Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menatap Keberadaan Filsuf Masa Depan

18 Juli 2019   19:22 Diperbarui: 18 Juli 2019   19:24 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"I" smartproedcution.com

Sedikit agak ganjil memang, tetapi ingin aku sampaikan dengan serius tetapi agak santai. Umumnya seseorang yang merasa punya kekuasaan akan uang ditakdirkan begitu, mereka juga merasa punya kekuasaan untuk menjadi pemenang di dalam kerumunan.

Antara uang dan kekuasaan apa hubungannya? Mungkin mempertanyakan pertanyaan ini di jaman batu masih relevan. Tetapi di zaman melinum ini, kekuasaan dan kekayaan "uang" merupakan prodak dari budaya, yang asalnya juga dari zaman batu dahulu, siapa yang kuat dia yang menang.

Uang kini telah menjadi kekuatan itu, dia "uang" memang sederhana, hanya paparan kertas yang bila diletakan di hutan belantara yang luas menjadi tidak laku. Tetapi ini melenium yang berarti berpusar pada moderitas. Celakanya yang dianggap modern semua bertumpu pada anggapan karena itu berbeda dengan zaman sebelumnya.

Kehidupan, moderitas dan manusia, tidak lebih-lebihnya adalah prodak budaya yang masih berjalan dan akan terus berjalan. Suatu pola manusia, pada dasarnya dapat diruntut tidak lebih dengan pendekatan secara kebudayaan dalam suatu kondisi masyarakatnya.

Seorang filsuf yang besar sekalipun di dunia dengan berjilid-jilid karya yang monumental, tidak mungkin mampu berpikir dan membuat karya tanpa mereka tahu hierarki sosial dan budaya manusia yang terjadi pada zamannya.

"Bukan sesuatu yang aneh memang, pada dasarnya filsuf yang dikatakan bijaksana itu, hanyalah mereka yang padai meruntut". Bagaimana dampak kebudayaan itu memanggil dirinya untuk bereaksi atas dasar nalar dari berbagai budaya tersebut yang "gajil" menurut pendapatnya.

 

Mereka terpecah oleh nalar sebagai cara berpikirnya sendiri. Merasa bahwa kebudayaan itu yang kini banyak orang jalani sebagai hambatan untuk maju dan berkembang sebagai pribadi. Dengan berbagai argumen yang mereka tanamkan, akhirnya berpengaruh pada manusia di dalamnya.

"Mereka "filsuf" berpikir berbeda guna membangun kebudayaannya sendiri. Tentu seperti "senyaman" yang mereka mau, perihal menjalani hidup sebagai manusia yang berbudaya di dunia. Tidak untuk meniru tidak pula untuk ditiru, tanpa pengaruh dan mempengaruhi pada akhirnya".

Tetapi pada dasarnya semua kembali kepada faktor manusianya, terkadang disaat mereka kosong, semacam ada dorongan mengikuti, padahal dia harus membangun hidup apa yang sesuai dengannya.

Dari sinilah tumbuh Tuhan-tuhan baru, orang-orang suci baru, dan komunitas-komunitas baru, yang paling diakui sebagai bayangan penjabaranya sendiri menurut anggapannya. Manusia modern mulai menilai, tetapi banyak dari mereka tidak bertumpu dengan dirinya sendiri. Dia bertumpu pada putusan krumunan, yang mereka anggap sebagai baik dalam budaya populer yang terjadi.

Tetapi apa lah daya bagi modernya pemikiran kini, lawannya bukan lagi pemikiran. Orang mencoba berpikir diperhitungkan dengan uang, bagaimana pendidikan mereka? Sampai tingkat mana? Modernitas dalam pendidikan, semua diukur dari sertifikat berbiaya mahal.

Dan "uang" menjawab kekuasaan tanpa pikiran, banyak manusia tergiring bukan dari bayangan pemikiran, tetapi bayangan akan akses uang untuk membeli kebutuhan akan barang yang terpikirkan memenuhi hidupnya. Tentang kebutuhan yang perlu tetapi dibuat perlu, dan lain sebagainya yang terlihat agak samar sebagai kebutuhan, modern semua aspek yang dijual belikan adalah kebutuhan.

Seperti rumah yang harus terbeli, barang seperti motor yang dibutuhakn kini, juga tentang uang dalam pemikiran intelektual sekolah yang menjadi barometer mencari uang itu sendiri sebagai barang dagangan yang umum dan dimaklumi terjadi.

Apakah yang polos tanpa mengenyam bangku sekolah dapat dipercaya, sebagai "penting" dalam organisasi perusahaan? Tidak lebih semua berpikir tentang uang, karena untuk "sekolah" kini yang tidak lagi gratis dan butuh banyak biaya dalam mengaksesnya.

**

Tetapi secara kebudayaan sendiri, itu semua dipilih secara setara, yang lulusannya agak tinggi, gaji dan penempatannya secara langsung dibedakan. Mungkin budaya keteratrikan akan posisi budaya kerja masyarakat, semua dinilai dari uang yang mereka keluarkan.

Tentu juga untuk mengundang uang secara kebudayaan dalam kerja itu sendiri. Semakin tinggi posisi yang dapat diambil di perusahaan dengan pendapatan akan uang yang lumayan, ditentukan oleh strata pendidikan tinggi yang mahal.

Ayunan yang berayun, sehingga budaya hanya dibolak-balikan tetapi berbeda pada saat akan dipolakan. Pada zaman batu waktu itu, budaya "kuat" dia yang akan berkuasa dibalik sekrumunan manusia. Menguasai manusia lain adalah satu dan banyak tujuan mengaplikasikan kehendak akan kuasanya.

Tidak heran, peradaban zaman di masa lalu semua berproses pada pengendalian tubuh yang kuat, sakti madra guna, kuasa atas diri-diri lain, yang kuat juga dalam koalisinya antara yang kuat menguasai suatu tanah kenegaraan.

Berbeda dengan saat ini, kekuatan manusia ada pada sragamnya dan kekuatan uang dalam lembaganya. Apa yang dia kenakan menentukan pengaruh dari kekuatan dirinya. Misalnya, dalam suatu seragam perusahaan, mereka-mereka yang punya posisi tinggi di agungkan bak sebagai mesin pencari harapan yang pasti bagi kawula-kawula perusahaan.

Tetapi demi menginduk pada kehidupan dan uang, secara kebudayaan ini merupakan suatu hal yang normatif. Jika ada pertentangan antar kawula di dalamnya, memang disana ada harapan kepada yang "agung" dalam perusahaan untuk nasib mereka kedepan.

Bukan hal yang naif, bukan pula hal yang konyol di dalamnya, persaingan antara suka dan tidak suka itu sebatas menjadi hal yang wajar di dalam suatu ruang lembaga profit "perusahaan". Yang tidak wajar kini adalah mereka yang tidak menghamba pada kekuatan uang, baik dari bisnis, maupun perusahaan.

Kenyataan yang tidak dapat disangakal oleh semua, termasuk segala bentuk perniagaan zaman. Kesucian terkadang juga masuk dalam hitung-hitungan itu, dia ingin kesucian karena berharap pada pelarian dunia. Numun apa lah daya hidup ini yang tengah membudaya, mau dilawapun terlihat tidak wajar pada akhirnya. Lari seperti tidak mangkin, menghadapi dengan takut pun bagai pecundang.

Tantangan peradaban, tidak lain ini bentuk tantangan manusia kedepan. Filsuf-filsuf masa depan bukanlah mereka yang kaya, terdidik, dan segala macam bentuk embel-embelnya. Adalah mereka kawula-kawula yang menghamba sebagai lantaran penghidupan kepada modal, merupakan filsuf masa depan terhitung saat ini.

Tidak untuk diduga, tidak juga untuk di duga-duga, jika hegemoni dunia sudah ditentukan kuasanya, tentang ekonomi, politik dan sosial budaya, merupakan setitik perkara zaman. Manusia hanya hidup mengukuti zaman itu, dan suara yang kalah pada akhirnya, merupakan suara kebijaksanaan yang tertinggal sebagai bahan suatu pelajaran di masa depan.

Dan kawula lembaga perusahaan, merekalah yang kini tengah kalah. Bukan kalah pada apa yang di deritanya sebagai "rumusa" penjajahan, tidak! Hanya saja mereka tergoda persaingan, ketakutan, bahkan setangah sadar pembelajaran. Dilingkungan yang penuh dengan problematika itu, fisuf masa depan manusia perenungan lahir dari kawula-kawula perusahaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun