Mohon tunggu...
KKN Kolaboratif Trigonco
KKN Kolaboratif Trigonco Mohon Tunggu... Mahasiswa

Haii Trigoners! Selamat datang di blog resmi mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolaboratif Kabupaten Situbondo yang bertugas di Desa Trigonco, Kecamatan Asembagus. Blog ini dibuat sebagai media informasi dan dokumentasi seluruh rangkaian kegiatan yang kami laksanakan selama masa pengabdian di desa ini. Melalui blog ini, kami akan menyampaikan berbagai informasi terkait pelaksanaan program kerja KKN, mulai dari kegiatan harian, pengembangan potensi desa, hingga kontribusi kami dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi masyarakat. Selain itu, blog ini juga memuat refleksi, kesan, dan pengalaman para mahasiswa selama tinggal dan berinteraksi langsung dengan masyarakat Desa Trigonco. Kami berharap keberadaan blog ini dapat menjadi sarana komunikasi yang bermanfaat, tidak hanya bagi kami selaku peserta KKN, tetapi juga bagi masyarakat luas yang ingin mengetahui perkembangan dan dinamika kegiatan KKN di desa. Semoga informasi yang kami sajikan dapat memberikan inspirasi, menambah wawasan, serta mempererat hubungan antara dunia akademik dan masyarakat. Terima kasih telah berkunjung ke blog kami. Selamat membaca dan mengikuti perjalanan pengabdian kami di Desa Trigonco.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dua Wajah Desa Trigonco: Manisnya Tebu dan Potensi UMKM yang Terbelenggu | KKN-Kolaboratif Kabupaten Situbondo Desa Trigonco 2025

27 Juli 2025   18:55 Diperbarui: 3 Agustus 2025   12:25 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Mahasiswa KKN dengan Dosen Pembimbing Lapangan (Sumber: Aset Pribadi MEDINFO KKN-K Desa Trigonco, 2025).

Sabtu, 19 Juli 2025, menjadi hari pertama dari sebuah perjalanan panjang. Di Pendopo Aryo Situbondo, Bupati Muda Situbondo, Bapak Yusuf Rio Wahyu Prayogo, S.Sos., secara resmi melepas 300 lebih mahasiswa untuk mengabdi dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kolaboratif. 300 lebih mahasiswa tersebut dibagi menjadi kelompok tim yang akan diterjunkan ke 29 Desa yang sudah terpilih. Di antara ratusan wajah penuh semangat itu, ada kami sebuah tim yang berisi mahasiswa dari tiga almamater berbeda yaitu Universitas Jember (UNEJ), Universitas dr. Soebandi (UDS), dan Universitas Abdurrachman Saleh (UNARS).

Pesan Bupati Muda tentang peran mahasiswa sebagai agen perubahan yang peka dan solutif menjadi bekal utama kami. Bekal itulah yang kami bawa saat menyusuri jalanan menuju lokasi pengabdian kami  Desa Trigonco, sebuah desa di Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo.

Minggu Pertama: Menyerap Denyut Nadi Desa

Minggu pertama kami manfaatkan untuk "Namoy" (istilah lokal untuk bertamu dan bersilaturahmi). Kami menyambangi kantor desa untuk berdiskusi dengan jajaran perangkat, lalu melanjutkan langkah kami ke rumah-rumah tokoh masyarakat, ketua RT, hingga Direktur BUMDes. Kami tidak hanya bertanya, tetapi lebih banyak mendengar, mencoba menyerap langsung denyut nadi kehidupan desa.

Dari setiap obrolan, sebuah benang merah mulai tampak. Pertanyaan kami tentang potensi terbesar desa ini terjawab dengan sendirinya di setiap sudut gang dan teras rumah warga: denyut nadi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Desa Trigonco adalah gudangnya wirausaha. Mulai dari makanan khas kecamatan Asembagus yaitu Nasi Sodu, Nasi kucing, Kerupuk Rambak hingga olahan kreasi UMKM lainnya, semua ada. Namun, dibalik semangat itu, kami menemukan sebuah "Harta Karun" yang terkunci di balik tiga dinding penghalang.

Dinding Penghalang 'Harta Karun' UMKM

Setelah melakukan pemetaan awal, kami mengidentifikasi tiga tantangan klasik yang umum dihadapi para pelaku UMKM di era digital:

  1. Pemasaran yang Masih Tradisional. Sebagian besar masih mengandalkan pemasaran dari mulut ke mulut. Platform digital seperti media sosial atau e-commerce, yang sejatinya adalah gerbang menuju pasar tak terbatas, masih menjadi dunia yang asing.

  2. Branding yang Belum Menjadi Prioritas. Banyak produk berkualitas super, namun "gaun"-nya masih seadanya. Tanpa kemasan yang menarik dan identitas visual yang kuat, produk mereka sulit bersaing dan memiliki nilai tawar yang lebih tinggi.

  3. Pencatatan Keuangan yang Absen. Inilah tantangan paling fundamental. Keuangan usaha dan pribadi masih tercampur dalam satu dompet. Tanpa pencatatan, mustahil mengukur untung-rugi secara akurat, apalagi untuk mengakses permodalan yang lebih besar. 

Namun, penelusuran kami tak berhenti di teras rumah para wirausahawan. Kaki kami melangkah lebih jauh ke hamparan sawah, dan di sanalah kami menemukan sisi lain dari cerita Desa Trigonco.

Di Balik Manisnya Tebu, Ada Dilema Air Belerang

Pemandangan di area persawahan begitu seragam, hamparan hijau tanaman tebu sejauh mata memandang. Awalnya kami kira ini adalah spesialisasi yang menguntungkan. Kenyataannya, ini adalah sebuah keterpaksaan.

"Di sini mau tanam padi atau jagung, susah sekali, Mas. Daunnya pasti menguning lalu mati," ujar seorang petani kepada kami.

Akar masalahnya terletak pada sumber daya paling vital yaitu air. Sumber air irigasi di Desa Trigonco ternyata memiliki kandungan belerang (sulfur) yang tinggi. Kondisi inilah yang memaksa petani hanya bisa menanam tebu, salah satu komoditas yang paling toleran. Monokultur ini, meski menghidupi, sejatinya menciptakan kerentanan yang serius: ketergantungan ekonomi pada harga tebu, minimnya diversifikasi pangan, dan risiko degradasi tanah jangka panjang.

Foto Persawahan Desa Trigonco (Sumber: Aset Pribadi KKN-K Desa Trigonco, 2025)
Foto Persawahan Desa Trigonco (Sumber: Aset Pribadi KKN-K Desa Trigonco, 2025)

Sebuah Kesimpulan Awal

Satu minggu di Desa Trigonco telah mengajarkan kami sebuah pelajaran berharga tentang kompleksitas. Di balik manisnya tebu, ada dilema yang mengikat. Di balik semangat wirausaha, ada potensi yang terbelenggu. Tugas kami di sini bukanlah untuk menyelesaikan segalanya, melainkan menjadi pemantik dan penghubung. Dengan memberdayakan yang ada di hilir dan merintis jalan baru di hulu, kami berharap meninggalkan jejak berupa fondasi harapan. Sebuah fondasi di mana kelak, kesejahteraan desa tidak lagi bertumpu pada satu komoditas, melainkan pada harmoni antara ladang yang subur dan wirausahawan yang makmur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun