Mohon tunggu...
Drs. Komar M.Hum.
Drs. Komar M.Hum. Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Al-Izhar dan Fasilitator Yayasan Cahaya Guru

Berbagi dan Menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ngopi Dua: Mewaspadai Kekerasan yang Menyelimuti Kita

14 September 2019   23:27 Diperbarui: 14 September 2019   23:45 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://theblazingcenter.com

Melanjutkan NGOPI SATU (Ngobrol Pendidikan Santai dan Bermutu) yang membahas bagaimana meningkatkan kualitas pembelajaran, kali ini dirangkai dengan NGOPI DUA (Ngobrol Pendidikan ke-Dua) yang  membahas tema kekerasan yang sangat memprihatinkan dalam realitas masyarakat, termasuk di dunia pendidikan yang seharusnya mengusung nilai-nilai welas asih, empati, peduli, dan saling menghargai yang menjadi esensi kemanusiaan kita.  

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini sama seperti pada NGOPI sebelumnya yaitu Lia, Ila, dan Ali, guru-guru yang sangat peduli pada masa depan bangsanya.

Setelah mencatat dan melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang terlambat datang ke sekolah, ketiga guru yang sedang bertugas sebagai piket tersebut terlibat obrolan serius tapi santai, yang menyelusuri akar kekerasan hingga berupaya mengidentifikasi berbagai langkah yang bisa dilakukan agar tidak terulang di lembaga pendidikan tempat mereka berkiprah.

Ali      :    Saya tidak habis pikir, mengapa kekerasan sering terjadi di dunia pendidikan, dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi? Termasuk di sekolah kita pada kasus terakhir ini. Apa yang menjadi akar penyebabnya? Kurangnya penegakan aturan, pola asuh di rumah, pengaruh tayangan film, atmosfir pergaulan, budaya masyarakat, atau ada hal lain yang lebih substansial yang luput dari perhatian kita?

Ila      :    Wuaduh. Pagi-pagi sudah membuka obrolan yang membuat pening kepala. Mendingan kita sarapan dulu. Nih saya bawa roti bakar madu.

Lia     :    Nah ini baru sarapan sehat. Bebas minyak, tinggi serat, kaya nutrisi. Bahan bakar premium untuk mengupas tema mengerikan ini.

Ila      :    Menurut saya sih, penyebab kekerasan (dalam berbagai dimensinya) adalah rendahnya kesadaran dan kematangan pelaku. Seiring dengan pertambahan usia, maka akan semakin tinggi kesadaran dan kematangan mereka.

Lia     :    Supaya mendapat sudut pandang yang lebih utuh, saya akan memulai dengan pertanyaan, bagaimana pendapat kalian berdua terhadap kekerasan di dunia pendidikan tinggi yang menimbulkan korban jiwa? Misalnya di STPDN beberapa waktu yang lalu?

Ali      :    Mengerikan.

Ila      :    Biadab dan ironis.

Lia     :    Namun jika saya tanya, bagaimana pandangan kalian jika menyaksikan film yang pada akhir cerita, si jagoan yang diidolakan berhasil mengalahkan dan bahkan membunuh seterunya?

Ila      :    Mengagumkan.

Ali      :    Hebat.

Lia     :    Pertanyaan berikutnya, bagaimana perasaan kalian jika menyaksikan kurban manusia (zaman dahulu) atau hewan (zaman sekarang) yang sedang disembelih, mengelepar-gelepar, dari lehernya tersembur darah segar, dari mulutnya keluar suara mengerang merasakan sakit tak tertahankan, dan meregang nyawa?

penyembelihan-hewan-kurban-5d7d14030d82301ccb01add2.jpg
penyembelihan-hewan-kurban-5d7d14030d82301ccb01add2.jpg
Ali      :    Terharu.

Ila      :    Merasa semakin dekat dengan Allah.

Lia     :    Pertanyaan pamungkas, mengapa tanggapan dan perasaan kalian berbeda-beda terhadap fenomena yang secara substansial sama, yaitu KEKERASAN? Bukankah ketiganya menyajikan tontonan yang sama, yaitu penderitaan, cucuran darah, dan tersingkirnya pihak lain? Tetapi mengapa kita bersikap ambigu dengan memberikan respon yang berbeda untuk fenomena sejenis? Pertanyaan inilah yang akan kita jadikan sebagai pintu masuk dalam membedah struktur dasar dan menyingkap sisi gelap karakter manusia yang gandrung terhadap kekerasan.

Ila      :    Sepertinya perlu direkam obrolan kita kali ini. Supaya bisa didengar ulang di ruang guru. Ha...ha...

Ali      :    Iya, setuju. Jangan hanya kita saja yang mendapat momentum berharga ini.

Lia     :    Boleh juga. Tapi nanti juga akan saya terbitkan bukunya. He... he....

Ila      :    Amin.

Lia     :    Tindakan kekerasan yang berujung pada kematian tragis beberapa praja di STPDN, sebagai contoh kasus, berakar pada tertanamnya rasa superioritas dari senior terhadap yunior. Senior menganggap dirinya hadir lebih dulu di kampus tersebut, sehingga merasa memiliki hak istimewa untuk melakukan "pembinaan" yang diwujudkan dalam bentuk teror fisik dan mental terhadap yuniornya, yang dianggap sebagai "pesaing".

Ali      :    Mengapa senior menganggap yunior sebagai pesaing?

Lia     :    Karena para pendatang baru tersebut mempersempit ruang gerak para penghuni lama, sehingga suka atau tidak suka, mereka harus berbagi segenap sumber daya yang ada di kampus tersebut.

Ila      :    Dalam skala yang berbeda, mungkin mirip kondisi di sebuah keluarga ya? Saat jumlah anggota keluarga bertambah karena lahirnya bayi baru, maka sang kakak (senior) akan merasa tersaingi oleh sang adik karena harus berbagi segalanya dengan adiknya.

Lia     :    Kurang lebihnya begitu. Dalam kasus STPDN, karena perasaan takut tersaingi yang begitu mengakar dalam pikiran bawah sadar sang senior yang tidak mampu dikendalikannya, maka lahirlah kekerasan yang dibungkus dengan diksi "pembinaan" terhadap yunior.

Ali      :    Bukankah fenomena tersebut terjadi pada masyarakat kita secara umum dalam berbagai variasinya, mulai dari lingkungan tempat tinggal kita, lembaga birokrasi, hingga kekerasan dalam skala global, berwujud konflik bersenjata?

Lia     :    Betul. Justru inilah yang sangat mengerikan dan harus kita waspadai. Disadari atau atau tidak, diakui atau tidak, kekerasan telah menyelimuti dan membayang-bayangi kita, walaupun kita  tidak merasakan bayang-bayang itu. Kekerasan mengancam manusia, tetapi manusia hidup seakan tanpa ancaman. Kekerasan hadir setiap saat, seperti udara yang ada di mana-mana. Manusia menghirupnya tanpa merasa, bahwa hawa kekerasan masuk sebagai nafas yang menghidupinnya.

Ila      :    Kok bisa?

Lia     :    Selain itu, kekerasan juga mudah menular, berjangkit, bagaikan wabah penyakit. Jika seorang mengalami tindak kekerasan, ia akan mencari sasaran lain untuk melampiaskan dendam akibat kekerasan yang dideritanya. Demikianlah, dalam sekejap, orang banyak bisa ketularan kekerasan, saling meneror, menyiksa, dan membunuh, tanpa ada habisnya. Dalam sekejap pula, kekerasan dapat membalikan kesan tentang kehalusan budi dan kebaikan manusia. Manusia yang halus dan ramah, juga wanita yang terlihat lembut, cantik, rapi, dan sopan, tiba-tiba bisa geram dan lepas kendali begitu virus kekerasan merasuki dirinya. Mereka yang sehari-hari terlihat alim dan saleh, tiba-tiba rela terbercik darah, ketika terbakar oleh api kekerasan. Kekerasan menegaskan bahwa batas antara kelembutan dan nafsu yang ganas dan kasar itu, ternyata tipis sekali. Sedikit saja disusupi oleh kekerasan, manusia yang nampak lembut dan halus, bisa langsung tergelincir ke dalam kekerasan dan kebrutalan.

Ali      :    Saya bisa paham sekarang, mengapa tidak ada tempat atau wadah yang dikecualikan dari kekerasan, dan tidak ada institusi yang tidak disusupi oleh kekerasan. Negara, institusi militer, lembaga pendidikan, birokrasi, parlemen, dunia bisnis, keluarga, dan bahkan agama serta teks-teks kitab suci banyak menampilkan kisah-kisah konflik dan kekerasan.

Ila      :    Ah, sok tau kamu. Mana mungkin agama dan teks suci menampilkan kekerasan. Bukankah keduanya merupakan fondasi moral manusia?

Lia     :    Memang begitulah realitasnya, walaupun kita berharap sebaliknya. Akar konflik dan kekerasan dapat ditelusuri pada beberapa kitab suci. Misalnya kisah simbolik dalam Quran surat al-Baqarah ayat 34 hingga 36, ketika Iblis (sebagai senior) terlibat konflik dengan Adam (sebagai yunior), yang didasari oleh perasaan superioritas dan kecemburuan Iblis terhadap Adam, dan berakibat pada pengusiran Adam dari surga. Kisah selanjutnya adalah konflik antara Qabil (sang kakak) yang membunuh Habil (adiknya), yang juga dilandasi oleh perasaan lebih unggul dan rasa iri sang kakak terhadap adiknya. Berikutnya dalam Kitab Perjanjian Lama juga dikisahkan, karena Ibrahim dijanjikan Tuhan wilayah Kanaan sebagai tempat kudus bagi dia dan keturunannya, maka implikasinya adalah Ibrahim harus terlibat konflik dengan suku-suku penghuni awal, yang berujung pada pengusiran dan pembunuhan penduduk setempat. Begitu juga dengan Musa yang memukul dan membunuh seorang Mesir. Sepeninggalan Musa, Yosua, memimpin perjalanan Bangsa Yahudi ke tanah yang dijanjikan dan melakukan ekspedisi militer yang sangat brutal, di mana setiap kali sebuah kota ditaklukan, maka kota itu diberi status "terlarang", yang berarti penghancuran total serta pemusnahan penduduknya.

              Itulah sekelumit contoh, betapa kekerasan dan konflik sudah menjadi bagian inheren umat manusia dalam rentang sejarah yang sangat panjang, hingga detik ini. Bahkan begitu penciptaan manusia dikemukakan oleh Tuhan, maka terlahirlah bibit konflik dan kekerasan primordial antara manusia dengan Iblis, yang kemudian termanifestasikan dalam panggung sejarah. Inilah sisi gelap karakter dasar manusia yang selama ini sering luput dari perhatian kita.

ilustrasi-pembunuhan-habil-oleh-qabil-5d7d1442097f362633328893.jpg
ilustrasi-pembunuhan-habil-oleh-qabil-5d7d1442097f362633328893.jpg
Ila      :    Merinding saya mendengarnya.

Ali      :    Yang tak kalah mengerikannya adalah ternyata Sapiens leluhur kitalah yang menyebabkan kepuhanan jenis manusia lainnya. Mereka melakukan genosida saat berdiaspora ke berbagai pelosok bumi.

Ila      :    Wuah, gaya kali kau! Dari mana informasi itu kau dapat?

Ali      :    Makanya Iqra dong. Coba baca buku Sapiens karya Yuval Harari, halaman 19 paragraf ketiga, pojok kanan bawah.

sapiens-yuval-harari-5d7d14300d82302eeb0d3f12.jpg
sapiens-yuval-harari-5d7d14300d82302eeb0d3f12.jpg
Lia     :    Ha.... ha.... ha.... Gayamu mirip ustad Adi Hidayat, saat mengutip hadist hingga menyebutkan posisi halaman dan paragraf kalimat yang dikutip.

Ila      :    Hebat. Kemajuannya kuantum.

Ali      :    Pertanyaan paling penting, jika realitasnya seperti itu, apa yang bisa kita lakukan agar kondisi menjadi lebih baik? Paling tidak agar potensi kekerasan di sekolah ini bisa dicegah dan diselesaikan dengan tepat.

Ila      :    Ini merupakan tanggungjawab mulia kita sebagai guru. Tentu saja penanganannya harus sistematis dan melibatkan semua pihak, termasuk orang tua dan masyarakat.

Lia     :    Betul sekali. Langkah pertama, kita harus mampu melakukan diagnosis, siapa pelaku, korban, tindakan yang dilakukan, penyebab, waktu, tempat, dampaknya, dan kemungkinan jika ada saksi yang melihat, bagaimana sikap mereka saat kejadian itu berlangsung. Pemetaan tersebut akan memudahkan kita membuat alur penanganan masalah.

Ila      :    Mungkin bisa dibuat semacam matriks analisis variabel masalah?

Lia     :    Betul.

Ali      :    Bagaimana jika hal ini kita lakukan bersama saat rapat guru, supaya semua pihak terlibat?

Ila      :    Setuju. Nanti saya yang akan mengusulkannya pada kepala sekolah. Jika perlu mungkin pembahasannya di luar kota sambil liburan akhir pekan supaya lebih fokus dan waktunya leluasa.

Lia     :    Ide cemerlang. Sekarang memang kita harus menyudahi obrolan ini karena jadwal piket kita berakhir.

Bell pun dibunyikan dan mereka berpisah melanjutkan tugas masing-masing.  

lonceng-sekolah-5d7d15b1097f364f6c6aa242.jpg
lonceng-sekolah-5d7d15b1097f364f6c6aa242.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun