Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fakta Kerja dalam Sistem Kapitalisme

16 Mei 2019   00:39 Diperbarui: 29 Mei 2019   10:57 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Apa yang aneh dari setiap pagi sudut kantor berkemas untuk melakukan kerja? Memang ini tidak pernah aneh, sudah menjadi kebiasaan di negri yang berkembang secara industerial. Semua berbondong-bondong kerja, dan mencari kerja.

Ya, ini seperti tidak dapat terlepas dari hidup. Penghasilan yang harus ia raih, uang yang sudah menjadi dewa baru, dan manusia tidak dapat lepas dari ini "uang". Kasarnya, hidup memang harus berupaya dengan kerja. Inilah fakta subyektifnya, bahwa; "kau harus mengindoktrinasi dirimu dengan kerja, kerja, kerja, semangat, semangat, semangat. Kerja samapai mati, walaupun tetap menjadi miskin.

Tentu tidak ada yang salah dari kerja, apa lagi tentang semangat. Memang betul, ada kalanya mengobar-obar jiwa ini penting bagi hidup manusia. Tetapi, sebagai hewan sekaligus pekerja yang berpikir, sudahkan mereka berkembang dengan pemikiran akan "tentang fakta obyektif"? Yang terjadi pada realitas bekerja itu sendiri, dalam lingkaran industerialisasi kini?

Bukan untuk mempatahkan arang yang mencoba Anda improvisasi itu. Bukan pula untuk merongrong anda, "sebagai pekerja yang giat"dan "semangat" bahkan "penuh pengabdian". Saya memang tidak peduli , tetapi nasib yang tidak jauh berbeda ketika kita kerja, menjadi pertanyaan yang jelas menganggu pikiran saya, mungkin Anda juga?

Sebagai pekerja industri, kita memang dituntut kerja secara mekanik dalam bekerja. Dari A, Anda menjadi B, lalu menjadi A kembali, untuk memandang B. Sepertinya bekerja dalam industri memang seperti itu, "serba mekanik, tersetrukture, dan orentasi keuntungan". Hal ini A adalah Produksi, dan B merupakan Keuntungan.

Maka dapat saya katakan, ketika Anda bekerja dengan semangat, giat dan tentu memperoleh citra baik. Apakah Anda nyaman dengan posisi itu? Bekerja secara mekanis yang tujuannya, kalau tidak A itu B? Memang tidak lebih-lebihnya Anda di undang sebagai pahlawan, di undang sebagai yang ahli dari intinya-inti, dan upaya apresiasi tanpa henti dengan kata "Terimakasih". Tetapi bukankah upah yang Anda diterima tetap masih sebatas upah minimun regional?

Dalam realitanya, upah minimun Anda tidak menjawab,  untuk sekedar meluangkan waktu Anda, bersama keluarga, makan enak, liburan, juga fasilitas hidup yang layak di dapatkan dari bekerja, tidak pernah memenuhi harapan. Mungkinkah Anda tidak mempertanyakan itu? Bentuk suatu perjuangan yang minim apresiasi? Setidaknya yang harus menjadi pertanyaan adalah fakta obyektif dari realitas diri Anda sendiri. Bagaimanakah hidup anda, dengan berbagai loyalitas yang Anda perjuangkan dalam bentuk kerja?

Dalam bekerja kini memandang siapa, memotivasi siapa, memang menjadi faktor yang sangat penting. Jika anda memotivasi diri Anda untuk hasil Anda sendiri, kenapa? ada yang salah? Ataukah itu yang jelas menjadi benar, sebagai fakta obyektif dari realitas Anda? Bahwa tindak eksploitasi diri Anda sendiri, Anda juga harus tetap menikmatinya sama dengan porsi kreativitas dan tenaga yang anda keluarkan?

"Seharusnya ini yang banyak orang harus lakukan, bahkan diperhatikan. Di mana, ia tidak hanya menjadi serdadu keuntungan orang lain, tetapi juga harus menjadi serdadu keuntungan bagi dirinya sendiri secara layak dan berkelanjutan".

Namun dunia kerja konvensional saat ini sudah terlalu jengah memandang orang lain sebagai mitra keuntungan mereka. Kalau bisa, dan yang terjadi kini, adalah tindak eksploitatif antara yang kuat, dan yang lemah dalam memandang kerja bersama di suatu lembaga bisnis. Kasarnya adalah pemodal kuat yang harus lebih sejahtera selamanya, dibandingakan dari pekerja itu sendiri.

Sistem keuntungan dalam kerja. Jika masih ada upaya lapar, dan tidak pernah kenyang dari yang kuat? Pemodal sebagai integral bersama dalam kerja, jelas, akan ada integral pesakitan untuk menambal rasa lapar itu, dalam hal ini "pekerja".

Memang, dalam kerja yang dilembagakan tidak akan mampu mewujudkan keadilan bagi semua. Adanya kelas dalam kerja sendiri, menjadi bukti bahwa; strata pendidikan, posisi kerja dan kelas dalam perusahaan sangat berpengaruh. Untuk itu, bukan hanya ketimpangan dalam ketidak adilan dari kerja itu sendiri. Tetapi juga tidak adanya ketidak adilan dari penghasilan kerja tersebut.

Secara tidak langsung, inilah suratan yang diproduksi oleh sistem kapitalisme. Keterikatan pada uang membuat manusia tidak dapat lagi leluasa hidup, bila ia tidak rela menjadi integral obyek dari uang itu sendiri. Tidak jarang bahwa; saat ini manusia di uangkan, dan uang di manusiakan. Semua serba terukur dengan uang, umumnya menolong kini, apresiasi terbaik yaitu dengan uang.

Fakta pekerja dalam pusaran kendali "Kapitalis"

Ada yang tidak terbantahkan dari modal "uang". Ya, modal adalah primadona dalam sistem kapitalisme ini. Saya dapat menjamin kali ini, "tidak ada satu manusia pun di negri kapitalistik ini yang rela, ketika uang yang tengah di kumpulkannya hanya untuk membantu, atau berbuat baik pada orang lain".

Ajaran kebajikan untuk tidak mencintai dunia di dalammnya, termasuk harta (uang) yang membudaya sendiri dalam masyarakat, kini hanyalah kiasan dari suatu retorik yang bijaksana. Tidak ada orang yang murni, "tidak cinta harta" meskipun, hidup mereka mengikuti identitas corak kebajikan itu, dengan segala jenis atribut-atributnya, sebagai laku dalam menjalani kehidupannya. Lagi-lagi, ajaran merupakan suatu hal yang dijadikan manusia untuk menutupi alibi keburukan dari dirinya sendiri.

Dengan ini saya mengira, mereka "para suci, hina, pemikir, penyair, pengumpat, dan lain sebagainya tentang sifat yang ada di dunia ini" adalah hasil dari fakta subyektif manusia. Tetapi realita, dalam bagaimana manusia menjalani hidupnya, kini sangatlah dan terbalik dari fakta subyektif positivistik itu. 

Saya ingin mencoba menerka, fenomena dari kaca mata antara kapitalisme dan pekerja, yang tengah menjadi perbicangan publik abad ini, hampir di sebagian wilayah dunia. Tentu ini bukan bicara yang menang, dan yang kalah dalam setiap kehidupannya. Kalah dan menang adalah biasa dalam pergulatan dunia, ibaratnya pepatah kuno, "kau tidak dianjurkan melawan orang kaya jika kau miskin, begitupun, kalau Anda kaya, Anda tidak dapat menentang orang yang sedang berkuasa"

Sebenarnya paradoks-paradoks lain dari pembahasan ini banyak, dan tidak pernah habis. Bahasanya mungkin dari lembaga moralitas, yang dijadikan kepercayaan itu sendiri, yang semakin hebat dan kuat abad ini. Tetapi,  saya akan membahasnya di ulasan hari depan, atau tahun depan tentang keyakinan yang semakin hebat dan kuat itu. Sedikit yang sudah terasa bahwa; paradoks itu bukan lagi pada bagaimana berlomba dalam kebaikan, tetapi belomba atas "nama besar", berdasar perolehan kapital ajaran moralitas itu di isi.

Fakta subyektif antara kapitalisme dan pekerja dalam keadaan saat ini jelas, bertentangan pada prakteknya "fakta obyektif". Dengan fakta subyektif yang saya resap, dari berbagai nilai filosofi budaya lembaga kapitalisme kepada pekerja, yang dipelajari di dalam sekolah atau lembaga kebajikan "sangatlah berbeda", bahkan nyaris hanya wacana pengetajuan saja.

Fakta subyektif memang alibi yang benar setidaknya, menurut pribadinya sendiri. Nilai filosofis atas kesejahteraan bersama memang ada dalam fakta subyektif, tetapi tidak benar terjadi secara obyektif. Ungkapan indah, antara pergulakan kapitalisme dan pekerja jelas, hanya upaya menutupi yang pantas untuk ditutup yakni "keburukan mereka". Terkadang caranya pun rasional yang tentu tidak rasional, jika itu di telisik dari pemikiran yang lebih dalam dan menyeluruh.

Anda dan saya mungkin menyadari, bahwa di dalam sekolah, berwirausaha sebagai upaya kesejahteraan bersama. Tetapi dalam prakteknya sendiri, wirausaha hanyalah sebuah ide diri mensejahterakan dirinya sendiri. Sangat melenceng dari teori subyektif sebagai dasar kesejahteraan bersama. Tetap pemilik modal dalam hal ini, lebih di untungkan dengan modalnya itu. Meskipun dalam bayangannya, ingin mensejaherakan semua namun, upaya lapar dan serakah dari sifat asli manusia membelenggu diri mereka.

Upaya modal yang dapat menghasilkan kesenangan dunia menjadi dalih sangat rasional bahwa; hanya dengan uang kedudukan dalam kelas sosial masyarakat itu terbayar. Status tinggi dalam menjadi orang kaya yang, tidak dapat dilawan orang miskin menjadi pembenaran itu. Mereka bangga akan status quo menjadi kelas kaya dalam sosial masyarakat.

Seperti tidak ada yang murni dalam hal ini, masih bagus mereka mampu dalam upaya menolong orang dengan suntikan ekonomi dan kerja. Sebagai pengetahuan, pekerja tidaklah akan mampu sejahtera sama dengan pemodal itu jika tidak ada upaya saling mensejahterakan bersama, kepemilikan bersama, dan keuntungan yang di bagi bersama.

Bukan sebagai penyerah dalam sistem, tetapi fakta obyektifnya berbicara seperti ini. Jika Anda pekerja, selamanya akan tetap menjadi pekerja. Jika tidak ingin jadi pekerja? Mulailah untuk menjadi pemodal yang, bekerja mensejahterakan dirinya sendiri. Nasib memang tidak selalu sama, dalam hal ini, pekerja pun ada kelas dalam tatanan bekerja itu sendiri.

Semesta bidang kerja sendiri dalam hal ini, jika sama-sama di hadapkan pada pekerja, semua bertindak untuk kepentingannya sendiri. Lembaga kerja dengan taraf yang besar, dan di akui kuat, mengerogoti filosofi pengabdian sebagai lembaga kerja dari sistem yang mereka buat sendiri. Tentu sistemnya membuat kelas pekerja, di mana itu harus lebih menguntungakan mereka "pemodal". Untuk semua itu, ada pekerja luar dan pekerja dalam, seperti yang kita dapat lihat dari "sistem outsorcing".

Dengan adanya pagar lembaga kerja dapat mempagari, bagaimana filosofi mensejahterakan pekerjanya menjadi sesuatu yang nyata, bagi lembaga kerja dengan ruang lingkup yang kecil. Fakta obyektifnya di sini, ia harus membuat sistem murah membayar pekerja. Di mana kongkalikong antar lembaga kerja, juga di mulai sebagai penahan upaya mensejahterkan pekerja yang terlibat dalam bisnisnya. Adanya pihak lembaga kerja alih daya sendiri membuat praktis, bahwa; mereka "pemodal lembaga kerja besar" tidak berkepentingan mensejahterakan pekerja di dalam lingkup bisnisnya.

Ia membayar jauh dengan harga yang ia bayar dengan pekerja di dalam pagar lembaga kerja besarnya sendiri.  Tetapi pekerja di luar pagar pun harus tetap bekerja padanya, melalui hubungan lembaga kerja alih daya. Dapat di bilang, yang di luar pagar sendiri adalah serdadu keuntungannya tanpa beban moral yang harus di sejahterakan oleh lembaga kerja besar. Status yang berbeda membuat mereka berdalih, pekerja diluar pagar bukan tanggung jawabnya, meskipun masih bekerja untuknya.

Adanya problematika baru kelas pekerja ini pun, menjadi wacana kapitalisme baru yaitu dalam pengertian kapitalisme birokrat. Kapitalisme birokrat sendiri adalah mereka yang masih pekerja dalam hal ini sebagai kaki pemodal besar mengurusi suatu proyek, dan mengambil keuntungan dari jalannya proyek tersebut. Ia bukan pemodal, ia pekerja, yang mempunyai informasi dan aksesi akan potensi keuntungan di dalamnnya.

Tetapi ia menggunakan akses tersebut untuk keuntungan dirinya secara pribadi, yang membuat pekerja bawahan (borongan), atau alih daya menerima nilai lebih kecil dari jumlah aslinya. Tentu nilai itu lebih kecil, karena di sunat sana-sini oleh karyawan internal lembaga kerja sendiri, atau oleh lembaga kerja besar itu juga. Tujuannya untuk mensejahterakan pekerja di dalam pagarnya sendiri dan sebagai ekspansi perusahaan besar.

Seperti menjadi dilema baru untuk para pekerja kini. Di mana beban kerja semakin berat, namun semakin banyak orang-orang pengambil untung dari beban kerja mereka. Inilah yang terjadi, fakta obyektif yang nyata di lapangan kerja melampui fakta subyektif itu sendiri bahwa; "yang bekerja keras sejahtera, tetapi itulah fakta subyektifnya". Kenyataan obyektif di lapangan kerja tentu tidak se-indah kata sejahtera itu. Banyak dari pekerja bawahan atau borongan, hidupnya dibawah standart  sejahtera dengan beban kerja yang tinggi.

Kita tentu harus paham akan fakta obyektif ini, dari dalam sistem industerialisasi yang dibuat oleh sistem kapitalisme. Bahwa; untuk menjadi pekerja yang sejahtera itu sendiri, kita pekerja juga harus melakukan hal yang sama. Setidaknya, membuat industri sendiri dengan kemampuan untuk menjadi sejahtera, minimal mensejahterakan diri sendiri terlebih dahulu. Perkara Anda berhasil, dan mempekerjakan orang lain di dalam lingkup industri Anda, itu perkara moralitas Anda, jika tidak? Sistem pun sah dalam hal ini, tidak menuntut Anda mensejahterakan yang lain termasuk pekerja Anda sendiri. Sistem kapitalisme dengan kekuasaan modalnya memang sah. Ia "kapitalisme" dapat membeli apapun termasuk kekuasaan politis suatu negara untuk mempagari kepentingan bisnisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun