Mohon tunggu...
K. Fatmawati
K. Fatmawati Mohon Tunggu... Desainer - Penjelajah

Desainer grafis yang berfokus pada keseimbangan lingkungan, pendidikan, tatanan sosial budaya, ilmu pengetahuan dan percepatan digital.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Olahraga, Regenerasi, dan Mindset

5 April 2016   18:31 Diperbarui: 6 April 2016   09:11 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Sabtu (2/4) saya lewatkan banyak waktu di Lapangan Puputan. Pukul 06.30 WITA suasana masih sepi kondusif untuk berolahraga. Mungkin karena ini hari Sabtu, dan masih banyak anak yang bergegas pergi ke sekolah, ketimbang ke lapangan di pusat Kota Denpasar ini.

Saya sendiri sebetulnya sudah menyiapkan tulisan ini sejak hari Sabtu sore. Tapi bagaimana lagi kalau baru hari ini, laptop baru kembali mendapat asupan wifi. Padahal ini pasti akan lebih terasa “weekend” saat dibaca di waktu “weekend”. Karena kita akan ngobrol sedikit tentang olahraga.

[caption caption="Langit di atas Kota Denpasar (sumber : dokumentasi pribadi)"][/caption]Jadi waktu masih pemanasan (menjelang lari), saya jumpa dengan guru saya di kelas taekwondo, Intan, namanya. Kami chit-chat kurang lebih 1 jam, sambil berusaha mengenal satu sama lain. Maklum, saya baru bergabung di kelas ini selama 2 kali pertemuan, diajak oleh mentor saya. Tujuannya sederhana sih, agar tetap sehat dan rileks, setelah bekerja seharian. Jadi bukan agar saya punya jurus-jurus apa gitu.

Walaupun sejak kecil saya akrab dengan dunia olahraga (bulutangkis, basket, voli, sampai lompat jauh), ternyata taekwondo yang masuk dalam ranah martial arts ini cukup menantang. Tidak hanya dituntut untuk sehat secara fisik, namun juga psikis. Mungkin salah saya juga, semenjak kuliah sudah tidak lagi rutin olahraga. Hehe

Karena saya penasaran dengan cabang olahraga (cabor) ini, saya kemudian banyak bertanya tentang athlete-life (dunia atlit) ke guru taekwondo saya. Intan sudah beberapa kali ikut kompetisi taekwondo, mulai dari di tingkat domestik, hingga Internasional. Jadi asam, manis, dan pahit-nya dunia taekwondo, Intan sudah paham betul. Mari kita mulai.

PERPECAHAN

Sebetulnya tidak hanya sepakbola yang tengah bergelut dengan konflik. Induk olahraga taekwondo di Indonesia-pun juga sedang dalam tantangan yang sama. Cabang olahraga yang lain­-pun juga tidak luput dari masalah ini. Kalau pakar komunikasi bilang, “Ya inilah yang disebut dengan dinamika organisasi”. Klise dan ngeselin.

Padahal pernyataan ini sudah semestinya tidak berhenti di tanda titik, atau ditutup dengan tawa. Kesannya, ini malah tampak normal. Padahal harus dilanjutkan dengan, “… jadi kita perlu punya strategi yang efektif, efisien, dan long-lasting agar kembali tercipta stabilitas di dalam organisasi,” Nah!

PSSI yang konfliknya sering diangkat di layar kaca saja, sampai sekarang juga masih saling gebuk. Apalagi cabang olahraga lain yang tidak dapat “perhatian” dari media massa?

Kami sepakat, kalau baik-buruknya prestasi dan kualitas olahraga di negara mana saja, akan sangat dipengaruhi oleh stabilitas induk cabang olahraga masing-masing. Karena induk olahraga ini fungsinya tidak hanya sebagai wadah, tapi juga pusat pendidikan. Begitu pusat pendidikan dan pelatihan atlit ini tidak dalam kondisi prima, maka fasilitas olahraga, kualitas pelatih, kaderisasi, regenerasi, dan target dari tiap cabang olahraga, akan turut terganggu.

Di sini, peran pemerintah sebagai pengayom, media sebagai mediator, dan kita sebagai pendukung, sangat besar. Jadi jangan sampai malah saling tunjuk dan bertengkar, tapi harus mulai dengan duduk bersama sambil saling mendengar satu sama lain. Kalau semua mau saling mendengar dan mau mengganti “me” menjadi “we” (maksudnya, menurunkan ego satu sama lain), dunia olahraga di Indonesia pasti akan semakin sehat.

MINDSET DAN REGENERASI

Berkaitan dengan beberapa paragraf terakhir di bagian sebelumnya, regenerasi adalah masalah yang cukup krusial di dunia atlit Indonesia. Sebenarnya turunnya atlit yang itu-itu saja di setiap kompetisi, bukan berarti Indonesia sudah kehabisan “stok” atlit. Banyak sekali mungkin puluhan hingga ratusan atlit yang ada di Pelatnas. Atlit-atlit muda, yang karena demi target emas/nama baik bangsa, mereka belum dipercaya untuk bertanding di kejuaraan Internasional.

Padahal menurut Intan, kalau atlit-atlit ini tidak pernah dipercaya, mereka tidak akan pernah tahu dan ya tidak akan belajar.

Ini berkaitan erat dengan mindset pemerintah, pelatih, dan masyarakat. Kami sama-sama mengerti, kalau Indonesia ini ingin jadi juara. Maksudnya, ya ditiap kejuaraan kita harus bisa jadi kolektor medali emas. Lebih keren lagi kalau bisa menjadi juara umum. Jadi pemegang trofi Piala Dunia, Piala Thomas&Uber, Piala Sudirman Cup, dan piala-piala lainnya.

Tapi seharusnya sih kita jangan lupa. Yang sedang bertanding di sana itu manusia, bukan android.

Mereka ditarget untuk jadi juara, oleh pelatih. Diharapkan untuk bisa membawa kebanggaan negeri, oleh pemerintah. Diwajibkan untuk bisa selalu menang, oleh kita (iya, kita). Dirindukan untuk segera pulang ke rumah (saking seringnya mereka menghabiskan waktu di tempat latihan), oleh keluarga.

Sudah bisa membayangkan berapa ton beban yang mereka seret saat masuk ke arena kompetisi?

Belum lagi masa sebelum, saat, hingga usai pertandingan. Atlit bisa mendapatkan pujian setinggi langit yang bisa kapanpun berubah menjadi caci-makian. Mereka bisa disebut : juara sejati, pengharum nama bangsa, suamiable-istriable-mantuable (bagi yang jomblo), atau bahkan ada pasangan suami istri yang menamai anak mereka dengan nama si atlit ini.

Di sisi lain, para atlit ini juga bisa disebut : pengkhianat, membawa aib, memalukan, pemain curang, tidak professional, dst. Tidak jarang, keluarga besar, tempat berlatih, dan anak-anak mereka juga turut mendapat sebutan tidak mengenakkan. Masa depan mereka bisa saja berakhir dengan dilepas dari deretan tim nasional, di skors, stress bahkan ada juga yang berhenti/diberhentikan.

Atlit-atlit Indonesia sebetulnya punya kekuatan fisik dan psikis yang luar biasa kuat dibandingkan kita. Mereka tidak hanya harus berlatih ratusan atau jutaan kali, tapi juga harus siap mendapat komentar pedas. Sudah sedih karena menghabiskan sedikit waktu dengan keluarga gara-gara berlatih, eh setelah kalah, juga ditambah makian.

Kalau harus menunggu orang lain sih, lama hasilnya. Tapi kalau kita bisa mengubah pola berpikir dari “harus juara” menjadi “harus sehat, sportif, dan bersahabat”, kami yakin olahraga bisa kembali ke tujuan awalnya, yakni untuk kesehatan, kesenangan, dan kontrol diri.

Sebagai penutup, ada kalimat penting yang saya tulis di catatan saya, “Do not compare yourself to others. You have no idea what they have been through,”

 

Selamat kembali beraktivitas ya, teman-teman kompasianer!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun