Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mengutuk Diri pada Formalitas Kota

24 Mei 2019   18:42 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:07 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (danielvfung) | Kompas.com

Beruntunglah mereka para hina itu menurut "ekspresi bentuk pikiran keformalan". Pemulung, seniman jalanan, dan pedagang kecil-kecilan yang berserakan di emperan. Memang mereka seakan tidak tahu, mereka para seniman jalanan, pemulung, dan pedagang kecil emperan adalah bentuk kenyataan yang asli, mulia, bahkan ekspresi dari kebebasan hidup kini yang "bertendensi mengekang".

Pemikiran formal hanya tidak tahu, di dalam ruang mereka berformal terdapat bias kebuasan berbalut dasi, "atas nama struktural". Mereka yang berformal saling mengekang, membunuh dan mengambil madu dari tenaga yang dapat di jadikan untung dalam bentuk uang. Ya, ungkapan kecilnya, yang fomal itu justru pencuri yang tidak terakui namun keberadaannya samar. 

Sebetulnya merekalah "formal" yang kemaruk pada keuntungan dan uang. Setiap hari di pikiranya hanya untung, uang dan kekuasaan. Bahkan sikap korupsi, entah pada apa yang dapat di uang-kan, atau pun barang-barang katanya yang tidak bertuan itu  di konversi menjadi "di uang-kan". Oh, yang terakui namun samar, benalu yang sebenarnya itu.

Keformalan dalam memandang uang, seperti si rakus tanpa kenal berhenti. Selama masih ada yang dapat mengahsilakan nilai lebih, sikat, bahkan tenaga dan kreatifitas rekannya sendiri. Yang samar memang ambigu, tidak ada rasa syukur, tidak ada rasa terimakasih, dan tidak ada pula belas kasih. Huh, yang saat ini mengaku mulia dari keformalan, tidak ubahnya kau hanya kecoa yang hinggap, ketika ada makanan di dalam tempat yang kotor dari dirimu.

Pemulung yang nyatanya kotor, pedagang kecil yang, "menghirup udara kotor hasil dari keformalan", juga seniman jalanan yang dianggap sampah masyarakat. Tidak tahukah kau yang saat ini formal? bahwa; kau sama sekali tidak mulia dibanding mereka yang kau anggap kotor-kotor itu? Ya, seperti dunia terbalik saja, karena yang kotor itulah hatinya penuh rasa syukur, penuh berkah dan penuh dengan ungkapan cukup dari pikiran dan ruang hatinya sendiri.

Sedangkan kau yang mengaku formal dalam pikirammu, kau anggap dirimu mulia padahal, "kau masih menipu, masih memeras keringat yang lain untuk keuntunganmu sendiri". Lalu bersenang-senang atas nama penderitaan orang lain atas nama keformalan yang di akui sebagai biasa. Sungguh naas nian nasibmu yang di dalamnya terbalut kesadaran akan itu bahwa; hidup hanyalah saling manfaatkan yang semakin terukur oleh kapital.

Upaya kalah mengalahkan, sangat mungkin orang rasakan, untuk terkejar dan semakin mengaktualisasi diri dengan material. Ungkapan yang semakin pahit dirasa, seperti hidup, mengapa hidup tidak di buat senang saja? Tentang seseorang yang betah akan kemiskinannya itu, tidak tahukan ukuran rasa syukur itu? Bahwa dirinya lebih beruntung dari yang lebih tidak beruntung? 

Rupanya ingin menyingkap kembali, hmm, bualan masa kini seperti keagungan yang terpuja. Sederhana yang dipandang setengah manusia, orang-orang jalanan juga dianggap sebagai se-per empat manusia. Apa lagi dengan orang yang tidak waras itu, tidak pernah di akui sebagai manusia. Sungguh yang mewah, serba ada, serba bagus sandangnya, papannya, dan fasilitas-fasilitas kehidupannya lainya semakin, "ia dianggap manusia".

Seperti yang terakui ingin tetap di akui pada akhirnya. Jalan kehidupan rasanya terbentuk dengan sendirinya, menanjak, belok bahkan sandungan-sandungan yang harus dihadapi. Mengarungi jalan memang terkadang butuh pegangan untuk, "setidaknya mengamankan diri sendiri". Meskipun kau terkadang dirasa manusia yang tidak nyata dalam kelas itu.

Kini ketika semakin banyak pilihan untuk berpegang dengan rupa keformalitasan zaman, mau seperti apakah yang akan kau pegang? Tumbuhan menumbuhkan akarnya sendiri, bintang-bintang berdiri sendiri-sendiri, dan matahari tetap konsisten menyinarkan sinarnya sendiri.

Memang ukuran anggapan standart hidup formal kini begitu tinggi. Di luar sana sedang banyak orang frustasi dengan hidupnya, tentu karena tidak mampu menjangkau standart hidup menurut anggapannya sendiri. Beberapa dari mereka lari dari kenyataannya termasuk, "menyandarkan pada apa yang diyakininya untuk menjalani hidup berdampingan dengan keformalan". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun