telah menjadi Tuhan baru bagi manusia modern.

Selangkah demi selangkah, "musuh bersama untuk menguatkan suatu kelompok memang penting". Seperti rumor tentang ISIS atau (Islamic State Irak dan Suriah) yang diciptakan sendiri oleh Amerika untuk satu suara menyamakan ideologi masyaraktnya dalam memerangi lawan politik-ekonominya di Timur Tengah. 

Mengutip kata seorang "Theis" berjidat hitam sampai pada badan-badannya menghitam yang menjadi fenomena baru di Indonesia. Mungkin "Gurem" sendiri adalah anugrah "Allah" untuk menguatkan obrolan dan persahabatan manusia-manusia nestapa dalam ruang kerja. Mungkin inilah berkah yang tidak dapat sekumpulan manusia pungkiri, apakah obrolan manusia akan "asyik" jika tidak ada manusia "ke-Gurem-Gureman"? Alangkah biasnya hidup ini, sesekali bersiasat politis juga dalam ruang kerja itu perlu, untuk mengakhiri banyak drama yang mungkin akan banyak terjadi ke depannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun