Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Candu Baru Masyarakat Indonesia?

14 Juni 2019   08:24 Diperbarui: 16 Juni 2019   13:44 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Diambil dari komunitaskretek.or.id

"Agama candu bagi masyarakat"; ungkapan Karl Marx dalam Buku Das Kapital karyanya yang fenomenal itu dan berpengaruh pada dunia. Penafsirannya mungkin berbeda jika dilihat dari negara atas nama bangsa "Indonesia" kini menjadi "Politik candu bagi masyarakat". Tentu menjadi pertanyaan serius, bukan saja untuk saya. Tetapi untuk masyarakat yang mengaku "Saya Indonesia, Saya Pancasila" saat ini.

Seakan ingin menepuk jidat sampai menghitam memikirkan fenomena politik mutakhir Indonesia. Sebenarnya apa yang salah dari jalannya politik kita? Cobalah kita renungkan sejenak, terserah, mau dengan minum Kopi, Bir, atau minum Wedang Ronde, "biar panas semakin menjadi panas". 

Tetapi saya-lah manusia bebas itu, tanpa terikat, tanpa mengikat, apa lagi pada semesta wacana politik saat ini, yang bisa saya katakan dengan mulai terdegradasi baik politikusnya atau yang menaruh simpati padanya.

Kopi mungkin dapat membuatmu sepaneng, tetapi alunan ketenangan dapat membuat lepas dari hingar bingar saat kau tidak menyalakan Televisi. Atau Bir yang sedikit memabokan dirimu agar tidur cepat dan pulas, tidak memikirkan apapun, termasuk issu-issu politik yang terjadi saat ini. Seperti wedang Ronde yang sedang di nikmati para penongkrong Muda bahkan Bapak-Bapak di Desa sana dekat Pos Kamling.

Mereka mengobrol, tertawa, melihat, dan mendengar bukan dirinya saja yang hanya merasakan tanaman padinya di makani Tikus. Tetapi semua Petani merasakan keganasan Tikus memakan tanaman mereka, sampai-sampai pesimis untuk panen Padi kali ini. 

Benar mungkin kata orang Desa itu, buat apa paham politik, mengikuti isu politik dan membela kepentingan atas nama politik. Kerjaannya disawah ya tetap kesawah, apa kalau yang dipilih dan dibela berkuasa ke sawah mau pakai Dasi kupu-kupu seperti yang nangkring di gedung DPR atau Istana Negara? Tidak kan? Akan ditertawai banyak orang nanti.

Akhir yang akan sama saja, kalau bukan dirinya sendiri yang bertindak menanggulangi hama tikus yang sedang menderanya. Berharap pada Politikus akan datang mendengar keluhan Petani Desa dan menganggapi masalahnya, termasuk memfasilitasi upaya preventif mengurangi hama tikus, itu mungkin sesuatu yang mustahil. 

Mereka sedang berdandan disana "Jakarta", tetap menggoreng apa yang dapat digoreng sebagai suatu isu menarik simpati siapapun, termasuk warga desa yang sedang kebingungan akan panen atau tidak kali ini.

Berangsur saya memang tidak menampik, candunya politik yang dibarengi dengan isu Suku, Agama dan Ras (sara) memang telah nyata keberadaannya. 

Saling gotok-gotongan bahwa; dia yang paling benar, layak memimpin, dan berkuasa atas negara menjadi perbicangan publik kali ini. Tetapi sungguh di sayangkan dan saya amat menyayangkan. Masyarakat yang hidup atas usahanya sendiri terkadang juga terbawa akan narasi ini.

Mereka "masyarakat" yang sesungguhnya belum dewasa secara politis, membela, bahkan berani mengangkat senjata, atau agen-agen kerusuhan disana, apakah ia sadar bahwa: jika pun itu dilakukan dengan sadar, bukankah hanya upaya cinta yang nasibnya akan sama saja nantinya? 

Petani akan menjadi petani, buruh akan menjadi buruh, miskin ya tetap miskin, apa lagi? sudah pantaskah engkau membela yang bukan kepentingan kita sendiri?

Kepentingan politik untuk orang-orang politik. Buruh kepentingannya kerja, "tetap kerja tetap gajian" dan Petani tetap ke sawah, Tikus sedang merajalela disana. Oleh karena itu, Jangan Petani ikut-ikut politik berani mati atas nama politik, juga profesi-profesi lain yang ikut-ikutan politik yang bukan politikus. 

Hay, kau "Masyarakat" hanya dimanfaatkan mereka "Politikus gila kuasa", yang di media seakan frontal lalu di belakang panggung mereka Ngopi dan Rokok-an bersama. 

Sadarlah masyarakat bahwa; kau digoreng dengan berbagai isu karena faktor suara politikmu dalam demokrasi ini yang sangat menguntungkan mereka.

Tetapi apakah sudah juga menguntungkanmu masyarakat? Petani, Buruh, dan Lainnya bersuara jika tidak dengan lantangnya menuntut perubahan, dengan jaminan di bilik suara pemilu itu akan di dengar mereka para politikus? 

Tidak! Masalah hama Tikus disawah pasca pemilu mereka "politikus" santai-santai menikmati bangku kuasannya, gembor-gembor akan menaikan standart upah buruh pasca pemilu, juga reduap, jadi mau bukti apa lagi masyarakat?

Hidup kalau masyarakat tidak mengusahakan sendiri, apakah negara atas nama politikus disana akan memberi makan? Gelandangan, orang-orang terlantar, bahkan orang gila disana, dijalanan, masih dibiarkan Negara, walau dalam undang-undang kenegaraan itu ada kewajiban merawat mereka. 

Alasannya apa lagi? Rumah-rumah Politikus mewah, kekayaan mereka milyaran, tliyrunan, itu katanya Negara tidak ada anggaran. Hey, untuk apa pajak yang masyarakat bayarkan setiap hari dan setiap tahunnya?

Tidak mungkin untukmu masyarakat-masyarakat kecil, Gelandangan, Orang-orang terlantar dan Orang gila yang tidur di emperan sana. Mulailah kita sebagai masyarakat berpikir rasional sedikit saja. Negara lewat politikusnya yang tidak peduli dengan masyarakat bawahnya, hanyalah kepantasan belaka atas nama masyarakat modern lewat bangunan Negara di hadapan dunia. 

Tidak lebih, negara adalah proyek sumbangan masyarakat yang keberadaanya penting bahkan tidak penting. Bukankah tetap mereka-mereka "pemangku kepentingan jalannya Negara" saja yang hidup dari sumbangan masyarakat atas nama negara yang menikmatinya?

Masyarakat sudah baik, mengapa ia "masyarakat" masih dibawa narasi perang mempungut sumbangan kekuasaan Negara oleh para politikus? Dipikir seakan tidak sampai, apakah masyarakat terlalu baik, atau politikus yang padai dalam memperankan ekting seakan-akan mereka ini penting? 

Logika yang dijungkir balikan. Saya lihat di beranda setiap Partai politik sebagai lembaga penggerak negara semua menyertakan ideologi Pancasila.

Jika ideologinya sama, dan disepakati, mengapa semua ingin berkuasa tanpa saling ampun-mengampuni? Setiap hari ramai, demo, rusuh, akhirnya berseninergi dalam koalisi? Coba dibayangkan, permaianan apa ini? 

Seperti anak TK di pojok desa yang berebut Kelereng, tonkok-tonjokan, Nangis, lalu baikian dan kelerengnya di bagi menjadi dua. Mungkin itu merupakan bagian dari basa-basi politik menciptakan drama mencari simpatik penontonnya yakni "masyarakat".

Dihadapan kesepakatan berdirinya  politik Negara atas haluan ideology, sudah tidak dibutuhkan lagi. Isu-isu rezim atau lain sebagainya sudah tidak harus di perbincangkan lagi. 

Pada intinya masyarakat ingin kerja nyata dari Negara membuat keadilan untuk melayaninya dengan segenap nalar dan kebaikan. Upah-upah buruh masih rendah, Petani masih galau akan panen atau tidak dibalik serangan hama tikus yang sedang menyerang lahan mereka.

Apakah benar politik itu candu bagi masyarakat baru? Saya kira ini nyata adanya dan harus saya iya-kan sebagai bentuk kajian. Media-media masih meliput berita-berita untuk di ikuti, "mereka yang gila akan informasi politik". 

Jualan tulisan ramai dengan berbagai isu politik, tetapi  ya sudahlah negrinya "Saya Indonesia, Saya pancasila" memang begitu. Saya sebagai penulis pun ikut candu juga membahas politik, bukan apa, penulis bangga jika tulisannya dibaca banyak orang. Menulis tulisan politik merupakan hal yang banyak dicari itu dan dibaca, saya-pun menjadi candu menulis Politik.

Tetapi harus pembaca ingat, informasi baik dari media atau sumber apapun jika mau di telah, silahkan saja. Untuk di ingat pula, boleh mengikuti tetapi jangan pernah membuat anarki yang justru mangahancurakan nama baik diri sendiri, dihadapan masyarakat yang sedang ingin di perhatikan negara kini. 

Politik dan politikus tidak ubahnya akan begitu, Negara tetap saja, dan kita masyarakat ya begini-begini saja. Tanpa ada upaya berusaha menghidupi diri, masyarakat tidak akan hidup tanpa usahanya sendiri. Mulai nyok menjadi  masyarakat Indonesia, kita mikir lagi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun