Sabtu, 19 Juli 2025, menjadi hari pertama dari sebuah perjalanan panjang. Di Pendopo Aryo Situbondo, Bupati Muda Situbondo, Bapak Yusuf Rio Wahyu Prayogo, S.Sos., secara resmi melepas 300 lebih mahasiswa untuk mengabdi dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolaboratif. 300 lebih mahasiswa tersebut dibagi menjadi kelompok tim yang akan diterjunkan ke 29 Desa yang sudah terpilih. Di antara ratusan wajah penuh semangat itu, ada kami sebuah tim yang berisi mahasiswa dari tiga almamater berbeda yaitu Universitas Jember (UNEJ), Universitas dr. Soebandi (UDS), dan Universitas Abdurrachman Saleh (UNARS).
Pesan Bupati Muda tentang peran mahasiswa sebagai agen perubahan yang peka dan solutif menjadi bekal utama kami. Bekal itulah yang kami bawa saat menyusuri jalanan menuju lokasi pengabdian kami  Desa Trigonco, sebuah desa di Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo.
Minggu Pertama: Menyerap Denyut Nadi Desa
Minggu pertama kami manfaatkan untuk "Namoy" (istilah lokal untuk bertamu dan bersilaturahmi). Kami menyambangi kantor desa untuk berdiskusi dengan jajaran perangkat, lalu melanjutkan langkah kami ke rumah-rumah tokoh masyarakat, ketua RT, hingga Direktur BUMDes. Kami tidak hanya bertanya, tetapi lebih banyak mendengar, mencoba menyerap langsung denyut nadi kehidupan desa.
Dari setiap obrolan, sebuah benang merah mulai tampak. Pertanyaan kami tentang potensi terbesar desa ini terjawab dengan sendirinya di setiap sudut gang dan teras rumah warga: denyut nadi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Desa Trigonco adalah gudangnya wirausaha. Mulai dari makanan khas kecamatan Asembagus yaitu Nasi Sodu, Nasi kucing, Kerupuk Rambak hingga olahan kreasi UMKM lainnya, semua ada. Namun, dibalik semangat itu, kami menemukan sebuah "Harta Karun" yang terkunci di balik tiga dinding penghalang.
Dinding Penghalang 'Harta Karun' UMKM
Setelah melakukan pemetaan awal, kami mengidentifikasi tiga tantangan klasik yang umum dihadapi para pelaku UMKM di era digital:
Pemasaran yang Masih Tradisional. Sebagian besar masih mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Platform digital seperti media sosial atau e-commerce, yang sejatinya adalah gerbang menuju pasar tak terbatas, masih menjadi dunia yang asing.
Branding yang Belum Menjadi Prioritas. Banyak produk berkualitas super, namun "gaun"-nya masih seadanya. Tanpa kemasan yang menarik dan identitas visual yang kuat, produk mereka sulit bersaing dan memiliki nilai tawar yang lebih tinggi.
Pencatatan Keuangan yang Absen. Inilah tantangan paling fundamental. Keuangan usaha dan pribadi masih tercampur dalam satu dompet. Tanpa pencatatan, mustahil mengukur untung-rugi secara akurat, apalagi untuk mengakses permodalan yang lebih besar.Â
Namun, penelusuran kami tak berhenti di teras rumah para wirausahawan. Kaki kami melangkah lebih jauh ke hamparan sawah, dan di sanalah kami menemukan sisi lain dari cerita Desa Trigonco.
Di Balik Manisnya Tebu, Ada Dilema Air Belerang
Pemandangan di area persawahan begitu seragam, hamparan hijau tanaman tebu sejauh mata memandang. Awalnya kami kira ini adalah spesialisasi yang menguntungkan. Kenyataannya, ini adalah sebuah keterpaksaan.
"Di sini mau tanam padi atau jagung, susah sekali, Mas. Daunnya pasti menguning lalu mati," ujar seorang petani kepada kami.
Akar masalahnya terletak pada sumber daya paling vital yaitu air. Sumber air irigasi di Desa Trigonco ternyata memiliki kandungan belerang (sulfur) yang tinggi. Kondisi inilah yang memaksa petani hanya bisa menanam tebu, salah satu komoditas yang paling toleran. Monokultur ini, meski menghidupi, sejatinya menciptakan kerentanan yang serius: ketergantungan ekonomi pada harga tebu, minimnya diversifikasi pangan, dan risiko degradasi tanah jangka panjang.
Sebuah Kesimpulan Awal
Satu minggu di Desa Trigonco telah mengajarkan kami sebuah pelajaran berharga tentang kompleksitas. Di balik manisnya tebu, ada dilema yang mengikat. Di balik semangat wirausaha, ada potensi yang terbelenggu. Tugas kami di sini bukanlah untuk menyelesaikan segalanya, melainkan menjadi pemantik dan penghubung. Dengan memberdayakan yang ada di hilir dan merintis jalan baru di hulu, kami berharap meninggalkan jejak berupa fondasi harapan. Sebuah fondasi di mana kelak, kesejahteraan desa tidak lagi bertumpu pada satu komoditas, melainkan pada harmoni antara ladang yang subur dan wirausahawan yang makmur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI