Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Mengutuk Diri pada Formalitas Kota

24 Mei 2019   18:42 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:07 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (danielvfung) | Kompas.com

"Ketika daya tarik dari kota menjenuhkan kemanakah manusia harus pergi? Rasanya ingin menjauh bersama ilalang-ilalang disana, dengan domba-domba, caping yang mengerucut, dan beningnya air yang terjun langsung dari atas  Gunung berapi".

Yang tidak bersinar oleh zaman. Mengapa seakan kau mengutuk dirimu sendiri? Sadarlah, lautan memang ada kalanya pasang, tetapi kau harus cukup dengan dirimu sendiri untuk hidup dan kehidupanmu.

Memang yang bersinar itu kemilau, namun ia hanya tapal di permuakaan pemikiran yang dangkal. Seperti seseorang berseragam disana, aku tidak mengutuknya. Kalau memang itu sudah bagian dari jiwanya, apa yang hendak aku kata? Mungkin juga apa yang akan kau kata, jika kau mau berkata.

Seakan langit ini menjadi saksi bahwa; aku menikmati fasilitas itu. Dengan mewah, mudah membeli, dan namaku bersinar bagai mercusuar di sana. Doktrin yang harus manusia bayar, tetapi lupa waktu, lupa diri dan lupa bahwa, "ia butuh untuk bebas".

Menjadi formal memang ambigu, ada sesuatu yang harus di bayar oleh menjadi keformalan itu sendiri. Formal sama halnya mungutip yang tidak pernah terkutip. Sama seperti ia harus bertahan walaupun dengan keadaan yang tidak mereka senangi dalam hidupnya sendiri. Meskipun racun kenyamanan semakin terbawa, rasa itu tidaklah membohongi diri.

Pagi yang harus kau sambut, sore yang harus kau tunggu, bahkan malam yang harus kau rajut. Bahasamu memang sederhana, kedudukanmu memang menggoda. Tetapi apakah kau bisa seperti mereka yang tidur sampai siang hari, bangun, lalu tertidur lagi? Rasanya kau tidak akan bisa, kau telah berjanji pada identitas formal itu.

Aku memang disini tidak menyalahkanmu, kau dan aku adalah prodak zaman terbaru. Tetapi selalu ada jalan tengah yang harus kita lalui. Biarlah kau nyaman dengan sikapmu yang mengakar sebagai benalu. Kini aku ingin bertanya, apakah benalu itu selalu buruk dimata kita kini? Tidak juga, ada kalanya ia hanya menumpang pohon yang besar untuk sekedar mempertahankan hidup. Lalu mencari makan menginduk pohon yang besar itu, secara sukarela, atas dasar kebutuhan untuk hidup.

Memang senyaman-nyamannya hidup adalah sebagai seniman tanpa beban aturan. Tentu bukan seniman atas dasar keformalan aturan dan perkantoran ditutut kreatif atas nama. Tidak ubahnya hidup memang harus mencari makan, tetapi aku ingin mencari ala seniman kebebasan itu. Mencari uang didalamnya dengan menggunakan porsinya, yang penting dapat makan, dan mengekapresikan kemerdekaan sebagai manusia. 

Ya, Pemulung pun sama halnya seniman itu, ia berseni yang tidak harus sepaham. Meskipun banyak ditentang keberadaannya oleh para manusia berlogika formal, tetapi ialah yang tidak akan pernah kemaruk itu. Aku kira tiada lagi tawar menawar dalam batin ini. Sungguh aku semakin tidak bisa menjadi mengerti. Aturan yang keras pada ke formalan, terkekang waktu dan keuntungan modal semata.

Seakan hidup ini adalah bias para pemuja uang yang hidup, dan terus bergelantungan pada sisi-sisi kemewahan yang dihasilkan oleh modal. Tidak dapat di pungkiri bahwa; kemewahan sungguh mengoda, tetapi menjadi najis jika dalam mejemputnya harus dikekang, dimarahi, bahkan di berlakukan seperti kacung-kacung oleh "atas nama keuntungan uang, dan nama besar orang lain".

Beruntunglah mereka para hina itu menurut "ekspresi bentuk pikiran keformalan". Pemulung, seniman jalanan, dan pedagang kecil-kecilan yang berserakan di emperan. Memang mereka seakan tidak tahu, mereka para seniman jalanan, pemulung, dan pedagang kecil emperan adalah bentuk kenyataan yang asli, mulia, bahkan ekspresi dari kebebasan hidup kini yang "bertendensi mengekang".

Pemikiran formal hanya tidak tahu, di dalam ruang mereka berformal terdapat bias kebuasan berbalut dasi, "atas nama struktural". Mereka yang berformal saling mengekang, membunuh dan mengambil madu dari tenaga yang dapat di jadikan untung dalam bentuk uang. Ya, ungkapan kecilnya, yang fomal itu justru pencuri yang tidak terakui namun keberadaannya samar. 

Sebetulnya merekalah "formal" yang kemaruk pada keuntungan dan uang. Setiap hari di pikiranya hanya untung, uang dan kekuasaan. Bahkan sikap korupsi, entah pada apa yang dapat di uang-kan, atau pun barang-barang katanya yang tidak bertuan itu  di konversi menjadi "di uang-kan". Oh, yang terakui namun samar, benalu yang sebenarnya itu.

Keformalan dalam memandang uang, seperti si rakus tanpa kenal berhenti. Selama masih ada yang dapat mengahsilakan nilai lebih, sikat, bahkan tenaga dan kreatifitas rekannya sendiri. Yang samar memang ambigu, tidak ada rasa syukur, tidak ada rasa terimakasih, dan tidak ada pula belas kasih. Huh, yang saat ini mengaku mulia dari keformalan, tidak ubahnya kau hanya kecoa yang hinggap, ketika ada makanan di dalam tempat yang kotor dari dirimu.

Pemulung yang nyatanya kotor, pedagang kecil yang, "menghirup udara kotor hasil dari keformalan", juga seniman jalanan yang dianggap sampah masyarakat. Tidak tahukah kau yang saat ini formal? bahwa; kau sama sekali tidak mulia dibanding mereka yang kau anggap kotor-kotor itu? Ya, seperti dunia terbalik saja, karena yang kotor itulah hatinya penuh rasa syukur, penuh berkah dan penuh dengan ungkapan cukup dari pikiran dan ruang hatinya sendiri.

Sedangkan kau yang mengaku formal dalam pikirammu, kau anggap dirimu mulia padahal, "kau masih menipu, masih memeras keringat yang lain untuk keuntunganmu sendiri". Lalu bersenang-senang atas nama penderitaan orang lain atas nama keformalan yang di akui sebagai biasa. Sungguh naas nian nasibmu yang di dalamnya terbalut kesadaran akan itu bahwa; hidup hanyalah saling manfaatkan yang semakin terukur oleh kapital.

Upaya kalah mengalahkan, sangat mungkin orang rasakan, untuk terkejar dan semakin mengaktualisasi diri dengan material. Ungkapan yang semakin pahit dirasa, seperti hidup, mengapa hidup tidak di buat senang saja? Tentang seseorang yang betah akan kemiskinannya itu, tidak tahukan ukuran rasa syukur itu? Bahwa dirinya lebih beruntung dari yang lebih tidak beruntung? 

Rupanya ingin menyingkap kembali, hmm, bualan masa kini seperti keagungan yang terpuja. Sederhana yang dipandang setengah manusia, orang-orang jalanan juga dianggap sebagai se-per empat manusia. Apa lagi dengan orang yang tidak waras itu, tidak pernah di akui sebagai manusia. Sungguh yang mewah, serba ada, serba bagus sandangnya, papannya, dan fasilitas-fasilitas kehidupannya lainya semakin, "ia dianggap manusia".

Seperti yang terakui ingin tetap di akui pada akhirnya. Jalan kehidupan rasanya terbentuk dengan sendirinya, menanjak, belok bahkan sandungan-sandungan yang harus dihadapi. Mengarungi jalan memang terkadang butuh pegangan untuk, "setidaknya mengamankan diri sendiri". Meskipun kau terkadang dirasa manusia yang tidak nyata dalam kelas itu.

Kini ketika semakin banyak pilihan untuk berpegang dengan rupa keformalitasan zaman, mau seperti apakah yang akan kau pegang? Tumbuhan menumbuhkan akarnya sendiri, bintang-bintang berdiri sendiri-sendiri, dan matahari tetap konsisten menyinarkan sinarnya sendiri.

Memang ukuran anggapan standart hidup formal kini begitu tinggi. Di luar sana sedang banyak orang frustasi dengan hidupnya, tentu karena tidak mampu menjangkau standart hidup menurut anggapannya sendiri. Beberapa dari mereka lari dari kenyataannya termasuk, "menyandarkan pada apa yang diyakininya untuk menjalani hidup berdampingan dengan keformalan". 

Terlihat sayang ketika akal sehat tidak menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Mereka terjepit janji yang belum tentu ditepati, melakukan apapun untuk hidup setelah mati. Meskipun itu dapat dijadikan lari dari kenormalan pada keformalan hidup yang semakin beranggapan. Bukankah kita terlebih dahulu harus menyadarkan bahwa; setelah hanya ada kesadaran akan ada suatu anggapan?

Tidak lebih, waktu hanyalah ruang-ruang dimana ia mengisi dirinya sendiri. Terlalu jauh bagi yang hidup mengharap-harap adanya pembalasan kebahagian imajiner yang setimpal. Belum dibuktikan juga, kau susah hidup di dunia, hidup setelah dunia kau anggap dapat surga, bukankah ini pendapat yang mengambang? 

Mati ruang untuk mati, begitupun tua dan muda, dengan ruangnya sendiri. Manusia bisa memutuskan setiap ruang-ruangnya demi waktu-waktunya, terlalu naif berharap pada pembalasan yang imajiner. Bahwasanya hidup hanyalah kesadaran yang tercipta akan eksistensi kita, baik saat ini, besok, atau pun hidup setelah mati. Semua adalah bagaimana kita menyadari diri sendiri, tidak lebih.

Hidup adalah tentang keputusan setiap saat-saatnya, bukan tentang bualan untuk bahagia di kehidupan setelah mati nanti. Sejatinya kita dapat merasakan apapun. Ketika kita tersadar lalu membuat apa yang bisa kita anggap, "termasuk bahagia dan derita".

Sebagai bahan perenungan melampaui itu sendiri. Bias-bias realitas sepertinya retak oleh panas sinar matahari. Mungkin tanah ini akan berganti dengan tanah yang baru, menjanjikan? Sepertinya tidak, sama saja, maka jangan berharap pada siapa pun, berharaplah pada rasamu sendiri, "sebagai yang berkuasa atas dirimu sendiri".

Sepajang tahun selama iklim masih sama, tanah akan tetap sama, begitupun juga dirimu. Di musim panas "tanah" mengering dan retak, di musim hujan akan lembab dan bercak sama seperti juga kondisi psikis diri kita sendiri.

Tidak ada yang bisa dihasilkan dari panas dan hujan selain kesadaran untuk beradaptasi dengannya, baik sebagai alam maupun diri manusia. Seperti halnya pohon yang tetap tumbuh dalam cuaca apa pun, begitu seharusnya kesadaran sebagai dirinya sendiri "manusia". Kita dituntut untuk terus tumbuh dan bertumbuh sebagai jiwa manusia yang kuat.

Lihat-lihatlah, semen ini membentang luas, sumpek, semrawut dan berdebu hitam, sangat membuat diri jatuh pada kemuakan hidup kini. Berjalan di kota sepertinya memang tidak rapi lagi, umumnya di berbagai kota yang ada di belahan bumi berkembang lainnya.

Ketika daya tarik dari kota menjenuhkan kemanakah manusia harus pergi? Rasanya ingin menjauh bersama ilalang-ilalang disana, dengan domba-domba, caping yang mengerucut, dan beningnya air yang terjun langsung dari atas  Gunung berapi. Melupakan keformalan, tentang kisah yang mulia, mereka, "pedagang emperan", "pemulung-pemulung kota" dan seniman jalanan yang menahan malu untuk bertahan hidup. Itulah inspirasi nyata dalam hidup ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun