Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fakta Kerja dalam Sistem Kapitalisme

16 Mei 2019   00:39 Diperbarui: 29 Mei 2019   10:57 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Memang, dalam kerja yang dilembagakan tidak akan mampu mewujudkan keadilan bagi semua. Adanya kelas dalam kerja sendiri, menjadi bukti bahwa; strata pendidikan, posisi kerja dan kelas dalam perusahaan sangat berpengaruh. Untuk itu, bukan hanya ketimpangan dalam ketidak adilan dari kerja itu sendiri. Tetapi juga tidak adanya ketidak adilan dari penghasilan kerja tersebut.

Secara tidak langsung, inilah suratan yang diproduksi oleh sistem kapitalisme. Keterikatan pada uang membuat manusia tidak dapat lagi leluasa hidup, bila ia tidak rela menjadi integral obyek dari uang itu sendiri. Tidak jarang bahwa; saat ini manusia di uangkan, dan uang di manusiakan. Semua serba terukur dengan uang, umumnya menolong kini, apresiasi terbaik yaitu dengan uang.

Fakta pekerja dalam pusaran kendali "Kapitalis"

Ada yang tidak terbantahkan dari modal "uang". Ya, modal adalah primadona dalam sistem kapitalisme ini. Saya dapat menjamin kali ini, "tidak ada satu manusia pun di negri kapitalistik ini yang rela, ketika uang yang tengah di kumpulkannya hanya untuk membantu, atau berbuat baik pada orang lain".

Ajaran kebajikan untuk tidak mencintai dunia di dalammnya, termasuk harta (uang) yang membudaya sendiri dalam masyarakat, kini hanyalah kiasan dari suatu retorik yang bijaksana. Tidak ada orang yang murni, "tidak cinta harta" meskipun, hidup mereka mengikuti identitas corak kebajikan itu, dengan segala jenis atribut-atributnya, sebagai laku dalam menjalani kehidupannya. Lagi-lagi, ajaran merupakan suatu hal yang dijadikan manusia untuk menutupi alibi keburukan dari dirinya sendiri.

Dengan ini saya mengira, mereka "para suci, hina, pemikir, penyair, pengumpat, dan lain sebagainya tentang sifat yang ada di dunia ini" adalah hasil dari fakta subyektif manusia. Tetapi realita, dalam bagaimana manusia menjalani hidupnya, kini sangatlah dan terbalik dari fakta subyektif positivistik itu. 

Saya ingin mencoba menerka, fenomena dari kaca mata antara kapitalisme dan pekerja, yang tengah menjadi perbicangan publik abad ini, hampir di sebagian wilayah dunia. Tentu ini bukan bicara yang menang, dan yang kalah dalam setiap kehidupannya. Kalah dan menang adalah biasa dalam pergulatan dunia, ibaratnya pepatah kuno, "kau tidak dianjurkan melawan orang kaya jika kau miskin, begitupun, kalau Anda kaya, Anda tidak dapat menentang orang yang sedang berkuasa"

Sebenarnya paradoks-paradoks lain dari pembahasan ini banyak, dan tidak pernah habis. Bahasanya mungkin dari lembaga moralitas, yang dijadikan kepercayaan itu sendiri, yang semakin hebat dan kuat abad ini. Tetapi,  saya akan membahasnya di ulasan hari depan, atau tahun depan tentang keyakinan yang semakin hebat dan kuat itu. Sedikit yang sudah terasa bahwa; paradoks itu bukan lagi pada bagaimana berlomba dalam kebaikan, tetapi belomba atas "nama besar", berdasar perolehan kapital ajaran moralitas itu di isi.

Fakta subyektif antara kapitalisme dan pekerja dalam keadaan saat ini jelas, bertentangan pada prakteknya "fakta obyektif". Dengan fakta subyektif yang saya resap, dari berbagai nilai filosofi budaya lembaga kapitalisme kepada pekerja, yang dipelajari di dalam sekolah atau lembaga kebajikan "sangatlah berbeda", bahkan nyaris hanya wacana pengetajuan saja.

Fakta subyektif memang alibi yang benar setidaknya, menurut pribadinya sendiri. Nilai filosofis atas kesejahteraan bersama memang ada dalam fakta subyektif, tetapi tidak benar terjadi secara obyektif. Ungkapan indah, antara pergulakan kapitalisme dan pekerja jelas, hanya upaya menutupi yang pantas untuk ditutup yakni "keburukan mereka". Terkadang caranya pun rasional yang tentu tidak rasional, jika itu di telisik dari pemikiran yang lebih dalam dan menyeluruh.

Anda dan saya mungkin menyadari, bahwa di dalam sekolah, berwirausaha sebagai upaya kesejahteraan bersama. Tetapi dalam prakteknya sendiri, wirausaha hanyalah sebuah ide diri mensejahterakan dirinya sendiri. Sangat melenceng dari teori subyektif sebagai dasar kesejahteraan bersama. Tetap pemilik modal dalam hal ini, lebih di untungkan dengan modalnya itu. Meskipun dalam bayangannya, ingin mensejaherakan semua namun, upaya lapar dan serakah dari sifat asli manusia membelenggu diri mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun