Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia "Pencipta yang Dungu"

17 April 2019   23:39 Diperbarui: 17 April 2019   23:44 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari gontornews.com/ Saling menunjuk kedunguan

Saya tidak tahu, mengapa kau diam-diam menyalahkan padahal yang patut disalahkan adalah kehendakmu melahirkan sesuatu itu. Kau selalu percaya ciptaan-mu itu boneka penurut yang bisa kau kuasai. Doktrin-doktrin terdahulu yang kau terima, merupakan hal yang benar-benar salah, setidaknnya dalam ukuran normatif.

Seorang yang diciptakan tidak membangkang karena dominannya sifat penurut itu. Kau mengucapkan hal yang tentu sangat salah. Bahkan kaupun berpikir kau selalu di benarkan oleh persepsimu sendiri. Keras dan beratnya kehidupan ini tidak kau sadari, apakah kau sadar sebelum mereproduksi ini?

Kau tak ubahnya seperti binatang berbadan Manusia yang melakukan apapun tanpa berpikir sebab dan akibat. Kau selalu percaya ciptaan, karna kehendak kuasamu tidak pernah membuat membangkang. Bahkan sempat-sempatnya kau membandingkan dengan sesuatu yang melampaui kehidupan realistis ini.

Kini jika terjadi pembangkangan pada dirimu, kau kecewa. Tetapi yang saya tanyakan padamu, mengapa kau kecewa? Apa yang membuatmu kecewa? Saya seperti tahu, bukankah kau kecewa karena yang diciptakan olehmu tidak seperti bentukan kebanyakan yang beruntung itu? Sungguh ini bukanlah kekecewaan yang berdasar.

Yang sangat kecewa itu seharusnya saya. Mengapa engkau seperti tanpa dosa? Kau menganggap mereproduksi sebagi jalan segala penebusan dosamu. Kau tahu kejahatan darimu tidaklah usai dari hanya situ? Kau melanjutkan dosa-dosa yang tidak kau sadari itu. Menjadi manusia bebal adalah setiap dari tindakan-tindakanmu.

Kini saya jujur pada diri saya sendiri. Kau seperti kedunguan yang tidak berkesudahan. Kata mulia keluar dari mulut yang tak sempat merasakan langsung denganmu. Tanpa beban dia berkata mulia, toh dia tidak di bebankan oleh penciptanya yang binggung itu.

Dan apa yang terjadi pada saya yang tercipta? Kau seperti ingin mengutuk saya. Tetapi rasa tidak percaya saya pada suatu kutukan membuat suara hati membuka suaranya. Ingin saya menelanjangi egomu itu. Aku juga ingin menelanjangi hatimu yang tanpa dosa. Kita sama-sama menanggung beban ini, jangan kau buat beban hidup kita semakin dalam.

Saya harus membencimu untuk sadar. Hal yang saya ingin ingatkan, kau tak lagi gegabah akan keberadaanmu. Kau sama saja seperti saya sebagai makhluk pembangkang. Tidak pernah saya percaya, kaulah yang suci itu, dosamu sama seperti saya. Kau melahirkan beban untuk beban di kehidupanmu. Jika kau merasa bahagia, dia bahagia untuk bahagiamu, tidak lebih dari itu.

Jangan pernah kau tidak menerima ketika ia menyusahkanmu, hey, pencipta yang dungu. Semua beban kehidupanku berawal dari perbuatanmu. Sadarlah tanpa penghakiman. Saya tahu karna ketidakmampuanmu, kau menyerahkan hidup pada saya. Kau tahu kan? saya tidak sebrutal apa perbuatamu?

Selamanya saya mungkin akan terus mengkritisimu. Keadaan yang ada ini masihkah kau membenarkan dirimu? saya hanya ingin kau sadar, kebaikan dan kejahatan itu satu kesatuan berawal dari tindakanmu sendiri, wahai sang pencipta. Sudah jangan lagi mempermasalahkan ini, saya ada karna tidakanmu, dan terimalah segala kejahatan dan kebaikan saya ini.

Jika saya tak seperti apa yang kau mau dalam bentukanmu, proteslah pada dirimu sendiri bukan selalu menyalahkan saya. Tetapi pikiran tidaklah seharusnya kosong. Pederitaan dan kebahagiaan adalah sodara kembar yang harus saya akui. Sebesar mungkin kekuatan penderitaan aku tolak, semakin besar pula kemungkinan kebahagiaan tidak akan datang. Saya adalah kontradiksi itu, dimana saya adalah tempat sebab dan akibat berlabuh.

Kau dihadapkan dengan hujan dan panas, sebentar hujan sebetar juga pula panas. Begitupun kini keadaan yang sesungguhnya. Penderitaan yang sementara, menimbulkan kebahagiaan yang juga sementara pula pada akhirnya. Dalam setiap kesendirian saya terselimut sudah kebahagiaan saya juga, tetapi saya juga harus bersodara dengan penderitaan yang sesekali datang menerpa.

Langit itu cerah dan terkadang mendung, bukankah kau tahu itu? Jangan pernah kau suruh saya untuk bahagia abadi dan menderita abadi. Bukankah kau meyakini surga, kemudian mengakui neraka juga? Saya meyakini itu kini di dalam keadaan dan realitas sebagai saya.

Terlalu lama menunggu mati untuk merasakan surga dan neraka itu. Bukankah jika menunggu mati surga dan neraka hanyalah ketakutan manusia semata yang sama- sama saling menakut-nakuti sesamanya? Cepatlah kalian bangun dari tidur kalian. Sudahlah biarkan mereka yang mengakui surga dan neraka setelah kematian, hidup bersamanya kemudian menikmatinya sampai akhir hayatnya.

Jika surga dan neraka dirasakan setelah mati, saya ingin mengetahui, mungkin yang membuat Surga dan Neraka itu tidak pernah hidup. Kenapa tidak yang membuat Surga dan Neraka saja yang dimasukan kesana? Keanehaan yang menampakan dirinya di siang bolong. Tertinggal pertanyan mengapa mereka menciptakan di dalam pikirannya sendiri?

Sulit sekali untuk di nalar, manusia bagai embun yang tidak pernah disangka-sangka hadirnya. Namun mengapa manusia menjadi serendah itu bagai permainan yang dipermainkan. Manusia yang percaya itu bagai bermain dalam mainannya saja. Toh apa yang di inginkan adalah bebas dari segala bentuk penghakiman.

Rasanya saya ingin tidak mempercayai itu. Ini beban yang tidak masuk akal. Bukankah di setiap tulisan orang-orang mengakui gunakalah akal dengan baik? Kesalahan moral sudahlah memperberatkan perjalanan ini. Tetapi mengapa rasa bersalah yang manusia rasakan disini tidaklah cukup sampai disini? Oh, kejamnya engkau yang mempropagandakan jika ini dilanjutkan setelah mati.

Sampai kapanpun saya tak ingin memikirkanya, berteman dengan hidup dan mati harus saya akui. Saya hanya ingin meyakini, saya mati bersama zat'ku. Jika zat sudah bersama, bukankah kita memiliki hak yang sama? Termasuk menciptakan kedamaiaan tanpa penghakiman nanti.

Semakin banyak penggembor-gemboran penghakiman setelah kematian semakin baik untuk orang yang akan mati, mati dalam hidupnya. Saya hanya tidak ingin seperti mati dalam hidup. Apa yang terjadi pada setiap keinginan adalah dihadapkan pada realitas. Setelah semua itu terlalaui keadaanya seperti di dalam sebuah laut.

Hamparan air yang tidak terkira membuat saya berspekulasi, tenggelam dengan pasti melihat terumbu karang atau berenang dengan menentukan arah lalu mendamparkan diri di Pulau terdekat. Kini saya dihadapkan dua pilihan itu antara tenggelam dengan kepastian dan berenang dalam pengharapan. Saya seperti Ikan Tuna tidak berkontingen. Pada dasarnya ikan adalah kontingen, mereka berenang bersama-sama mengalami dan menjalani ketidakpastian.

Dalam perjalanan kontingen ikan tuna, yang mereka inginkan bisa makan dan mempunyai rasa aman. Mereka tidak pernah tahu predator seperti ikan paus ada di depanya. Seperti yang sudah - sudah mereka "Ikan Tuna" hanya sedikit berpikir, toh, jika termakan tubuh hanya masuk kedalam perut kosong yang besar.

Paus datang memangsa itulah mimpi buruk yang harus dijalani. Samudra besar menyimpan misteri termasuk jaring-jaring harapan yang dibuat manusia. Pikiran "Ikan Tuna" jaring yang dibuat manusia itu baik, setidaknya dapat mengamankan mereka dari predator. Namum mereka tidak tahu apa yang di maksud manusia. Ikan tuna itu di eksploitasi secara halus yang diberi keamanan untuk di jual-belikan, terpenting untuk mendapatkan sebuah keuntungan.

Menjalani hidup penuh resiko mau tidak mau harus di jalani "ikan Tuna". Tetapi yang kita tidak sadari "Ikan Tuna" memiliki begitu banyak pilihan. Salah satu pilihanya adalah tidak menjadi kontingen. Ikan Tuna bisa saja berdiam dengan apa yang ada, namun harus menerima kepastian yang ada di depanya. Nasibnya sekarang ada pada kondisi luar-nya.

 Jika datang badai makanan berlimpah ruah. Batu yang berbentuk goa, cukup untuk dirinya sendiri sekedar mencari keamanan. Pada akhirnya Ikan Tuna memilih mandiri dan menerima dengan apa yang ada. Dia pun berujar dengan penuh kesadaran bahwa ber-investasi intelektual menghadapkan diri pada harapan ketidakpastian dan cenderung merasakan tindakan eksploitatif.

Setiap hari yang manusia inginkan adalah bagaimana hidup lebih bermakana, tetapi tidak semua manusia sadar akan semua kebermakanaanya. Bagi kita yang hidup di jaman modern, kebermaknaan merupakan kesesuaian dengan program pikiran yang setiap hari bercokol di otak kita. Perwujudannya menghadapkan diri dengan paradoks merupakan makanan sehari-hari manusia modern.

Ketika manusia membutuhkan hidup yang bermakna itu bukan kebutuhannya melainkan itulah keinginannya. Tetapi pada saat dia "manusia" menginginkan kebermaknaanya, apakah dia mengerti akar dari makana itu? Makna terkadang juga diartikan dengan sebuah cita-cita, keinginan, kepuasan diri bahkan bahagia yang tidak pernah usai.

Dengan pandangan-pandangan seperti itu memungkinkan kita setiap hari menganalisa suatu cara, bagaimana keinginan akan bermakna itu tercapai? Kita sangat mengetahui bahwa menggapai keinginan sangatlah sulit, apalagi keinginan kita dikaitkan dengan modal yang sama sekali kita tidak punya. Perjalananan mencari keinginan makna sendiri memungkinkan dua hal yaitu tercapai dan tidak pernah tercapai.

Jika keinginan kebermakaan yang kita inginkan tercapai, kita mungkin merasa kita adalah manusia yang paling bermakna. Tetapi bagaimana jika keinginan itu tidak tercapai? Hal yang paling memungkinkan adalah kita menyalahkan segala sesuatu yang ada dan apa yang kita punya dalam diri kita sendiri.

Menurut hemat saya hidup bermakna bukanlah kebutuhan dan keinginan. Bermakna adalah menyadari setiap tanggung jawab yang ada, terkait dengan diri manusia itu sendiri. Terkadang manusia mau tidak mau harus berjuang dalam kehidupanya dengan cara mempertahankan eksistensi dirinya. Bukankah itu makna sebelum kita dilahrikan? Ketika kebermaknaan hidup serasa membuat ambigu, kesadaran akan suatu makna haruslah tersadarkan. Kita semua merupakan makna, makna dari semua makna yang ada.

Dahulu itu saya melihat puncak tinggi dengan kemeralap lampu yang begitu menyala. Saya dengan gagah berani melawankan diri pada setiap rintangan yang ada. Keterasingan dalam mencoba tidak punya banyak keterpengaruhan. Pengaruh rasa pada sesuatu yang terlihat sublime membuat semangat lambat laun menyala bagai api yang tak terkira panasnya. Ketika itu, saya memulai langkah untuk mendaki, setapak demi setapak asalkan sejengkal merangkak maju.

Perjalanan saya seperti mendaki sebuah Gunung Pangrango yang tingginya mencapai 3019 meter diatas permukaan laut. Melewati jurang yang terjal, bukit menipu, dan air belerang yang panasnya tidak terkira. Setengah perjalanan pertanda harapan mulai ada, mungkin puncak itu sebentar lagi akan saya injak. Semakin tinggi saya daki, semakin ekstrim jalan yang ditempuh.

Dinginnya udara membuat saya merasa mungkin atau tidak puncak itu akan tercapai. Saya memberi kesan perjalanan ini tidaklah mudah, tetapi kesenangan pada hal yang baru membayarnya. Bagaikan embun siang yang menetes dari dekatnya awan, saya lagi-lagi terbuai dengan harapan.

Saya tempuh tanpa memperdulikan rasa lelah yang ada, karena harapan baru menunggu disana. Imajinasi seakan-akan hanya berdiam di kepala, dia berputar tanpa arah bahkan tidak terkendali. Saya pandang langit jaraknya sudah begitu dekat namun yang mendekat bukanlah puncak itu, yang mendekat hanya harapan palsu berbentuk awan kelabu. Walapun hanya awan, sangat cukup membuat semangat di sore hari ini. Waktu berlalu, saya melihat struktur tanah yang mulai mengerucut.

Akhirnya saya selangkah lagi mencapainya, mata saya melihatnya. Dengan sadar saya berucap pemandangan ini tidak seperti apa yang saya lihat dari bawah. Pesonanya seakan hilang saat saya melihat kenyataan dari sejengkal jarak. Saya tidak pernah kecewa meskipun harapan indah memudar. Perjalanan melewati segala hal membayar rasa kecewa yang hinggap di dada manusia. Meskipun harapan terkadang menipu, ada saja hal yang member tahu dimana ketertipuan itu.

Sesampainya langkah yang kurang tadi, saya benar-benar sadar bahwa menapaki harapan memang melelahkan. Mengejar harapan-harapan menjadikan penipuan semakin tampak. Lelah di bayar, kecewa yang terlunasi dan kenyataan yang tampak membuat pengalaman baru. Saya-pun tersadar bahwa mengejar harapan itu ibarat perjalanan yang tidak pernah sampai.

Saya seperti orang dungu yang ditipu oleh orang - orang untuk mengejar yang tidak pernah terkejar. Rasa lelah bersama beban yang berat pada saat menjalaninya, pertanda pencerahan muncul seperti matahari dari timur sana. Melalui mata menuju pikiran dan tercerna oleh rasa, tetapi tidak tahu itu keinginan atau tujuan kemurnian. Sepertinya semua dilahirkan untuk memanipulasi.

Dengan sedikit kreasi tindakan manipulitif bisa dibuat bagaimana tidak semestinya, seakan tindakan manipulatif itu dibenarkan untuk alasan tertentu. Bayang-bayang hidup di surga diajarkan sedari kecil, bagi mereka dunia ini hunian sementara dan patut dilombakan untuk bagaimana kehidupan dunia baik setelah kehidupan di akherat juga baik. Setiap hari mereka bersaing, merka menciptakan uang, barang, sarana produksi dan pasar untuk beribadah.

Tidak hanya itu, mereka juga menciptakan kesenangannya sendiri, membuat ketidakadilan dan kesengsaraan yang berlanjut. Terkadang jika dirasa-rasa dunia adalah surga atau neraka dan neraka bisa menjadi surga, surga bisa menjadi neraka. Surga dunia adalah kesejahteraan itu, dibuktikan dengan setiap orang yang hidup selalu mencarinya. Tetapi kecenderungan kesejahteraan berpotensi membagi kesengsaraan pada yang lain, karna apa? Jika mempunyai barang untuk dijual dengan tujuan mencari keuntungan, dia akan melebihkan nilai barang itu, kemudian sang pembeli harus menambahkan nilai untuk membeli barang itu.

Inilah bentuk keuntungan dan kerugian dimana penjual berpotensi sejahtera dan pembeli berpotensi sengsara. Dunia itu satu mata dua rasa, antara sejahtera dan sengsara. Entah dimana Maha adil itu jika dia perkasa, dia pasti sudah merubah sedari dulu menciptakan keadilan. Apa memang Maha adil ini seorang yang manipulatif?

Dia menjanjikan hidup enak dengan cara yang keji, memanfaatkan orang lain, bersikap serakah dan mencari-cari nilai lebih untuk dirinya sendiri. Diciptakan untuk saling memanipulasi, katanya pembawa keadilan itu yang gaib, tetapi itu hanyalah pengandaiyan untuk bagaimana mau menerima kesengsaraan. Yang adil itu tidak ada di langit ketujuh, kalaupun ada, dia tidak akan mungkin bisa turun. Pembawa keadilan di dunia ini adalah mereka, diri-diri setiap yang hidup.

Mengantuk untuk tidur, lapar untuk makan merupakan kata perumpamaan dalam menjalani kehidupan. Saya sebut ini sebagai bagian kebijaksanaan yang diciptakan oleh diri sendiri. Banyak dari kita bahkan saya tidak menyadarinya, seperti apa bentuk kebijaksanaan diri itu.

Menjalani di masa-masa penuh ketidakpastian ini seperti terbuai oleh rasio. Semua ingin di dapat dan ingin dicapai. Pertempuran rasio dan batin semakin memuncak takala pembuaian terhadap sesuatu yang menjadi indoktrinasi. Depresi dan pesimisme mengakar saat manusia tidak hidup pada saat ini.

Ketertarikan kepada masa depan membuatnya lari dari saat ini. Serangkaian kejadian di angan bukanlah sesuatu yang pasti. Permainan-permainan diri diciptakan tetapi yang kalah dan menang tetap diri sendiri. Keterasingan ini semakin jauh dari fakta, semua seperti dalam tempurung terpaku dengan perhiasan. Semakin dia memikirkan semakin dia terbuai dengan ketidaknyataannya.

Memvisualisasikan diri terhadap sesuatu sama halnya menarik diri pada kesemuan nyata. Besarnya ombak mampu memecahkan karang, maka jadilah untuk tahan. Diri yang tahan tidak mudah terombang-ambing angin layaknya air di tengah Pantai. Bukan tidak berani melangkah, tetapi resiko semakin tampak menganga bagaikan Singa di dalam kegelapan yang lapar. Mungkin menegaskan diri pada takdir yang sudah diciptakan oleh diri sendiri adalah suatu jalan kebijaksanaan diri. Rasanya jika ingin jujur dunia ini seperti bentukan rasio belaka yang berubah-ubah, tidak ingin hidup setelah mati ada penghakiman lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun