Pernahkah Anda berhenti sejenak dan mengamati perubahan di sekitar kita? Bukan hanya pembangunan fisik, melainkan pergeseran yang lebih halus namun mendalam: perubahan sosial. Dari cara kita berinteraksi hingga prioritas hidup, lingkungan sosial kita di Surabaya dan sekitarnya terus bergerak, menuntut kita untuk beradaptasi, atau berisiko tertinggal.
Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah dinamika keluarga dan komunitas. Dulu, keluarga besar adalah norma, dengan ikatan yang sangat kuat antaranggota dan tetangga. Kini, dengan semakin banyaknya individu yang merantau untuk pekerjaan atau pendidikan, serta mobilitas yang tinggi, struktur keluarga menjadi lebih kecil dan tersebar. Interaksi tatap muka dengan tetangga juga mungkin berkurang, tergantikan oleh komunitas-komunitas daring atau kelompok minat yang lebih spesifik. Ini bukan berarti ikatan sosial melemah sepenuhnya, melainkan berevolusi ke bentuk yang berbeda.
Kemudian, ada pula pergeseran dalam pola konsumsi dan gaya hidup. Lihat saja menjamurnya kafe-kafe modern, restoran dengan konsep unik, atau pusat perbelanjaan yang selalu ramai. Generasi muda khususnya, semakin mengadopsi gaya hidup yang lebih urban dan global, didorong oleh akses informasi yang tak terbatas. Hal ini menciptakan peluang ekonomi baru, namun juga dapat memicu masalah seperti konsumerisme berlebihan atau hilangnya kearifan lokal dalam kuliner dan kerajinan.
Selain itu, isu-isu keberlanjutan dan lingkungan kini menjadi lebih menonjol dalam diskusi publik. Di Surabaya, kita semakin sering mendengar kampanye pengurangan sampah plastik, inisiatif penghijauan kota, atau kesadaran akan pentingnya transportasi publik. Ini menunjukkan peningkatan kesadaran kolektif terhadap dampak aktivitas manusia pada planet ini, mendorong perubahan perilaku dari individu hingga kebijakan pemerintah daerah.
Namun, tidak semua orang merespons perubahan ini dengan cara yang sama. Bagi sebagian, terutama mereka yang tumbuh besar dengan nilai-nilai dan kebiasaan lama, perubahan bisa terasa mengancam atau membingungkan. Ada kerinduan akan masa lalu yang mungkin dianggap lebih sederhana atau stabil. Kesenjangan ini terkadang menciptakan miskomunikasi atau bahkan konflik antar generasi atau kelompok masyarakat.
Menyikapi perubahan sosial ini, sikap proaktif adalah kunci. Pertama, bukalah diri terhadap hal-hal baru. Cobalah memahami perspektif yang berbeda dan jangan cepat menghakimi. Kedua, libatkan diri dalam dialog konstruktif. Berbicara dengan tetangga, teman, atau anggota keluarga dari berbagai latar belakang dapat membantu menjembatani perbedaan dan menemukan titik temu. Ketiga, identifikasi aspek positif dari perubahan. Setiap perubahan, sekecil apa pun, pasti memiliki potensi manfaat yang bisa kita manfaatkan untuk kemajuan bersama.
Perubahan sosial adalah cerminan dari evolusi masyarakat kita. Ia adalah kekuatan yang tak terhindarkan, yang membentuk ulang tatanan sosial, ekonomi, dan budaya kita. Dengan kesadaran, empati, dan kemauan untuk beradaptasi, kita bisa memastikan bahwa pergeseran ini membawa kita menuju lingkungan yang lebih dinamis, inklusif, dan relevan dengan tantangan masa depan. Apakah kita siap beradaptasi, atau memilih untuk tertinggal? Pilihan ada di tangan kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI