Ila    :   Mengagumkan.
Ali    :   Hebat.
Lia   :   Pertanyaan berikutnya, bagaimana perasaan kalian jika menyaksikan kurban manusia (zaman dahulu) atau hewan (zaman sekarang) yang sedang disembelih, mengelepar-gelepar, dari lehernya tersembur darah segar, dari mulutnya keluar suara mengerang merasakan sakit tak tertahankan, dan meregang nyawa?
Ila    :   Merasa semakin dekat dengan Allah.
Lia   :   Pertanyaan pamungkas, mengapa tanggapan dan perasaan kalian berbeda-beda terhadap fenomena yang secara substansial sama, yaitu KEKERASAN? Bukankah ketiganya menyajikan tontonan yang sama, yaitu penderitaan, cucuran darah, dan tersingkirnya pihak lain? Tetapi mengapa kita bersikap ambigu dengan memberikan respon yang berbeda untuk fenomena sejenis? Pertanyaan inilah yang akan kita jadikan sebagai pintu masuk dalam membedah struktur dasar dan menyingkap sisi gelap karakter manusia yang gandrung terhadap kekerasan.
Ila    :   Sepertinya perlu direkam obrolan kita kali ini. Supaya bisa didengar ulang di ruang guru. Ha...ha...
Ali    :   Iya, setuju. Jangan hanya kita saja yang mendapat momentum berharga ini.
Lia   :   Boleh juga. Tapi nanti juga akan saya terbitkan bukunya. He... he....
Ila    :   Amin.
Lia   :   Tindakan kekerasan yang berujung pada kematian tragis beberapa praja di STPDN, sebagai contoh kasus, berakar pada tertanamnya rasa superioritas dari senior terhadap yunior. Senior menganggap dirinya hadir lebih dulu di kampus tersebut, sehingga merasa memiliki hak istimewa untuk melakukan "pembinaan" yang diwujudkan dalam bentuk teror fisik dan mental terhadap yuniornya, yang dianggap sebagai "pesaing".