Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Antara Nikmat dan Derita

23 April 2019   22:13 Diperbarui: 23 April 2019   22:25 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi diambil dari busy.org/@nasgen15

Dalam lamunan ini, aku terkadang berpikir, apakah perlu revolusi hidup itu? Bukan, bukan maksudku revolusi ideologi politik atau sebagainya. Yang aku maksud adalah revolusi cara hidup kita. Aku beri sedikit contoh, dari lajang kemudian menikah mungkin, dan lain sebagainya.

Terkadang aku merasa hidup ini ada kalanya menjengkelkan. Setiap hari merasa bosan dengan keadaan yang itu-itu saja terus menerus. Tanpa melangkah terkadang terasa nyaman, tetapi kita sadar keadaan itu adalah keadaan yang paling tidak nyaman sebenarnya. Rasanya setiap hari terjadi kontradiksi diri antara melangkah dan tetap terdiam.

Memang untuk memulai sesuatu yang baru itu terasa berat. Bukan arti "berat" pada sebenarnya tetapi berat pada konsep pemikiranya yang tidak mau berubah. Maka dari itu untuk sebuah revolusi, dibutukan tekad yang kuat, berani ambil resiko dan mampu bertahan pada setiap tatanan hidup baru nantinya.

Aku sering dibuat sadar ketika membaca tulisan tentang kebajikan. "Apapun dan seberapapun kerasnya hidup kita merupakan pembelajaran bagi diri kita untuk meningkatakan kesadaran kita dan spiritualitas kita". Itulah kutipan seorang bijak yang sering dia katakan kepadaku tanpa henti-hentinya. 

Memang benar adakalanya kita sebagai manusia memang harus mampu mengalahkan diri kita sendiri. Untuk memulai sesuatu yang baru, diri sendiri haruslah bisa mengalahkan kebebalan dan kekolotan dirinya sendiri. Supaya ia mampu mendobrak apa yang perlu di dobarak dari dirinya sendiri.

Ya, memang jawabanku selalu berkata bahwa revolusi tata cara hidup memang sangat perlu. Terutama dan yang paling sangat perlu adalah untuk pengalaman dan pengetahuan baru. Terlebih jika pengalaman itu bisa menghasilkan keluaran yang baik untuk kita dan umat manusia. Rasanya revolusi sudah tidak perlu lagi ditawar oleh para manusia galau sepertiku, tetapi hanya ada satu kata "lakukan", meskipun dengan kegaluan dan kegelisahan.


Langit mendung tetapi hujan belum turun. Orang-orang sedang diam sendiri bersama lamunannya. Aku tak mengerti apa yang mereka pikirkan. Aku merasa sore ini agak gelap, namun entah mengapa perasaanku sedikit agak kering. 

Kepalaku masih agak pusing mungkin karna kebanyakan tidur dan kurangnya aktivitas. Daun pepaya disamping mulai menghijau, sampingnya lagi mulai mongering kekurangan air. Rambut cukuran mohak itu mengodaku, menggoda untuk kupotong rambut ini untuk membayar rasa frustasi yang terkadang menghampiri.

Aku sendiri masih duduk diam, tertekan perasanku sendiri. Terkadang buku hijau disampingku ini belum bisa mengobati rasa bosan itu. Aku sedang berpikir juga apakah hormon didalam tubuhku harus aku kuras hari ini? 

Mungkin aku perlu keseimbangan tubuh yang baru, segar dan membuat semangat. Kacang sudah aku makan, nasi sudah tinggal bungkusnya. Rasanya kok seperti lemas sekali, apakah aku perlu olahraga? Oh, mungkin tidak karna sebentar lagi akan turun hujan. Lapangan banjir dan sangat berbahaya membuat cidra.

Melihat keatas langit semakin mendung, aku heran perasaanku ini, kok tidak lebih baik? Apakah aku harus pergi jauh ke planet mars? mungkinkah aku butuh bidadari-bidadari yang orang-orang janjikan itu dalam kotbahnya dimimbar pojok sana? Ah, rasanya aku semakin puyeng saja meratapi nasib ini.

Papan catur di depanku, aku lihat itu tetap sama warnanya masih hitam-putih, berbentuk kotak, hanya kuda-kuda, benteng dan raja yang enggan untuk mati. Perasanku masih belum baik, sejenak mulai meraih nafas panjang dan dalam mengobati rasaku sendiri. Aku ingin kesegaran tapi belum waktunya mandi sore. Melihat kesamping teman-temanku pun sepertinya sama, rasanya ingin mengutuk waktunya dikala duduk diam tanpa apa yang serius untuk dipikirkan.

Aku ambil buku catatanku untuk mengusir kalutku. Mengharap ada perbedaan rasa dalam hidupku. Dari pada menanggung sendiri rasa batinku, mengapa tidak aku tulis semua itu? Oh, catatan-catatan derita penuhilah buku yang kosong ini! Entah sampai kapan derita mengutuk waktu akan terus berlanjut. Rasanya kebahagiaan tidak bisa di ingat-ingat lagi. Seperti jomblo ngenes, rasanya melawan waktu itu sunguh berat. Aku ambil nafas panjang lagi berharap punya gairah melanjutkan mengobati rasaku sendiri.

Kumpulan-kumpulan kata derita ini sebenernya tak layak terbit namun semua harus aku tulis. Berharap tulisanku menyembuhkan rasa kalut dan derita yang aku rasa dan juga mengebalikan rasa pada tempat yang baik dan mapan. Membuat suatu pertanyaan, mengapa ada materi dalam hidup? Aku seperti paham yang tidak pernah paham. Hariku ganjil bak tulang tanpa daging. Rasanya kesendirian ini membunuh benar-benar membunuhku. Tetapi kebahagiaan datang adakalanya sendiri tanpa kepalsuan, hanya buah yang manis "kesabaran".

Materiku tidak ramah, aku sering digiring untuk mencintai, memenuhi bahkan menelanjangi untuk bertekuk lutut mengikuti. Kadang aku membenci, mungkin aku pun sekejap demi sekejap mulai berpikir materi adalah lautan bahagia dunia kefanaan ini. Sulit aku menebak. Rasanya saya tidak jauh dari materiku, bahkan aku tinggal di dalam materialku sendiri, menangis bersama, tertawa bersama dan bertumbuh bersama. Materiku adalah aku yang sulit aku mengerti. Pahami dan nikmati karna disetiap nikmat selalu ada derita menghampiri, menerjang dan menggemparkan diri.

Tidak ada pokok dalam hidup ini. Semua unsur terdiri dari materi, aku adalah mental yang tumbuh dari materi. Aku rasa tidak ada kehidupan tanpa materi. Hari ini aku terbangun lebih pagi dari biasanya. 

Malamku sangat indah di banding malam-malam kemarin. Aku semalam tidur dengan lelap yang tidak seperti biasanya. Kau tahu apa yang saya mimpikan semalam? Aku bermimpi tentang orang-orang, saya bermimpi mereka sedang bermain dengan permainan sewaktu kecil. Tetapi dalam mimpi itu sangat menegangkan, aku seakan dibawa lari kemanapun untuk mengamankan diriku sendiri.

Setelah bangan dari tidur, aku renungi, apa yang terjadi? Mimpi seakan juga menjadi hantu yang tak pasti. Bermimpi saat tidur hanya menyisakan rasa menerka-nerka sisa ingatannya saja. 

Dua gelas air putih yang aku minum sungguh seperti memperingan gerak aliran darahku. Kini aku masih terbaring ditempat tidur dimana rasa dingin diselimuti waktu yang tidak lagi pagi membayangi. Beberapa jam lagi aku harus memulai akifitas seperti kemarin yang membosankan. Aku saja kadang bertanya mengapa ada rasa lapar? Mengapa tidak kenyang ketika sudah menghirup udara yang gratis ini? 

Kalau saja manusia merasa tidak pernah lapar apakah manusia tetap bekerja? Ah, beban dan kenikmatan realitas apa lagi ini? Semua menjadi kabur ketika manusia disadarkan kemudian dilupakan ingatannya lewat tidur dan mimpi.

Aku merasa sulit bagiku menulis tentang sesuatu yang menjadi permasalahan yang umum disekitar kita. Kata mereka yang dengan mudah menulis itu, inilah kenyataan yang paling nyata. 

Tetapi kau tahu apa yang aku rasakan dari itu semua? Itulah fiksi yang kabur seakan sesuai realitas, tetapi sebenarnya hanya paradoks semata. Kebenaran kenyatan hanyalah ada pada diri kita. Tulisan realitas adalah tulisan penerjemahan rasa diri yang terkatung-katung perasaan diombang-ambikannya kehidupan keberadaan kita.

Grup aplikasi untuk komunikasi orang-orang bekerja juga membuat kegalauanku bertambah. Setiap hari kegiatan itu di isi dengan pemahasan target kerja, yang pada dasarnya aku tidak mau dengar kata-kata itu. 

Aku merasa abad 21 ini manusia sudah tidak percaya manusia lagi. Siapapun yang diberi tanggung jawab pasti terpikiran olehnya yang diberi tanggung jawab itu tanpa perlu bicara. Tanpa bukti foto telah dikerjakan, mereka tidak percaya, abad ini adalah abad materialistis. Manusia bekerja pada peradaban ini seperti kuda pacu supaya cepat, tepat dan mau dibayar murah seperti kuda baneran yang hanya di beri makan rumput.

Sepertinya aku ingin membedakan kenyataan. Terlalu sedih aku menerima semua ini. Mereka begitu sangat brisik, terus memacu-memacu manusia untuk kepentingan target kerja yang lebih menguntungkan mereka. 

Entah siapa yang akan baik dan siapa yang akan buruk namanya. Semua terlihat begitu asing dan sangat membosankan seseorang yang hidup abad 21. Andai saja bisa aku balikan kenyataan menjadi tak pernah lapar. Hari-hari akan aku isi dengan berjalan dan mencoba belajar terbang ke awan.

Memang aku harus menyadarkan diri lagi, yang kupijak ini tanah yang dinamakan bumi bukan awan yang dikatakan khayangan. Semembosankannya bagaimapun, aku-lah penghuninya ini, bagian penghuni yang sulit bahagia. 

Bahkan aku merasa seperti tidak dikasih ruang bahagia oleh sesama orang-orang yang mengaku pailng berbahagia. Ibarat karet yang terkesan mulur, tetapi rawan terputus itulah paradoksnya dunia. Manusia adalah kacung-kacung berjalan para manusia yang mengaku tinggi jabatannya. Aku terbangun kedua kalinya, dunia ini seperti mimpi buruk yang nyata.

Panasnya menjelang sore ini menyorot gubugku yang diselimuti tembok. Saya mandi air keringat dibawah ternit warna putih ini. Kipasku tak memberi nikmat bagiku, tubuhku seperti panas dibalut dingin akibat perputaran angin. Aku rebahkan kesamping tembok ini, rasanya panas seperti terbakar panasnya matahari. Kini aku melihat jam seharga seratus ribu itu. Kurasa lama sekali dia menggerakan jarinya. Saat ini mungkin aku harus tidak peduli pada jam saya. Semakin sore semakin aku berhadapan dengan sisa-sisa matahari. Rumahku menghadap kebarat, arah dimana matahari itu terbenam.

Disela-sela menunggu matahari terbenam, aku menunggu-nunggu angin dingin pembawa kedamaian. Rasanya tidak nikmat sekali mandi keringat itu. Waktu tak bisa saya rubah, matahari tak bisa aku kendalikan. Biarlah aku diam dalam kesabaran menunggu waktu. Aku isi saat ini dengan menulis sesuatu. Aku tidak begitu banyak peduli apakah akan menjadi karya yang buruk atau karya yang menyegarkan? Aku sadar, hanya ingin menyegarkan diriku. Kepala ini sedikit rada pusing sisa bergadang malam tadi.

Bau makanan yang terasa, aku menjadi mulai lapar. Harus aku sadari, lapar tetapi tidak ada makanan sama sekali. Hanya segelas teh yang menemani panasnya menjelang sore hari ini. Kesadaranku saat ini hanyalah bagaimana mengimprovisasi pikiran untuk membuat nikmat. Pikiran berkata jariku harus bergerak memanipulasi keadaan ini. Aku harus menulis seperti sastrawan profesional "itulah kata pikiranku".

Saat ini aku harus pandai memanipulasi semuanya. Pikiranku akan aku buat sedingin mungkin, hasratku ingin dipadamkan sepadam mungkin bahkan hilang. Walapun menulis tanpa sanjungan kata-kata, tanpa popularitas yang bermaka, aku ingin tetap menipu keadaan dengan menulis. Aku merasa punya imajinasi pikiran yang termpil dan jari yang tertata menulis kata-kata. Mungkin aku sang perajut asa, apa karyaku bisa diterima disana? Mungkin seperti panasnya matahari sore ini. Aku mulai masuk kedalam pikiran yang lebih jauh. Seandainya pun karyaku tidak laku, aku ingin membuatnya menjadi bagian sejarah hidupku sendiri. Aku ingin menulis lagi lebih banyak dengan karya yang lebih segar dan mutakhir. Aku ingin berbeda dan menciptakan karya sastra baru dengan peradaban kehidupan yang baru. Mimpiku ingin mem'buku'-kannya suatu saat nanti untuk saya dan orang-orang terdekat.

Sudah seharusnya aku merasakan yang tak nikmat ini. Awal mula kehidupan adalah merangkai-merangkai dengan panasnya penderitaan dan dinginnya rasa untuk diterima. Panasnya menjelang sore ini merupakan saksi di mana tidak semua waktu terasa nikmat. 

Aku ingin memanipulasinya dengan sajak kata-kata kedalaman pikiran. Kedepan akan terus berangan-angan dan berangan-angan lagi. Dan kini sedang aku galih-galih kenikmatan itu di dalam diriku. 

Menulis, menulis, menulis, untuk meraih waktu. Berkarya-berkarya dan berkarya memanipulasi kedalaman berpikir diri. Inginku bergegas mencari kenikmatan dari waktu. Ya , aku-lah sang pengais itu, mecoba menghibur lewat sisa-sisa tentang yang dibilang nikmat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun