Mohon tunggu...
Komar Udin
Komar Udin Mohon Tunggu... Lainnya - Wiraswasta

Membaca, sederhana , politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasang Surut Hubungan PKB dan NU

15 November 2023   12:07 Diperbarui: 15 November 2023   12:19 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 NU punya traumatik masa lalu. Didua orde pemerintahan sebelumnya baik saat presiden Seokarno maupun Saat presiden Soeharto,saat bersama kedua partai politik  yang disebutkan diatas NU mengalami kekecewaan politik yg luar biasa, sementara reformasi menuntut NU utk aktif  kembali kekancah politik,membentuk partai utk mewadahi aspirasi politik warganya.

Jumlah warga NU yang tidak sedikit memerlukan tempat bernaung. Suara mereka harus diakomodir dalam satu parpol sehingga tidak berserakan kemana-mana. Ketimbang orang lain yg menampung dan memanfaatkan suara mereka, alangkah lebih baiknya kalau PBNU membuat partai politik utk mewadahi aspirasi politik nahdiyin, itulah yg akhirnya terbentuk PKB.

TIDAK KEMANA-MANA ADA DIMANA-MANA

Istilah yg sangat populer dikalangan NU. Tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana. Istilah ini berlaku sejak NU kembali kekhittah 26 pada tahun 1984. Sejujurnya penulis mungkin gagal Memahami maksud kalimat ini. Tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana. Yang penulis pahami kalau tidak kemana-mana,maka dia ada disatu tempat tertentu. Kalau ada ditempat tertentu,maka dia tidak ada ditempat yang lainnya lagi. Menjadi rancu dan membingungkan kalau nyatanya malah ada ditempat lainnya atau ada dimana-mana.

Bisa jadi ada ditempat lain tapi pada waktu yang berbeda atau tidak bersamaan. Tapi hal itu justru menunjukan inkonsistensi sikap. Kalaulah memang tidak kemana-mana,maka mestinya tidak ada ditempat lainnya walau dalam waktu yg berbeda.

Faktanya memang kita bisa buktikan. Keterlibatan ulama NU pada kontek politik praktis tetap saja selalu ada dan menyebar kebanyak partai, atau paslon. Itu artinya mereka kemana-mana dan ada dimana-mana. Bedanya mereka tidak lagi menggunakan kendaraan NU. Mereka tetap membuka "lapak politik" demi melibatkan diri pada setiap momen pemilu, termasuk pilpres. Mereka melebur pada organ2 baru yg mereka bentuk agar bisa melibatkan diri  pada setiap momentum atau hajatan politik


Karenanya kita sering mendengar deklarasi atas nama kelompok tertentu, atas nama  kiyai atau ulama, kumpulan dai ,ustad/ustazah  atau komunitas majlis taklim, atau yang sejenisnya utk mendukung Calon atau paslon tertentu, yang dibuat secara sporadis  dan hilang tanpa bekas setelah momentum politik usai,karena organ yg dibuat memang hanya utk bisa melibatkan diri pada momentum politik tertentu saja.
Itu artinya hasrat politik "kaum  Sarungan" tidak pernah mati oleh hambatan  apapun,termasuk keputusan kembali kekhittah 1926 sekalipun.

Begitu pula warga Nahdiyin yg ada pada lapisan bawah. Mereka menjadi sasaran empuk para politikus yang haus kekuasaan. Suara mereka diburu karena terbilang mudah dan murah. Suara warga NU menjadi incaran parpol atau caleg ataupun paslon pilpres, menjadi "pasar gelap politik" , yang bisa mereka tukar dengan imbalan sejumlah uang yang tdk seberapa,setelahnya  nasib mereka sama seperti sekelompok elit NU yang sudah diuraikan diatas Kembali seperti semula tanpa ada perubahan sama sekali.

Jelas kalau cara seperti ini sebenarnya lebih banyak merugikan warga NU,karena tidak ada pihak yang bersedia memberi garansi dari sekian banyak suara yang disumbangkan kepartai, caleg atau paslon tertentu.Maka usai pemilu, usai juga hubungan antara pemberi suara dengan penerima suara. Berlaku istilah jual-belu putus. Transaksi politik antara kedua belah pihak sudah selesai.Tidak ada lagi  relasi yang tersambung antara kedua belah pihak ,karena sejumlah suara sudah diganti dengan sejumlah materi, umumnya dalam bentuk uang. Nasib NUpun kembali merana, tidak lagi dilirik oleh mereka yang sudah  menduduki kursi kekuasaan.. Begitu seterusnya dari pemilu satu kepemilu berikutnya.

 Begitu banyak "tempat basah" yang seharusnya bisa dimasuki  Warga NU, tapi selalu diisi orang lain. Sementara kebijakan yang dibuat oleh mereka yang menjadi pembuat  kebijakan atas wasilah warga NU, seringkali merugikan warga NU itu sendiri. Melonjaknya harga sembako , naiknya harga pupuk utk petani, naiknya Bbm, atau sulitnya memperoleh rumah tinggal adalah sebagian  contoh yang langsung dirasakan oleh warga NU.

Ini adalah konsekuensi karena NU tdk punya partai politik sendiri. Warganya bebas berkeliaran kemana-mana. Masing berimprovisasi sebebas-bebasnya, dengan caranya masing, yg penting terlihat dan dihitung oleh politisi agar dapat "kue politik" lima tahunan , yang nilainya tidak sepadan  dan habis dalam sesaat tapi penderitaannya berlangsung lima tahun lamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun