Rasanya ingin tertawa membaca istilah work-life balance, yang maknanya kira-kira semacam keseimbangan antara pekerjaan dan  kehidupan sosial sehari-hari. Bagaimana tidak ingin tersenyum sendiri. Istilah ini sebenernya kemasan baru bagi istilah profesionalisme dan produktivitas.Â
Menjadi trend, perbincangan warga net dan milenial, mungkin karena istilahnya panjang dan tidak simpel atau sederhana. Sedikit rumit. Biar sedikit keren dan menaikkan citra diri saat ada yang mendengar atau membaca tulisannya. Walau yang dibicarakan, ujung-ujungnya tidak lepas dari kenyamanan kerja, upah, tanggungjawab, profesionalisme dan produktivitas kerja.Â
Pembicaraaan seputar keseimbangan hak dan tanggungjawab. Sikap profesional yang dapat menempatkan diri kapan waktunya bekerja dan kapan waktunya istirahat. Berlibur dan bercekerama dengan keluarga. Bagi yang single, dapat menikmati liburannya dengan gembira dan berkualitas.
Semua itu tujuannya, manakala pekerja, karyawan, buruh atau pegawai saat kembali bekerja. Memiliki semangat baru, merasa fresh, segar, lepas dari rasa kebosanan akibat rutinitas yang harus dilalui setiap hari.Â

Memiliki gagasan atau ide cemerlang lewat produk inovatif, yang mampu bersaing di pasaran. Menemukan cara pemasaran yang efektif dan efisien. Perusahaan dapat hemat pengeluaran namun malah banyak mendatangkan keuntungan atau pendapatan.
Work-life balance tidak lebih bagaimana mengatur kenyamanan bekerja dengan aktivitas di luar pekerjaan  Seperti rekreasi, edukasi dan bersosialisasi. Tetapi tujuannya pada produktivitas.

Itu sama artinya anda dan pengusaha belum memahami isi dari UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lebih mengkhawatirkan lagi jika anda belum pernah membacanya sama sekali. Celakanya, survei kecil-kecilan yang pernah saya lakukan  kepada pekerja kantoran, kebanyakan dari mereka belum pernah membaca. Bagaimana mereka bisa memahami jika sebenarnya antara pemberi kerja atau perusahaan dan pekerja adalah pihak saling membutuhkan. Ada keseimbangan lewat kebutuhan yang sama dan setara.
Maka tidak heran jika sebagian pekerja memaknai perusahaan berada posisi di atas. Merasa memiliki kuasa untuk mengatur bahkan menekan pekerja dengan berbagai kebijakan dan peraturan yang dibuat sesuai dengan keinginan yang menguntungkan perusahaan. Termasuk melanggar UU Ketenagakerjaan dan peraturan pemerintah lainnya tingkat pusat atau daerah.
