Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sastra Manusia Pengharapan

26 April 2019   19:00 Diperbarui: 1 Mei 2019   23:20 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com

Bahkan gelarmu dari sekolah yang berderet-deret itu tetap tidak dapat mengubah jika kau adalah pemabuk. Pandangan manusia bersekolah merupakan akses untuk bekerja, mengembangkan keahlian teoritis dan keterpunyaan modal intelektual. Namun inilah teorinya orang- orang yang bersekolah. Memahami teori yang dipahami hanyalah teori bukan praktiknya. Bagiku teori merupakan harapan untuk paham yang belum tentu memahami praktiknya. Selayaknya harapan teoripun di bumbui praktik-praktik diharapkan. Manusia yang bersekolah diharapkan mampu menguasai teori, bisa mewujudkan praktik yang ditawarkan sekolah dan mampu berprestasi. Inilah bentuk-bentuk yang ditawarkan oleh sekolah.

Pada praktiknya banyak manusia yang bersekolah tidak memenuhi teori sekolah. Misalnya dia diharapkan untuk mempunyai nilai yang tinggi tetapi kenyataannya dia mempunyai nilai dibawah harapan. Praktik dan teori sama halnya dengan harapan dan kenyataan. Teori ibarat harapan dan praktik adalah kenyataan. Kini aku mempertanykan dirimu? Sudahkan sekolahmu membebaskan diri dari kadar mabuk hidupmu akan harapan?

Sekolah banyak mengajarkan teori, ini berarti sekolah banyak mengajarkan harapan. Jaminan harapan menjadi orang yang berprestasi, harapan hidup mudah mencari pekerjaan dan harapan gelar yang belum tentu dilapangan sosial tergunakan. Sekolah sedikit mengajarkan praktik yang artinya "sekolah jarang menghadapkan dirinya pada kenyataan". Bawasanya kenyataan memahami harapan (teori) disekolah itu tidak mudah, diperlukanya biaya yang tinggi untuk menebus harapan dari sekolah dan hal yang esensial tersitanya waktu oleh pengharapan-pengharapan yang dihadapi bersekolah.

Strata sekolah tinggi memberi harapan mudah mengaplikasikan intelektual harapannya. Tetapi tunggu dulu, sedikit praktik disekolah mengajarkan kenyataan yang harus dihadapi. Orang yang bersekolah tidak selalu mudah mewujudkan harapan (teori) yang diterima didalam kenyataannya (praktiknya). Banyak juga manusia- manusia lain yang sama-sama bersekolah berada di dalam pengharapan yang sama.

Orang bersekolah berkompetisi merebut pos-pos kosong dalam pekerjaan, bisnis dan status quo. Bahkan harapan manusia yang bersekolah dibeli oleh segelintir orang yang mengkolusikan bisnis ketenagakerjaan yang ada.

Harapan janji dari sekolah memang mudah tetapi kenyataan keluaranya yang terkadang sulit. Janji untuk mudah tetaplah menang, ini terbukti semakin banyak orang yang bersekolah mencari pengharapan baru. Prestasi dan prestise dari sekolah adalah sesuatu yang sulit diwujudakan menjadi kenyataan. Menjadi manusia dalam pengharapan banyak dipilih manusia kekinian yang semakin menginginkan dirinya untuk bersekolah.

Mengkaji tentang sekolah saya teringat sedulur sikep didaerah Blora, Jawa Tengah. Salah satu kebijaksaanaan cara hidup sedulur sikep atau orang samin tidak mengajurkan untuk bersekolah. Komunitas samin berasumsi bahwa masih ada sekolah dan orang yang bersekolah tanda manusia masih bodoh. Apakah manusia yang bersekolah itu bodoh dengan segala pengharapan dari prestise sekolahnya? Pantas untuk dikaji manusia modern akan bagaimana harapan membentuk kebudayaan  sepadan dengan nilai kekinian bahwa; apakah harapan selalu akan dicari sebagai kebenaran yang patut untuk diperjuangkan?.

Sedikitpun aku tidak merasa bahwa aku-lah  orang yang paling cerdas, tetapi aku bisa merasa bahwa orang-orang sudah dibodohi oleh pergeseran budaya. Bagaimana bisa budaya lama yang tidak relevan dengan jaman dewasa ini masih ada dan bertendensi dimodifikasi setiap lini yang perlu sedikit moderenitas? Pandangan manusia kini yaitu pandangan manusia yang mencari harapan untung. Secara garis besar jelas pandangan manusia tidak mau rugi secara material.

Mekanisme berjalannya budaya lama masih dibuktikan dengan bagaimana cara manuisa itu dimanusiakan, seperti perayaan hari bersejarah, hajatan, perayaan ulang tahun dan lain sebagainya. Inilah sisi paradoksnya, bagaimana keglamoran memanusiakan manusia dewasa ini bertendensi membagi kesengsaraan secara masal. Manusia mau untung dan tidak mau rugi dibuktikan dengan adanya gratifikasi dengan harapan seseorang datang membawa sumbangan. Keadaan ini seperti perdagangan yang mencari untung dan tidak mau rugi.

Budaya yang bercokol dimasyarakat seperti ini tidak lantas disadari masyarakat. Kondisi ini malah dimanfaatkan untuk sesuatu pertunjukan balas budi, bagaimana masyarakat harus memberi dan juga bagaimana masyarakat harus menerima? Ragam budaya ini pun memicu beban psikologis sosial yang serius di tengah sulitnya perekonomian kini yang terpusat pada oligarki. Jika dilihat lebih dalam mengenai fenomena ini, tidak ada keuntungan yang bisa dirasakan masyarakat, masyarakatlah yang tetap menuai kerugian, dan siapa yang untung dengan kondisi ini? Tidak perlu saya jelaskan, toh masyarakat masih menginginkan keberlangsungan yang justru malah membebani dirinya sendiri. Himbauan superior, harapannya selalu kebanggaan akan dirinya, yang harus disanjung akan kemampuan hidup pada nilai ekonomi yang ia punya. "Dengan membusungkan dada bahwa ia mampu dan ia kaya, dalam realitanya hutang menjadi cara alternativenya.  

Bagi seseorang yang berpikir visioner, fenomena seperti ini itu sudah harus ditinggalkan. Peradaban manusia di masa depan adalah manusia yang individualistik, "menjadi individu-individu pencari keuntungan tanpa peduli lagi dengan sosial yang cenderung menjadi perusuh ekonominya". Kau tahu bagaimana peradaban menidas dan menikam budaya gotong-royong? Bagaimana manusia kalah dengan teknologi dalam pembagian kerja? kurang lebih sekemanya sama, "mengelabui kesadaran manusia". Untuk itu pandai-pandailah kita berpikir tentang bagaimana peradaban akan menindas, supaya kita lebih sadar akan suatu fenomena, dan yang terpenting kita tidak ikut masuk jurang terdalam beban psikologis sosial yang akan banyak manusia alami dimasa depan dengan harapan-harapannya yang masyur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun